Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Menyibak Keelokan Nusantara

MI/Abdillah Marzuqi
17/1/2016 03:36
Menyibak Keelokan Nusantara
(ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

SENJA di sebuah bibir pantai. Gundukan tanah yang menjadi latar terlihat temaram. Panorama itu seperti bukit mengitari kubangan air. Cukup sederhana kesan untuk menampilkan itu adalah pantai, sebab kapal nelayan masih coba mengintip dari balik kabut. Seolah tak ingin kecolongan fokus. Gambar seekor kuda nampang dengan posisi yang langsung menunjuk mata. Ia sedang meringkik sembari menengadahkan kepala ke atas. Ia seperti sedang menikmati sore di pinggiran Pantai Kalaki, Bima, Nusa Tenggara Barat. Foto itu adalah karya Mast Irham ((European Pressphoto Agency) yang menjadi sampul buku #iniNegriku; a Visual Journey.

Kepala kuda yang mendongak ke atas bisa dimaknai berharap sesuatu turun dari atas. Kepala mendongak menjadi semacam simbol harapan dan doa sekaligus perwujudan upaya si kuda untuk mencoba berkata dengan suara-suara yang tidak pernah terdengar. Seolah menyirat pesan tersembunyi tentang Indonesia yang harusnya menangkap suara yang tidak pernah didengar. "Sepertinya Indonesia harus mendengarkan suara-suara tidak pernah terdengar. Seperti itu?" tanya Wicaksono yang akrab disapa Ndoro Kakung sembari tertawa.
"Bisa seperti itu," jawab Edy Purnomo, fotografer senior.

Ndoro Kakung saat itu didapuk berbincang pada acara diskusi buku #iniNegriku; a Visual Journey, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Rabu (13/1), sedangkan Edy Purnomo ialah salah seorang fotografer lepas yang sekaligus didapuk sebagai kurator. Rupa-rupa warna dihadirkan kembali dalam bingkai. Berbeda dengan kebanyakan potret daerah yang lazimnya menggambarkan keindahan alam yang beku. Foto-foto yang ada dalam buku #iniNegriku; a Visual Journey seolah tak ingin terjebak pada pola semacam itu, sebagaimana dalam tulisan kuratorial disebut.

"Inilah etalase mini Nusantara. Wajah negeri ini, kami keluarkan dari bingkai mooi indie yang sering menyamarkan keindonesiaan dalam kemolekan yang beku." Istilah mooi indie sempat mewakili silang pendapat dua maestro seni lukis Indonesia, Basuki Abdullah dan S Sudjojono pada 1939. S Sudjojono memakai kata tersebut untuk mengejek pelukis yang menggambarkan Indonesia dalam rupa serbabagus, serbaenak, dan serbanyaman. Gemah ripah loh jinawi yang sering melupakan kenyataan sosial budaya.

Kesembilan fotografer yang tergabung dalam komunitas 1.000kata kemudian membingkai Indonesia melalui pendekatan sosial-budaya yang lebih akrab dengan visualisasi jurnalistik.
"Indonesia ala-ala kita," tegas Ahmad Zamroni (Forbes Indonesia). Masih terekam jelas buku-buku pelajaran sekolah era 90-an. Hampir semua menampilkan Indonesia dengan alam yang sedemikian indah. Sawah di kaki bukit dengan kuning daun padi tanda siap panen. Petani yang bekerja di sawah dengan kesan sedang bekerja keras dan bahagia dengan profesinya sekaligus Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebagai ikon kebanggaan Indonesia.

"Kalau tentang sawah dan candi, terima kasih kepada buku-buku sebelumnya yang telah menyumbangkan begitu banyak terutama pada zaman Orde Baru," tegas Edy Purnomo.
Inilah yang kemudian menjadi landasan untuk menampilkan keindahan Indonesia bukan hanya alam, melainkan juga ada manusia dan budaya yang tak kalah menarik. Dalam buku ini, setiap fotografer seolah mengajak penikmat visual untuk menjelajah Indonesia dengan melebur dalam alur sosial budaya masyarakat.

Ahmad Zamroni, misalnya, mengajak menyelami sosial budaya Sumba melalui kuda. Hikayat kuda juga menjadi pintu masuk Mast Irham menguak warna lokalitas Bima. Beawiharta memotret napas bahari dan antropologis Kota Tua Langgur, Saparua, dan Ambon. Yuniadhi Agung (Kompas) bakal mengajak pada pengenangan romantis tentang Sabang sekaligus berpesan saat ini Sabang telah bertransformasi menjadi kota kecil modern. Sabang berupaya menawarkan diri sebagai kota jasa. Agung bercerita melalui foto tentang anak-anak yang bergegas untuk salat Jumat di Masjid Babussalam Sabang dan aktivitas pelelangan ikan di Sibolga. Prasetyo Utomo (Antara) dengan potret tentang Berau yang bersahaja di tengah hantaman modernitas.

Ia membekukan gambar kapal muatan batu bara yang tengah melintasi Sungai Segah, Berau, serta pria suku Dayak Kenyah yang bersiap pergi ke ladang. Edy dengan potret kearifan masyarakat Putussibau dalam menjaga lingkungan. Ibu warga Putussibau menggunakan air Danau Sentarum untuk mencuci pakaian. Edy juga membingkai Banyuwangi dalam pertemuan antarbudaya; Jawa, Bali, Madura, dan Osing. Ia memotret desa adat Kemitren dengan kesenian barong dan arak-arakan pengantin, serta penambang belerang yang menapaki tanjakan terjal sembari memanggul beban seberat lebih dari 60 kg di Kawah Ijen.

Raja Ampat
Tiga fotografer lainnya juga membingkai cerita yang tak kalah menarik. Dita Alangkara merunut jejak rempah Nusantara yang melahirkan akulturasi Islam dan tradisi lokal sekaligus menggandeng jejak kolonialisme di Ternate. Peksi Cahyo (Bola) mencoba membingkai sejarah, tradisi, sekaligus alam. Terakhir ialah Sumaryanto Bronto (Media Indonesia) yang membekukan kemolekan Raja Ampat. Berbeda dengan foto Raja Ampat dengan keindahan alam. Bronto justru menyusup dan membingkai aktivitas sosial di Raja Ampat.
Bocah yang tengah berjumpalitan melompat dari bibir kapal.

Keceriaan anak-anak saat bermain di dermaga rakyat. Penumpang yang turun dari kapal di Pelabuhan Waisei dan aktivitas perdagangan di pasar tradisional Boswesen. Itu semua dibingkai dalam foto yang menghasilkan kesan tersendiri tentang masyarakat Raja Ampat. Buku setebal 200 halaman ini merupakan potret dokumen perjalanan 9 fotografer jurnalistik ke berbagai pelosok Indonesia. Tujuan mereka satu, membingkai Indonesia dalam sebuah foto jurnalistik yang mampu bercerita dan mengesankan bagi para penikmat visual.

Latar belakang jurnalistik para fotografer turut menentukan jepretan visual mereka. Foto yang terpampang dalam buku selayaknya foto berita yang punya cerita di balik gambar. Corak dan visualisasi juga menampakkan kejelasan gaya setiap fotografer. Mereka mempunyai gaya dan karakter masing-masing. "Kekuatan kita adalah background foto jurnalis. Jadi kita sudah punya basic storytelling," terang Beawiharta. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya