Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Lintas Generasi Kolektor Mobil Klasik

Fetry Wuryasti
13/10/2019 01:30
Lintas Generasi Kolektor Mobil Klasik
Bagi para kolektor, mobil klasik bukan hanya soal gengsi melainkan juga mencintai sejarah(MI/Adam Dwi)

SEMAKIN antik semakin diminati, tampaknya itu yang menjadi motivasi kaum urban Indonesia mengoleksi kendaraan klasik premium. Namun, tidak berarti semua pemiliknya merupakan orang-orang yang telah senior. Kini kolektor mobil klasik juga merambah ke anak muda. 

Ditemui pada acara Concours d’Elegance Indonesia, sebuah festival mobil klasik premium yang menghadirkan mobil-mobil klasik langka dan eksotis yang pernah dibuat di dunia, Sandy Kurnia Wirdjaja , 35, mengatakan mobil klasik memiliki kesan dan kebanggaan tersendiri baginya.

“Mobil klasik akan lebih beda. Kesannya kalau mobil baru, semua orang bisa punya. Akan tetapi, mobil klasik orang butuh passion, waktu, dan tidak semuanya bisa sama dan instan,” cerita dia, Sabtu (21/9), di ajang kontes mobil klasik Concours d’Elegance di Jakarta. 

Pengusaha jam tangan premium itu, bahkan mengungkapkan jika menjadi kolektor mobil klasik menjadi penanda ‘kelas’ tersendiri. Menjadi kolektor mobil klasik menempatkan diri di level paling atas kolektor.

“Bila sports car dan luxury car sudah mentok, ujungnya orang akan mencari classic car. Dia top line dari jenis mobil kolektor mobil. Barang antik itu tidak pernah ada matinya,” ucap Sandy.

Sandy memboyong koleksi Mercedes Benz 190SL tahun 1958 untuk ikut lomba dan penilaian kendaraan-kendaraan bergengsi itu. Demi minatnya untuk tunggangan yang berbeda dari orang kebanyakan itu pula Sandy rela berepot-repot dengan proses restorasi. Bagi penggemar mobil antik, proses itu memang sulit dihindari. 

Usia yang lanjut membuat mobil-mobil itu banyak yang sudah dalam kondisi mesin rusak dan cat yang sudah tua. Restorasi pun akan semakin besar dan panjang jika sang pemilik bukan saja mengejar kualitas mesin, melainkan juga tampilan yang semirip mungkin dengan kondisi asli. Hal ini pula yang dikejar Sandy. 

“Butuh perjalanan waktu untuk merestorasi. Mobil yang saya ‘kembalikan bentuknya seperti semula’ ada yang memakan waktu dua tahun, ada juga yang sampai lima tahun. Terkadang sudah jadi, kemudian tidak sempurna, dan dibongkar lagi sampai menuju sempurna,” ujarnya. 


Sejak kecil

Sandy mengaku menyukai mobil klasik sejak kecil karena ayahnya juga memiliki Toyota Hardtop FJ40 tahun 1980. Meski begitu, pria yang memang telah mengoleksi mobil pabrikan Amerika Serikat itu baru bisa memiliki mobil klasik sejak lima tahun lalu, yakni dengan membeli Mustang Shelby GT500 Eleanor tahun 1967.

Setelah itu, ia seperti tancap gas di mobil klasik. Ia berturut membeli mobil Presiden pertama Indonesia Soekarno, yaitu Chrysler Imerial tahun 1961, Cadillac Fleetwood 75 Limousine, dan Ford Thunderbird 1964 milik mantan istri Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Mobil-mobil itu dia dapatkan dari eks kolektor.

“Saya juga memakai Chevrolet Bel Air tahun 1956 yang direstorasi untuk dikendarai seperti untuk perjalanan Jakarta-Bandung, sampai Bali juga masih kuat,” tambahnya.

Khusus untuk ajang Concours d’Elegance itu, Sandy khusus merestorasi Mercedes Benz 190SL tahun 1958. Kendaraan itu didesain untuk sempurna. Secara khusus, mobil itu ‘dipercantik’ oleh tim yang mencari spare part, termasuk Hardtop dan ciri otentiknya, yaitu koper kulit dan payung yang diimpor dari Jerman, asal muasal Mercedes Benz.

Bagi Sandy, proses mencari badan mobil antik, mengumpulkan suku cadang orisinil menjadi seni tersendiri. Ada kepuasan tersendiri bila berhasil membangun ulang kendaraan klasik dari era jadul yang sebelumnya tidak terawat. “Saya suka nilai sejarah kendaraan. Menurut saya, mobil mahal bisa dibeli. Namun, histori tidak bisa diulang. Jadi priceless,” tukasnya.

Namun, untuk kendaraan kegiatan sehari-hari, dia memakai koleksi mobil terkini Lamborgini Limited Edition (Aventador) yang tersedia hanya 50 unit di dunia, dengan kemudi kanan hanya lima unit. “Empat unit di UK (United Kingdom) dan satu unit di Indonesia,” kata Sandy.


10 tahun

 Presiden Lamborghini Club Indonesia periode 2017-2019, Yuswo Tirto Widjojo atau akrab disapa Boetje, mengatakan juga tantangan restorasi mobil klasik ada pada kesulitan mendapatkan barang-barangnya. 

Mobil yang dia pamerkan untuk dinilai merupakan Lamborghini Miura S yang didapatkan dalam keadaan tidak bisa jalan di tahun 2009. Merestorasinya membutuhkan waktu hampir 10 tahun dan baru total rampung pada 2018. Mobil dengan warna verde miura itu sempat mengalami dua kali restorasi. 

“Mobil ini selama 32 tahun ditelantarkan, lalu pernah kena banjir air laut. Saya rombak besar,” ujar pria 66 tahun itu. Ia menuturkan jika kesulitan restorasi itu ada pada struktur dan bagian-bagian badan yang saling mempengaruhi. Kaca pada mobil tersebut sangat berpengaruh untuk membantu kekuatan mobil. 

“Kalau kaca kita lepas, struktur kerangka mobil bisa berubah. Jadi, waktu kaca kita coba buka, tidak bisa dipasang lagi. Ketika pengerjaan las dimulai, panas juga membuat struktur mobil berubah, makanya bongkar lagi,” cerita Yuswo.

Miura pada masanya menjadi mobil koleksi musisi dan selebritas dunia, seperti Frank Sinatra, Miles Davis, Rod Stewart, dan masih banyak lagi. Namun, adegan awal pada film The Italian Job di 1969 yang membawa nama Miura menjadi ikon supercar Lamborghini yang harum namanya. Total tiga jenis mobil itu dari yang pernah dibuat ada 760 unit.

Lamborghini memasarkan tiga edisi Miura. Edisi pertama ialah Miura dengan kode P400 dengan masa produksi 1966-1969, dilanjutkan Miura S dengan kode P400S di 1968–1971, dan Miura SV di 1971–1973.

Lamborghini Miura S 1971 milik Yuswo ‘Boetje’ Tirto Widjojo sukses memenangi The Best 70s Car dari Hampton Court Palace Concours 2018 di Inggris.

Mobil Lamborghini Miura S 1971 dengan nomor sasis 4845 itu merupakan salah satu dari lima Lamborghini Miura yang didatangkan ke Asia Tenggara di 1970-an dan hanya ada satu yang dimasukkan ke Indonesia.

Dia akui biaya untuk restorasi setiap mobil memang besar, tapi tidak pernah dihitungnya. Baginya, faktor terbesar untuk keberhasilan restorasi ialah pada kekuatan niat. Soal suku cadang ataupun kebutuhan teknis lainnya, meski sulit, akan selalu ada yang menjual “Mau dikerjakan, ya, kerjakan, tidak mau, ya, jangan. Rumusnya begitu,” tegas pria yang sudah 10 tahun ikut bergabung dengan komunitas Indonesia Classic Car Owners Club (ICCOC). (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya