Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
KEDUDUKAN bahasa Indonesia kian tergeser. Sebaliknya eksistensi bahasa asing terus bertengger. Narasinya, bahasa Indonesia kian turun kelas, sedangkan bahasa asing makin tumbuh jadi primadona.
Katanya, bahasa menunjukkan jati diri bangsa. Apakah itu hanya semboyan semata? Buktinya dari hari ke hari tidak sedikit orang lebih bangga dan gemar bertutur bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.
Misalnya, bisa dilihat dari penggunaan kata online yang lebih membumi daripada kata daring (dalam jejaring), orangtua yang gemar menyekolahkan anaknya di sekolah internasional, ataupun fenomena merebaknya 'bahasa Jaksel' beberapa waktu silam. Bahasa Jaksel sendiri merupakan bahasa 'gado-gado' atau campur aduk bahasa yang ramai di kalangan remaja.
Gejala itu rupa-rupanya tak hanya datang dari akar rumput. Elite pemerintah pun demikian. Sebut saja Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim atau Mas Menteri--begitu ia akrab disapa. Dalam setiap pernyataannya, sering kali Mas Menteri menyisipkan bahasa asing.
Berikut ini ialah contoh cakapan Mas Menteri yang saya jumpai dari berbagai sumber.
Pertama, 'Nah, pendidikan tinggi isunya banyak overlap dengan pendidikan dasar dan menengah', (Media Indonesia, Kamis, 7/11). Di dalam kalimat tersebut terdapat kata overlap yang berasal dari bahasa Inggris bermakna tumpang-tindih.
Menurut penulis, akan lebih elok jika Mas Menteri menggunakan kata tumpang-tindih ketimbang overlap karena tumpang-tindih sudah ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Tuturan kedua Mas Menteri yang saya kutip dari Detik.com, Rabu (6/11), ialah 'Jadi teknologi itu hanya tool. Hanya suatu metode, bukan segalanya'. Senada dengan kalimat pertama, lagi-lagi Mas Menteri gemar menyisipkan bahasa asing, yaitu tool yang berarti alat. Mengapa Mas Menteri harus menggunakan kata tool, apa salahnya dengan kata alat? Toh, bila menggunakan kata alat pun tidak akan mengubah makna.
Bila diingat kembali, walau terkesan sudah basi, fenomena nginggris seperti itu tidak hanya dilakukan Mas Menteri, tapi juga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang terkenal dengan kata ciptaannya, beautifikasi (mempercantik/memperindah).
Generasi milenial mungkin menganggap campur kode ialah suatu hal yang perlu agar percakapan lebih cair atau 'demi' memperkukuh jati diri mereka. Meski demikian, ketika seorang Mendikbud, yang juga membawahkan bidang kebahasaan, bertutur nginggris, saya merasa prihatin. Sebagai 'menteri bahasa', elok nian jika dia mengutamakan bahasa Indonesia saat mengeluarkan pernyataan di ruang publik. Itu bentuk sikap positif sang menteri terhadap bahasa Indonesia.
Memang, kita tidak boleh anti terhadap bahasa asing, tetapi bahasa sendiri mesti diutamakan dan dijaga agar tegak mandiri. Hal itu karena bahasa dan sikap Mas Menteri mesti menjadi teladan.
Saya ingin menyitir pernyataan Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud, Gufran Ali Ibrahim, bahwa kita harus berkomitmen untuk tetap setia dan bangga mengutamakan penggunaan bahasa negara, bahasa Indonesia, di ruang publik.
Oleh karena itu, kita menunggu sikap positif dari kalangan elite pemerintah, terutama Mendikbud untuk menjaga muruah bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Jangan sampai para elite memberikan contoh berbahasa yang justru mempertontonkan seolah kedudukan bahasa Indonesia di bawah bahasa asing.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved