Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Becik Ketitik ala Ketara

Ono Sarwono Wartawan Media Indonesia
15/12/2019 05:30
Becik Ketitik ala Ketara
Ilustrasi(Dok.MI)

JUDUL di atas ialah peribahasa Jawa yang artinya 'kebaikan kelihatan, kejelekan ketahuan'. Maknanya, setiap perbuatan yang baik pasti akan diketahui. Pun sebaliknya, perilaku busuk cepat atau lambat juga pasti terungkap. Ini warisan ajaran luhur nenek moyang yang menggariskan bahwa hidup itu mesti melandaskan pada budi pekerti mulia.

Fakta-fakta berbagai kasus yang terungkap belakangan ini seperti menegaskan tentang kebenaran ajaran tersebut. Serapat atau seketat apa pun seseorang membungkus perilaku menyimpangnya, pada akhirnya ketahuan.

Akan tetapi, pertanyaannya, kenapa kejahatan atau perbuatan lancung tiada akhir, sejak dulu hingga kini tetap ada dengan berbagai model sesuai zamannya? Padahal, itu semua pasti terungkap dan ada sanksinya. Jawabannya, itu persoalan ketidakmampuan mengelola nafsu duniawi.

Mengabdi Pandudewanata

Dalam dunia wayang, nyaris semua lakon selalu bercerita tentang contoh baik dan buruk. Salah satu tokoh yang sepanjang hidupnya senantiasa berusaha berbuat baik ialah kesatria bernama Raden Gandamana. Namun, meski telah diniatkan demikian, perjalanan hidupnya ternyata tidak mulus, ibarat meniti badai dan mengarungi gelombang ganas. Ia pun akhirnya tergulung dan terempas ke dasar samudra.

Gandamana lahir sebagai anak kedua Raja Negara Pancala Prabu Gandabayu dari permaisuri Trilaksmi. Ia memiliki kakak perempuan bernama Gandawati. Sejak kecil, Gandamana suka menggedali diri dengan berbagai ilmu kanuragan (kesaktian) serta kebatinan dengan gentur menjalani berbagai laku prihatin.

Ketika usianya menginjak dewasa, Gandamana diangkat sebagai putra mahkota. Namun, ia tidak bersedia menggantikan ayahanda menduduki singgasana raja. Ia menyerahkan haknya itu kepada kakak iparnya, Sucitra, yang ketika dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Drupada.

Gandamana mengambil jalan hidup mengabdikan diri kepada Raja Astina Prabu Pandudewanata. Baginya, itu pilihan yang lebih berarti daripada menjadi raja Pancala. Selain raja besar, secara pribadi Gandamana merasa bahwa Pandu adalah manusia segala-galanya. Maka, selamanya ia tidak pernah mbadal (menolak) setiap perintah Pandu sekalipun itu sangat menyakitkan hati atau mengancam jiwanya.

Puncak karier Gandamana di Astina dicapai saat ia diangkat Pandu sebagai patih. Dalam pernyataan pelantikannya, Gandamana bersumpah dengan tulus ikhlas mendarmabaktikan jiwa raganya demi kejayaan Astina di bawah kepemimpinan Pandu. Pengabdiannya kepada sang raja pun total. Siapa pun yang berani mengusik Astina dan raja akan berhadapan dengannya.

Duet kepemimpinan Pandu-Gandamana ini membuat Astina menjadi negara yang sangat dihormati negara-negara lain. Tidak ada musuh yang berani mengganggu, apalagi menyerang. Sebaliknya, banyak negara yang menyatakan takluk dan menjadi bagian Astina atau menjalin persahabatan yang saling menguntungkan.

Banyak pula para pemuda dari negara-negara lain yang mengikuti jejak Gandamana mengabdi atau mengadu nasib di Astina. Mereka berharap tuah dari kemasyhuran Pandu sebagai raja. Satu di antaranya ialah pemuda dari Plasajenar bernama Harya Suman alias Trigantalpati.

Karier Suman juga mengilap. Ia berhasil masuk ke lingkaran istana. Namun, nasib baiknya itu sebenarnya lebih karena adanya jalur nepotisme. Kakaknya, Gendari, diperistri Drestarastra yang merupakan kakak kandung Pandu lain ibu.

Gandamana difitnah

Seiring berjalannya waktu, muncullah intrik-intrik politik yang diinisiasi orang-orang terdekat Pandu. Posisi patih, jabatan strategis di bawah langsung raja, menjadi incaran. Maka, Gandamana menjadi sasaran kudeta. Suman di antara yang menginginkan jabatan itu.

Kodratnya Suman memiliki kecerdasan. Berkah itulah yang ia maksimalkan untuk mencapai target politik tengiknya. Suman, yang berasal dari negara Plasajenar, menyusun strategi menjungkalkan Gandamana.

Momen terbaik ia dapat ketika secara kebetulan Raja Pringgondani Prabu Tremboko sudah sekian lama tidak sowan ke Astina. Sebelumnya, Tremboko secara periodik, biasanya pada acara pisowanan agung, sowan kepada Pandu yang sudah ia anggap sebagai gurunya. Hubungan persaudaraan di antara kedua raja itu pun sudah berlangsung cukup lama.

Tremboko mengutus putranya, Arimba, untuk menyampaikan surat ke Pandu terkait dengan beberapa kali absen ke Astina. Isinya, permintaan maaf karena banyak tugas negara yang tidak bisa ditinggalkan.

Ketika langkahnya baru sampai alun-alun, Arimba dicegat Suman. Ia ditanya mau ke mana. Arimba mengatakan akan menyerahkan surat dari bapaknya kepada Pandu. Berdalih dengan adanya aturan, Suman melarang Arimba menghadap Pandu. Ia meminta suratnya dan dirinya yang akan menyampaikan ke Pandu. Arimba diminta kembali ke negaranya.

Sebelum menyampaikan ke Pandu, surat itu terlebih dulu dibuka dan kemudian diubah isinya. Dari yang semula pesannya baik-baik diganti menjadi tantangan perang. Pandu sempat marah membaca surat itu. Ia kemudian mengirim Gandamana ke Pringgondani untuk tabayun terlebih dulu dengan Tremboko, apa sebenarnya yang terjadi.

Sebelum Gandamana berangkat, Suman mendahuluinya. Ia menemui Arimba yang ketika itu sedang berpatroli bersama adik-adiknya dan sejumlah pasukan di perbatasan negara. Suman mengabarkan Pringgondani akan digempur Gandamana.

Dengan akal liciknya, Suman bekerja sama dengan Arimba dan bala tentara Pringgondani menghadang Gandamana. Singkat cerita Gandamama terdesak dalam peperangan dan kemudian tercebur ke sumur yang telah disiapkan. Sumur itu dengan cepat ditimbun dengan batu dan tanah. Suman yakin Gandamana menjemput ajal di dasar sumur.

Teguh memegang nilai

Suman kemudian kembali ke Astina melapor kepada Pandu bahwa Gandamana berkhianat, berbalik mendukung Tremboko. Namun, Suman mengaku dirinya bersama Kurawa berhasil membunuh Gandamana di perbatasan negara.

Pandu percaya semua laporan Suman. Bahkan, ia menilai Suman telah berjasa besar kepada raja dan negara. Sebagai apresiasinya, Pandu lalu mengangkat Suman sebagai patih menggantikan Gandamana.

Tidak lama berselang, ketika digelar pertemuan membahas kasus Tremboko, tiba-tiba muncul Gandamana yang sebelumnya sudah dikabarkan mati. Tanpa permisi, Gandamana langsung menyeret Suman ke alun-alun. Tiada ampun, Suman digebuki hingga babak belur, sekujur tubuhnya remuk.

Pandu mengusir Gandamana karena dianggap lancang menghukum Suman. Namun, bagi Gandamana, keadilan dan kebenaran harus ditegakkan meski kariernya hancur karenanya. Gandamana dikenang sebagai kesatria yang teguh memegang nilai. Sebaliknya, Suman yang kemudian kondang bernama Sengkuni, sampai ajalnya tercatat sebagai tokoh culas. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik