Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
ANAK-ANAK muda saat ini memang tidak hidup di era ketika pramusaji mengantar pesanan makanan dengan sepatu rodanya, seperti di film Olga dan Sepatu Roda (1992) yang dibintangi Desy Ratnasari. Namun, pengalaman ala remaja gaul era 1990-an itu bisa kita cicipi di Moja Museum atau Museum of Jakarta.
Berlokasi di Jalan Metro Pondok Indah, Jakarta, Moja Museum merupakan ruang seni atraktif yang mengajak pengunjungnya untuk mengeksplorasi ke-14 ruangannya dengan seseru mungkin. Cara yang dominan memang dengan berswafoto karena tampilan ruangan-ruangan tersebut yang sangat menarik untuk unggahan medsos.
Di antaranya ruangan dengan kolam mandi bola, ruangan dengan tribune berkursi nuansa warna kuning, ruangan yang penuh coretan spidol lengkap dengan spidol raksasanya, hingga ruangan dengan lantai berlampu warna-warna ala disko.
Namun, eksplorasi seru sesungguhnya tidak hanya dengan berfoto, tetapi juga berkeliling dengan memakai sepatu roda. Walhasil, kegiatan ini mempertemukan dua tren dari dua zaman.
Era sosial media yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi dengan kegiatan berfoto dan era 1990-an yang salah satunya punya ikon sepatu roda. Saat Media Indonesia bertandang ke Moja pada Jumat (30/8) siang, pengunjung didominasi kaum hawa.
Mereka datang dalam grup pertemanan, ada pula ibu-ibu muda yang membawa buah hatinya. Para pengunjung itu hampir semuanya antusias menjajal sepatu roda, meski tidak jarang tampak tertatih-tatih, bahkan terjatuh. Untuk yang tidak familier dan belum mahir menggunakan sepatu roda, Moja menyediakan alat bantu.
Beberapa desain instalasi seni yang dijadikan sebagai titik berfoto, juga tampil mendukung nuansa 1990-an, salah satunya instalasi dari bentuk biskuit Regal.
“Sejak dibuka pada Oktober tahun lalu, saat ini termasuk tema yang kedua yang kami sajikan. Sekitar 3-4 bulan sekali, kami pasti berganti tema. Untuk yang saat ini, kami memang mau mencari sesuatu yang belum ada di Jakarta, dengan mengambil tema era 1980 hingga 1990-an untuk mengembalikan kenangan masa lalu. Kebetulan sepatu roda juga ada di zaman itu,” terang staf Moja Museum, Diyah Retnowati.
Salah satu pengunjung yang datang siang itu ialah Deanca Rensyta. Datang bersama dua temannya, Deanca mengaku punya kenangan bersepatu roda saat masa kanak-kanak di 1990-an.
“Ini jadi nostalgia zaman kecil. Instalasinya juga menarik, colourful, supercatchy, seperti yang ada di pojok itu instalasinya pakai Marie Regal, sesuatu yang lekat banget sama kehidupan sehari-hari dan dari zaman dulu,” tuturnya.
Baginya, ruang seni yang memungkinkan interaksi dan eksplorasi pengunjung seperti itu sangat menarik. Terlepas dari tema 1990-an yang membuat nostalgia, ruang seni seperti itu membuat anak-anak muda rehat sejenak dari gawai. Memang, keberadaan Moja Museum itu sendiri mendukung gaya hidup bergawai, tapi paling tidak warga kota memiliki tempat hiburan yang membuat tubuh ikut bergerak dan tidak melulu hanya mengeluarkan uang, layaknya jika sedang berbelanja.
Jatuh yang benar
Untuk mendampingi dan mengawasi pengunjung yang belum mahir bersepatu roda, Moja pun menyediakan para instruktur. Tidak sekadar mendampingi dan memberi pelajaran dasar bersepatu roda, para instruktur tersebut juga terkadang menampilkan atraksi trik-trik sederhana.
Salah satu instruktur, Michael, menuturkan untuk bisa berjalan lancar dengan sepatu roda, langkah awal yang harus dilatih ialah cara berjalan. Ia memperagakan badan harus sedikit dicondongkan ke depan, tidak boleh terlalu tegap atau melenting ke belakang. Kedua lutut juga harus ditekuk dan kedua telapak kaki membuka membentuk huruf v. “Jalannya itu seperti penguin. Coba sampai empat langkah, lalu dorong agar bisa melaju. Badan tentunya harus rileks dan jangan takut jatuh,” sembari memberi petunjuk.
Ketika jatuh, Michael memberi dua cara untuk berdiri. Saat posisi jatuh tangan berada di depan badan, tangan menjadi tumpuan untuk badan bangun, lalu badan didorong untuk segera berdiri. Sementara itu, ketika jatuh dengan posisi tangan berada di belakang badan, salah satu kaki ditekuk di bawah kaki satunya, untuk kemudian bangun dengan posisi berputar lalu badan didorong sehingga kembali ke posisi berdiri dengan badan condong ke depan.
“Beberapa yang rentan cedera saat kita menggunakan sepatu roda, di antaranya pergelangan tangan dan engkel kaki. Namun, itu kemungkinannya kecil,” tambah Michael.
Diyah menuturkan bahwa dalam waktu dekat Moja akan berganti tema dan tidak menutup kemungkinan akan berpindah tempat dari lokasi saat ini Jalan Metro Pondok Indah, Jakarta Selatan. Buat sobat urban yang ingin menjajal seperti Desi Ratnasari di Olga dan Sepatu Roda, bisa langsung meluncur ke Moja Museum yang buka setiap hari dan bisa cek informasi di akun Instagram @mojamuseum. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved