Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
APAKAH manusia memang terlahir baik bak kertas putih nan polos? Ataukah, sejatinya manusia ialah makhluk beringas nan kejam?
Perdebatan soal cetak biru karakter manusia, apakah itu sesuatu yang alami ataukah terbentuk oleh lingkungan (nature vs nurture) merupakan hal yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes, misalnya, mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya ialah makhluk jahat dan brutal. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan seperangkat aturan sosial untuk mengekang insting dan hidup berkembang dalam masyarakat.
Pandangannya ditentang Jean-Jacques Rousseau, pemikir dari Prancis. Rousseau berpandangan, ialah ketamakan dan ketimpangan kelas dalam masyarakat yang menyebabkan pribadi baik seseorang terkorupsi.
Kontroversi tentang kealamiahan karakter manusia tersebut sedikit banyak menjadi motivasi Jeong You-Jeong dalam menulis novel hitnya, The Good Son, yang telah dialihbahasakan dan diterbitkan di Indonesia oleh PT Gramedia Pustaka Utama.
The Good Son sendiri tidak mengupas soal kontroversi tersebut, apalagi membahas soal teori sosial atau psikologi tentang karakter manusia. Namun, novel terjemahan setebal kurang lebih 400 halaman ini dipastikan akan mengusik psikologis banyak pembacanya setiba mereka di akhir cerita.
The Good Son ialah novel thriller yang berkedok cerita kriminal macam tebak-tebak buah manggis, apakah si tokoh utama pelaku (kejahatannya) atau bukan. Kesan tebak-tebakan itu paling tidak tampak dari blurb--potongan cerita--yang disematkan di sampul belakang buku.
‘Sebagai penderita epilepsi, ingatan Yu-Jin sering bermasalah dan ia tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi kemarin malam. Hanya suara ibunya yang selalu terngiang-ngiang di telinga. Suara ibunya yang memanggil namanya. Apakah sang ibu memanggilnya untuk meminta tolong? Atau untuk memohon agar Yu-Jin tidak membunuhnya?’
Protagonis dengan memori yang hilang. Jasad korban pembunuhan di dekatnya. Benarkah Yu-Jin pembunuhnya? Hal-hal tersebut menjadikan The Good Son seolah novel kriminal yang klise. Walau sekali lagi, itu hanya kedok.
Memang, pertanyaan awal yang menggelayut di benak pembaca terjawab hanya dalam beberapa belas halaman pertama saja. Kekecewaan mungkin akan terasa. Namun, itu tampaknya ialah siasat Jeong. Twist awal dari beberapa kejutan yang ia siapkan untuk para pembaca.
Sebagai sebuah novel thriller, The Good Son bisa dibilang amat sukses memainkan irama ketegangan. Dalam bagian-bagian yang menceritakan aksi pembunuhan, Jeong menciptakan ketegangan yang datang perlahan, seperti saat kita merasa ada seseorang diam-diam membuntuti, kemudian tetiba menyergap.
Deskripsi adegan pembunuhannya sendiri cukup brutal, tapi tak berlebihan. Bahkan, ada kesan dingin sebagaimana halnya karakter si pembunuh.
‘Sisi lain diriku mengamati tanganku yang menahan kepala si Kayu Bakar, menatap pisau yang meluncur di kulit kencang di bawah rahangnya, leher yang terbuka seperti ritsleting, darah yang menyembur ke mana-mana seperti peluru yang dimuntahkan senapan otomatis, dan percikan darah di lantai atap.’
Rasa takut
Kendati telah menjadi cita-citanya sedari kecil, Jeong baru terjun sebagai novelis pada usia 44 tahun. Novel perdananya, Shoot Me in the Heart, terbit pada 2010. Berbeda dari novel-novel berikutnya yang banyak bergenre thriller, Shoot Me in the Heart lebih bernuansa drama. Bercerita tentang persahabatan dua pria yang bertemu saat keduanya menjadi pasien rumah sakit jiwa.
Jeong kemudian menekuni genre thriller yang dirasanya beresonansi dengan keinginannya untuk dapat menggamit pembaca ke semesta fiksi yang ia ciptakan. Thriller, dalam wawancara Jeong yang dimuat alam daring koreanliteraturenow.com, disebutnya sebagai genre yang dapat membangkitkan rasa penasaran pembaca. Di samping itu, ia menyukai rasa takut.
Dan tidakkah sisi jahat manusia dapat memunculkan rasa takut? Obsesi Jeong pada sisi gelap manusia seperti diakuinya dalam segmen Kata-kata Penulis di The Good Son, terpantik saat ia kecil. Jeong cilik, pada waktu itu, terpana dengan berita pembunuhan sadis oleh seorang pemuda kaya dengan pendidikan baik terhadap orangtua dan keponakannya. Ia tak habis pikir akan alasan yang menyebabkan kejahatan tersebut terjadi.
Berangkat dari teori Sigmund Freud yang ia kagumi, bahwa orang baik sekalipun punya keinginan untuk bertindak jahat, Jeong berupaya mengulik fundamental akan sifat-sifat manusia. Itu membuatnya membaca beragam hal, mulai Freud sampai psikologi evolusi. Hasil bacaannya mengejawantah dalam karakter-karakter antagonis di novel-novel yang ia tulis. Namun, ialah tokoh pembunuh di The Good Son yang Jeong katakan sebagai rekaan terbaiknya.
Terlepas dari norma sosial bentukan masyarakat, ketika kekejaman itu ialah sesuatu yang melekat secara natural pada seseorang, apakah ia sama dengan jahat? Bagaimana dengan hewan yang memangsa hewan lain untuk bertahan hidup? Bermain-main dengan pertanyaan tersebut, Jeong melahirkan sang antagonis dalam The Good Son. Jadinya ialah karakter yang kendati bengis, tapi rasanya tak sampai dibenci. Ada kalanya ia malah menimbulkan iba.
Presisi
Plot The Good Son menjadi istimewa karena Jeong membangun strukturnya dengan cermat, termasuk menambahkan banyak kejutan di berbagai tempat. Pada saat kita berpikir, ‘Oh, ternyata begitu’, muncul twist yang membuat kita akan merasa terkecoh.
Penulis yang dijuluki Stephen King-nya Korea itu juga memanfaatkan alur nonlinier untuk menyingkap kedalaman relasi antartokoh, baik ketegangan bertahun-tahun hubungan Yu-Jin dengan sang ibu maupun motivasi yang melatari tindakan setiap karakter. Dengan penulisan yang presisi, alur tersebut menghadirkan tempo yang pas dalam membuat pembaca menyimak ‘kelahiran’ seorang pembunuh.
Yang juga tak kalah cerdas ialah strategi Jeong bercerita dengan sudut pandang orang pertama. Aku. Gaya penuturan itu membuat kita ikut merasa terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan yang merentet di benak sang tokoh. Kita ikut menjelajah memori masa lalunya, ikut menyusun kepingan-kepingannya. Dan, tak jarang, justru termanipulasi penuturannya.
The Good Son ditutup dengan open ending yang mungkin tidak memuaskan sebagian pembaca. Meski begitu, akhir yang tercipta cukup membuat bergidik. Secara keseluruhan, novel yang judul bahasa aslinya kurang lebih bermakna ‘asal muasal spesies’ ini meninggalkan perasaan ‘terganggu’ yang memprovokasi pemikiran tentang sisi gelap manusia, termasuk pada diri kita sendiri. Akankah selamanya akal budi kita dapat memegang kendali? (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved