Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
DI satu sudut kota, di Kuwu, begitu banyak orang menyebutnya, satu wilayah kumuh yang lebih terlihat sebagai desa tertinggal, suara sorak-sorai, tepatnya umpatan juga kemarahan, terdengar riuh di kejauhan. Siang runtuh sejak tadi dan kegelapan menyebar seperti bakteri yang membiakkan diri. Beberapa nyala terang dari obor, lampu senter, hingga petromaks, bergoyang seolah api iblis menerobos kasar dari neraka.
Dalam gelap di tepi desa yang ditumbuhi perdu, jalanan yang sebagian rawa itu, sepasang kaki tampak berlari, terseret tepatnya. Luka menganga di tulang kering kanan kaki itu. Darah masih segar. Tapi, lelaki berwajah gelap itu tetap memaksa kedua kakinya berlari. Luka terlihat tidak terasa. Hanya napas tersengal di balik muka yang terlalu kelam.
Ketegangan tercipta saat nyala terang dan makian kian dekat. Hingga akhirnya, lelaki gelap merasa wajahnya menjadi hangat dan tersibak sedikit rautnya, ketika menyadari ia sudah berdiri di tengah rawa kosong. Nyala terang yang semula mengejarnya kini telah mengikat, mengurungnya. Di balik hitam lumpur di wajah, mata lelaki itu tetap terbuka lebar, bahkan nyalang memandang sekelilingnya.
Entah dengan komando siapa, para pengepung itu maju berduyun ke arahnya, melontarkan pukulan, tendangan, hantaman kayu, hingga sundutan obor ke tubuhnya. Lelaki itu hanya diam, membiarkan tubuhnya jadi bola kekerasan dan emosi berlebihan. Ia seperti menikmatinya. Hingga akhirnya ia jatuh berdebum di rawa cetek itu, kaku, seakan tak bernapas. Seseorang membentak untuk menghentikan semua tindakan.
Malam kian buta dan gelap menjadi mata tanpa cahaya. Sepi mengurung hati yang memang selalu sendiri.
Enam bulan kemudian.
Menjelang siang hari itu, jarum jam kulit di lengan kiriku menunjuk angka sebelas. Aku berdiri di satu pojok, ketika sebuah mobil van putih datang dan berhenti di depan pintu utama rumah sakit jiwa ini. Dua orang perawat terlihat mengiringi satu lelaki yang mendekati paruh baya dengan sebagian rambutnya memutih, keluar dari dalam van dengan lengan terbelenggu.
Suara langkah kaki lelaki terbelenggu itu menjejak kuat di marmer kusam. Seperti detik yang berdentang, langkah itu melengking di keheningan, di telingaku. Dentang itu melewatiku diiringi mataku menatap tajam. Saat itulah aku pertama kali melihatnya dalam jarak yang sangat dekat, kira-kira empat bulan lalu.
Di satu ruang pengadilan, empat bulan lalu, sebagai reporter yang bertugas di desk hukum, sesuai ijazahku di sebuah perguruan tinggi ternama, aku harus meliput persidangan itu. Terdakwa, AZ, Aliudin Zulkifli, 48 tahun, didakwa oleh jaksa negara melakukan tindak pidana yang diancam beberapa pasal. Selain melakukan serangan, melukai beberapa orang, ia juga dituduh menyerang istrinya sendiri dan menciptakan kebakaran yang membuat sang istri mengalami sakaratul maut.
Sidang berlangsung tidak berlarut sebenarnya. Terdakwa hampir tidak pernah bicara, bahkan saat didesak pertanyaan oleh hakim maupun jaksa. Pengacara yang membelanya secara probono pun tampak susah payah menciptakan dalih. Kisah mengalir dari bibir sang jaksa.
Sejak dua tahun tiga bulan yang lalu…
Menurut jaksa, AZ menunjukkan perilaku aneh, baik dalam kehidupan sosial maupun rumah tangganya. Ia tampak selalu tegang, apalagi setelah ia keluar dari pekerjaan formalnya sebagai ahli keuangan di sebuah instansi negara. Banyak orang menjadi saksi bagaimana ia kerap bersitegang dengan istrinya. Wanita cantik berkulit putih yang selalu diperkenalkan dengan penuh pujaan dan pujian oleh AZ.
Semula, umumnya teman, kerabat dan tetangga merasa maklum, pertikaian AZ dengan istrinya, bukan hanya disebabkan ia kehilangan pekerjaan, melainkan juga belum adanya bayi yang dilahirkan hingga tahun kedua belas pernikahan mereka. Namun, ternyata mereka keliru.
Sudah beberapa minggu terakhir, AZ tidak pernah nampak lagi di musala RT, tempat dia menjadi pengurusnya. Sementara istrinya, Sekaring Diniari, Sekar panggilannya, tetap dengan rutin ibadahnya, seperti biasa. Bahkan belakangan lebih sering ia melakukan pengajian di rumahnya. Kegiatan yang anehnya selalu diakhiri dengan pertengkaran di antara suami istri itu. Kadang hingga membuat AZ sekonyong keluar rumah tengah malam, pergi entah ke mana hingga esok harinya.
Hari berlalu, AZ semakin ganjil. Senyum tidak lagi bertengger di bibirnya seperti biasa. Wajahnya kelam, sensitif, seakan tumbuh gunung berapi aktif di tubuhnya dengan lava yang tak sabar meletupkan panasnya.
Hingga akhirnya lava itu menyembur. Beberapa teman dekat atau tetangga menjadi korban. Tiga orang terluka karena pukulannya yang kuat. Anehnya, semua peristiwa itu terjadi ketika ia diajak bicara hal-hal yang bersifat religius. Hal-hal itu dengan cepat membuat magma meletus dari kamar hatinya yang pepat.
Beruntung dengan cara kekeluargaan, Pak RT hingga Pak Camat berhasil melerai pertikaian hingga tak meluas. Orang-orang diminta maklum. Tapi tidak dengan AZ. Sepanjang semua kasus kekerasan itu, ia tidak pernah menyanggah atau menjawab apa pun pertanyaan.
Mulutnya jadi kuburan yang mengunci sunyi di dalamnya, hilang dari kehidupan.
Hingga akhirnya puncak letusan itu terjadi.
12 Mei 2018, pukul 03.00 dini hari.
Seperti banyak hari, aku baru 1-2 jam berhasil mengatup mata yang letih, dan tubuh terhenyak di mana saja saat aku bekerja. Telepon berdering keras. Aku merasa bermimpi. Namun, teriakan gawai modern itu membuatku siuman dan meraih alat-pintar itu. Layar LCD-nya terang memunculkan nama ‘Tarji’.
Dalam kantuk dan lelah, bahkan tanpa bersih muka, aku memakai jaket, tas kulit yang selalu lengkap dengan peralatan tugas, akibat pesan elektronik Tarji, informanku di Kuwu. Dalam 25 menit kemudian bokongku yang tebal sudah terlonjak-lonjak di atas Lambreta 1975 di aspal rusak.
10 menit kemudian aku sudah tiba di kampung Luwu. Memarkir motor di halaman rumah Pak RT, dan segera menyadari sesuatu yang luar biasa tengah terjadi. Kegaduhan terjadi di banyak tempat. Beberapa orang keluar rumah dan saling bertanya atau bergegas ke satu tempat.
Aku mengikuti arah itu dengan sekian banyak pertanyaan. Di ujung desa, 300 meter di depan, segerombolan orang dengan lentera, obor, lampu senter dan berbagai alat penerangan bergerak cepat ke satu arah. “Ada apa?”
“Aahh…” aku berseru pelan. Dalam langkah cepat itu melihat seseorang di arah berlawanan menghampir ke arahku. “Kucari-cari kamu,” kataku pada orang itu. “Apa yang terjadi? Kenapa mereka seperti marah mengejar sesuatu? Apa yang dikejar, kenapa, siapa….?”
Belum sempat orang tadi, Tarji, menyapaku, rentetan pertanyaan jadi mitraliur pikiranku yang mengarah padanya. Sambil terengah, lelaki 30 tahunan beranak satu bercerita. Lancar dan kronologis.
Langkah kami pergegas hingga akhirnya bersatu dengan rombongan penduduk. Memasuki kerimbunan perdu, tanah becek, dan akhirnya rawa-rawa cetek hingga sampailah kami di lingkaran rawa kosong, di mana seorang lelaki hampir setengah baya, matanya kuat menatap kami dan berakhir di kedua mataku. Kosong. Akhirnya, aku harus membuang pandangan dengan jijik saat peristiwa penghakiman massal itu terjadi.
AZ, lelaki di pusat lingkaran itu kini sudah di bangsal Puskesmas setempat dalam keadaan tubuh tidak teratur. Aku mengikutinya terus, hingga para penduduk hilang satu persatu dan Tarji akhirnya pamit pulang. Aku mengikutinya terus. Perjalanan hingga di sel kantor polisi, proses penyidikan, hingga pengadilan. Berakhir di rumah sakit jiwa ini.
Medio November 2018, hampir tengah hari.
Ruang khusus kunjungan Rumah Sakit Jiwa, pinggiran kota.
Aku sibuk menulis di buku catatan. Kebiasaan iseng saat aku terpaksa mengunyah waktu menunggu. Seorang pasien, Aliudin Zulkifli.
Kriikk….
Pintu ruang itu terbuka perlahan. Sosok lelaki yang kini tampak lebih dari setengah baya dalam setengah tahun terakhir, berdiri di tengah pintu, tepat di dua setengah meter depan hidungku. Seorang penjaga membimbingnya duduk 1,5 meter di seberangku. Penjaga membisikkan di telingaku sesuatu. Aku mengangguk dan berterima kasih. Menatap lelaki di hadapanku, sebelum kedua penjaga itu menutup pintu. Ia tampak tua, dan lelah sangat. Badan dan bajunya bersih, tapi kotoran begitu padat membentuk garis keningnya menebal dan cemberut di tepi bibirnya kian dalam. Ia melihatku tapi tidak menatap. Kepalaku seperti kaca bening baginya. Pandangnya menembus bahkan tembok di belakangku, gedung instalasi ini, keluar… entah ke mana.
“Zul…” itu kata pertama yang kulontar langsung padanya.
Lelaki itu bergeming. Anak panah di matanya entah sudah tiba di mana.
“Kalau aku boleh menduga, hidup yang harus kamu jalani, aku percaya, lebih banyak memberi kecewa.” Aku seperti bicara sendiri. Sebagian memoriku melayang pada masa lalu. Masa kecil saat senyum ibu yang selalu hadir seperti kabar kepedihan yang harus ia terima dalam sekujur perkawinannya. “Sesungguhnya, Zul, aku setuju denganmu… Bila dugaanku tadi tidak keliru.”
Lelaki itu bergeming.
Aku mengerti. “Bila kau bolehkan aku mengira lagi… sepertinya orang-orang, termasuk jaksa, hakim hingga petugas medis di sini salah. Kamu sesungguhnya tidak punya gangguan apa pun dalam jiwamu. Kamu tidak gila, sama sekali tidak. Hanya mungkin…jiwamu terluka. Luka berat.” Aku diam sejenak. “Benarkah aku?”
Entah kenapa, aku sendiri meyakini kebenaran itu. Kebenaran taktis saja. Semacam kuda besi untuk membongkar benteng tebal pertahanan Sparta. Dan sepertinya berhasil.
Lelaki itu tetap bergeming. Namun, jarak pandangnya memendek. Tidak sampai keluar dari ruangan ini. Aku merasakannya, merasa gembira.
“Mungkin justru orang-orang sekitar itu yang gila,” lanjutku. “Kegilaan kolektif yang bisa jadi mereka tidak sadari, bahkan perlahan dianggap normal. Begitu bukan, Zul?” Seolah psikiater congkak, aku mengintip pandang ke matanya.
Tatapannya kini sudah bergeser, ternyata. Tidak melebihi kepalaku.
Aku harus terus. “Tapi apa yang membuat mereka gila? Apa penyebabnya? Kegilaan apa sebenarnya, Zul?” Aku tekan sedikit akhir kalimat terakhir. “Kamu tahu itu. Kamu mengerti. Tapi kamu takut untuk mengatakannya, bukan?” Lelaki itu seperti meredupkan sedikit ketajaman pandangnya. Ia mulai hidup. Mulai hadir di ruang ini, saat ini.
“Bicaralah, Zul. Katakan pendapatmu. Kau lebih dipenjara perasaan yang menyiksa, ketimbang terali besi di kamarmu. Aku tahu itu.” Menanti sejenak. “Bukan begitu, Zul? Betul kan kamu menghancurkan dirimu sendiri dengan kuburan perasaan sedalam itu? Zul?!”
Lelaki itu kini menatap mataku. Benar, mataku. Berhenti di sinar mataku. Hidup.
“Kamu mesti percaya aku. Ketika tak seorang pun kamu lihat bisa memercayaimu. Bahkan Sekar, istrimu sen…” Aku tidak sempat menyelesaikan kalimat itu, karena AZ sekonyong menjatuhkan kepalanya, tertunduk. Diam, beberapa jenak. Kemudian, pundak lelaki itu perlahan berguncang.
“Zul…” Aku sendiri heran mengapa nada sapaanku berubah. Seperti ibu memanggil bayi yang bertahun-tahun ia inginkan. Guncangan itu mengeras. “Bukankah Sekar…” Kembali aku tidak bisa menyelesaikannya ketika AZ tiba-tiba menjatuhhkan kepalanya dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup besar, membuat kepalanya mematuk papan mahoni meja di hadapannya.
“Zul…kamu?!”
AZ menyahut kalimatku dengan beberapa benturan yang lebih keras ke meja. Tetesan darah mulai mengalir di bukit hidungnya. Aku hendak meraih pundaknya, ketika lelaki itu meronta dan setengah berteriak, “Sekar…Sekar!!”
Aku tidak kuat untuk tidak berdiri menghampirinya, memegang kedua pundaknya. Tapi ia lagi berontak. “Aku telah membunuhnya…aku membunuhnya…” Aku terkesiap. Diam. Coba mengusap punggung, tapi AZ justru kembali membenturkan kepalanya di meja hingga darah perlahan menetes. Aku mulai panik.
Hingga akhirnya dua petugas masuk, memegang kuat AZ dan menggiringnya keluar. Kembali ke ruang rawatnya. Aku terdiam lama.
Tersadar sudah berada di ruang Kepala Rumah Sakit beberapa saat setelahnya. Dokter perempuan tua itu mengingatkan, menegur lebih tepat, kehadiran dan pendekatanku yang dianggapnya membuat ‘pasien’ terganggu, bahkan melakukan destruksi yang membahayakan ‘kesehatan jiwa’-nya.
Aku tidak bisa bicara. Dengan diam aku mengangguk, termasuk pada keputusan sang Kepala agar aku tidak mengunjungi pasiennya lagi.
Aku parkir Lambrettaku begitu saja di halaman, setiba di kontrakan. Dua hari dua malam, motor kuno itu pasti mengeluh akibat panas hujan menyiksanya. Selama itu, pemiliknya tidak keluar dari kamarnya.
Dua bulan kemudian.
Setelah aku mendapat teguran keras akibat nota yang dikirim direktur RSJ ke pimpinan redaksiku dua bulan lalu, hari ini aku duduk di ruang itu lagi. Ruang tunggu RSJ yang dulu juga. Dua bulan sudah habis-habisan aku berjuang, bukan untuk meyakinkan bos di kantorku. Tapi dengan nekat meyakinkan pimpinan RSJ kalau aku tidak bermaksud dan tidak akan melakukan lagi wawancara seperti yang lalu. Ini semacam riset, tapi juga dukungan mental yang justru penting bagi pemulihan pasien. Beberapa koneksi berkelas kukerahkan untuk membantu.
Aku tak tahu mengapa aku berkeras pada AZ ini. Lelaki yang duduk di seberang mejaku (kembali) saat ini. Seperti dulu. Dua bulan saja, waktu mengubah wajah, tubuh dan jiwanya jadi lebih renta dua tahun dari sebelumnya. Semua garis di wajahnya menguat dan melengkung jatuh kian dalam. Ia seperti cermin hidup kita yang selalu memiliki ceruk kepedihan di dalamnya.
“Aku datang untuk minta maaf, Zul.”
Lelaki itu kaku.
“Dan hanya ingin memberimu sedikit kabar.” Aku terdiam sejenak. Melihat reaksi. Nihil. Aku kuatkan hati. “Sekar, istrimu….” Lelaki itu tetap kaku, tak ada reaksi menakutkan yang kukhawatirkan. “Istrimu, Zul, tidak mati. Kau tidak membunuhnya.” Aku merasakan pundak lelaki itu kini tak lagi kaku. Hasil yang baik. “Aku sudah berjumpa dengannya.”
AZ kini pelan berpaling, ke mataku. Bagus. “Dia sehat, walau masih ada bekas luka. Aku bicara banyak juga dengannya.” Pandangan itu sekarang menyiratkan rasa ingin tahu sekuat tarikan stalion Armenia.
“Zul, ia rindu. Ia menginginkanmu.”
AZ kini melihatku dengan tatapan kehidupan yang belum pernah bisa kubayangkan bahkan kuharapkan. Bibirnya masih rapat, tapi sudah melontarkan banyak kata yang dengan segera kupahami. Betul, ia ingin tahu lebih. Aku tahu itu. Hanya…
Satu jam hampir berlalu.
Aku masih melihat gua Ali Baba yang belum disembur Shezam di mulut lelaki itu. Rapat pepat.
“Aku tahu apa yang kau ingin tahu,” kataku membuka lagi. “Tapi, izinkan aku lebih tahu lebih dulu. Kenapa kamu berubah, sangat berubah?
Kamu tiba-tiba menjadi orang lain. Melihat siapa pun sebagai musuh?’
Batu gua itu tetap rapat.
“Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Zul? Apa salah mereka? Atau apa yang salah dalam dirimu?”
‘Shezam’ itu masih belum termantrakan.
“Istrimu hampir mati karena itu! Kenapa, Zul?” Mata itu kini nyalang dan menyerang mataku. Aku sekarang yang bergeming, mengeraskan hati.
“Kenapa, Zul?! Apa kau cuma pengecut yang takut hanya untuk mengatakan satu alasan yang benar?!!”
Brakk!!
Meja itu tergebrak. Bukan oleh jidat kali ini. Tapi dua kepalan kuat Zul. Ini membuatku serius terkejut. Ini reaksi alamiah, hidup. Kupandang matanya, tidak mau kalah dengan ketajamannya.
Dua menit di hening.
Tiba-tiba…kepala lelaki itu tertunduk. Kembali terguncang lembut. Aku mulai cemas. Menengok kanan kiri. Jangan sampai gagal lagi.
Satu menit lagi, senyap.
“Mereka bukan musuh….bukan musuh…” Suara itu terdengar seperti tape rusak, berulang dari bibir keringnya
“Kalau begitu, apa salah mereka, Zul? Zul!”
Aku sendiri kaget dengan sentakan kata akhir itu. Tapi tidak dia. AZ tetap dalam posisi dan sengguknya. “Tidak ada yang salah…tidak ada yang salah.” Itulah kata-kata akhir dari AZ sebelum akhirnya dua petugas yang masuk membawanya pergi. Tidak ada insiden memang.
Tapi, kondisi akhir AZ dianggap merugikan mentalnya dan mempersulit pemulihannya. Vonis final untukku akhirnya: ini kunjungan terakhir, tak ada kompromi.
Hari berganti. Ruang berhenti.
Tapi napas kembali normal. Kepalsuan hidup berjalan seperti biasa. Aku cuma diam saat pimpinan kantor mengangkatku sebagai asisten editor, di usia yang belum 26. Aku tidak bangga. Jabatan hasil sukses semacam investigative reporting tentang satu figur bernama Aliudin Zulkifli, 49 tahun. Pasien rumah sakit jiwa yang ditemukan tak bernyawa sebulan setengah lalu, di kamar perawatannya.
Berulang kali aku membaca ending dari laporan terakhirku mengenai kasus AZ tersebut: “Akhir cerita AZ ini seperti cermin refleksi sebuah tontonan, drama dari sastrawan ternama Irlandia, Samuel Beckett, Waiting for Godot. Bukan artistikanya yang tidak mengesankan, tapi menggaungnya kembali pernyataan keras Bapak Eksistensialisme Jerman, Friedrich Nietzche, bahwa ‘god ist tott’.
Pertama kali ditemukan oleh pegawai kebersihan, AZ yang telah beberapa hari mogok makan dan lebih dari 2 x 24 jam tidak keluar dari kamarnya, tidak bernapas lagi. Posisinya masih teguh bersujud dengan telapak, dahi, dan ujung hidungnya menyentuh lantai. Tak ada darah, tak ada luka. Dokter mengatakan serangan jantung. Sebuah keterangan yang harus diperiksa lagi saat kepala rumah sakit menemukan tulisan terukir kuat di lantai tebal, tepat di hadapan wajah bersujud itu:
“Ampuni…ampuni aku ya, Tuhan,” tulisan itu berkata, “untuk semua dosaku, dosa besarku, karena aku telah membunuhmu. Seperti semua orang melakukannya… Aku bersujud bukan padamu. Tapi pada-Mu yang aku hampir gila tak mengerti, apa Kau, di mana Kau, di waktu apa Kau. Tolonglah aku, makhluk hina ini untuk sekejap saja bisa bersujud di kaki-Mu. Tolong…”
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved