Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
KEGANDRUNGAN para jurnalis menyingkat atau memendekkan kata atau frasa kadang menimbulkan keprihatinan sekaligus kegundahan. Sejatinya penyingkatan itu tak dilarang dan bahkan menjadi bukti bahwa bahasa itu hidup dan dinamis. Meskipun demikian, selain penulisannya harus sesuai dengan kaidah dalam bahasa Indonesia, menurut saya, pemendekan kata atau frasa berupa akronim dan singkatan juga harus ‘ramah di telinga’ atau enak didengar. Dalam hal ini terkait dengan rasa atau estetika bahasa itu sendiri.
Tentu kita sudah paham perbedaan singkatan dan akronim. Singkatan ialah bentuk pendek dengan mengambil huruf awal sebuah kata, sedangkan akronim, meski juga merupakan bentuk pemendekan, merupakan gabungan suku kata dan dapat diperlakukan seperti sebuah kata.
Misalnya, kita sudah terbiasa dengan singkatan SD (sekolah dasar), KTP (kartu tanda penduduk), SIM (surat izin mengemudi), dan lain-lain. Kita pun sudah nyaman mendengar akronim rudal (peluru kendali), sidak (inspeksi mendadak), rakernas (rapat kerja nasional), munas (musyawarah nasional), dan lain-lain.
Namun, akhir-akhir ini saya merasa kegemaran para jurnalis memendekkan kata atau frasa itu terasa berlebihan dan malah mencerminkan kemalasan, serta seolah enggan mendayagunakan nalar. Seperti saat perhelatan pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara atau SEA Games 2019 di Filipina baru-baru ini. Di setiap pemberitaan tentang SEA Games itu banyak berserak akronim cabor untuk memendekkan frasa cabang olahraga.
Jika melihat aturan penciptaan akronim, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pemendekan itu. Akan tetapi, mungkin ini pandangan subjektif saya, ada dua hal yang mengganggu terkait dengan akronim cabor.
Pertama, ada bentuk kemubaziran kata ketika akronim cabor dilekatkan pada nama cabang olahraganya. Misalnya dalam judul berita ‘Indonesia Raih Emas Pertama Cabor Atletik’. Akronim cabor, ketika diikuti dengan kata atletik akan terasa berlebihan. Atletik sudah merupakan cabang olahraga, sedangkan di dalam akronim cabor ada bagian dari pemendekan kata olahraga, yakni -or. Jadi, ada bagian yang menurut saya mubazir. Dalam hal ini, akronim cabor sebenarnya tidak diperlukan. Cukup diganti dengan kata cabang. Judul ‘Indonesia Raih Emas Pertama Cabang Atletik’ itu saya rasa lebih elok ketimbang ‘Indonesia Raih Emas Pertama Cabor Atletik’.
Selain itu, hal kedua yang membuat saya merasa tidak nyaman dengan akronim cabor ialah bunyinya tidak enak didengar. Awalnya saya merasa itu bentuk subjektivitas saja. Namun, ketika ada seorang tetangga--bukan dari kalangan jurnalis--juga menyatakan merasa tidak nyaman ketika akronim cabor itu diucapkan seorang pembawa berita di televisi, saya merasa mendapat pembenaran.
Mari kita bayangkan ketika seorang pembaca berita di televisi membacakan dua kalimat tadi; ‘Indonesia Raih Emas Pertama Cabor Atletik’ dan ‘Indonesia Raih Emas Pertama Cabang Atletik’. Mana yang lebih enak didengar? Tentu saja saya merasa kalimat kedua lebih nyaman didengar.
Oleh karena itu, saya berpendapat akronim cabor ini patut dieliminasi dari perbendaharaan akronim bahasa Indonesia. Tentu saja para praktisi bahasa, termasuk media massa yang bisa melakukan itu dengan cara menghindari penggunaannya.
Masih berserak di benak saya akronim mamin untuk makanan dan minuman, curat dan curas untuk pencurian dengan pemberatan dan pencurian dengan kekerasan, balon untuk bakal calon, dan akhir-akhir ini Nataru untuk Natal dan Tahun Baru.
Saya berharap singkatan atau akronim yang minim estetika bisa tersaring sendiri secara alamiah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved