Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
SEBUAH taman tak lazim langsung menyapa pengunjung di Jogja Nasional Museum. Tidak lazim karena sang pembuat harus menggali tanah sedalam 4 meter dengan diameter 6 meter. Di sebagian lantainya dipasang ubin yang transparan sehingga bisa melihat bagian bawah. Pengunjung pun seolah bisa menikmati taman dari atas tebing.
Konsep karyanya berupa taman tropis. Kesan ironi sangat kuat ketika melihat karya yang diberi nama Taman Organik Oh Plastic karya instalasi seniman kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, Handiwirman Saputra.
Jika lazimnya di sebuah taman tumbuh aneka tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga, di taman rekaan Handiwirman, terpampang instalasi dari benda-benda yang dia temukan di kehidupan sehari-hari, dari karet gelang, kawat, hingga plastik. Sang seniman mampu membentuk benda-benda tersebut menjadi memiliki cerita.
“Hari-hari ini setelah gaya hidup hijau didengung-dengungkan sebagai penawar kerusakan ekologi akibat modernisasi dan industrialisasi, taman menjadi elemen yang penting sekaligus simbol prestise dalam pembangunan properti dan tata kota,” tulis Handiwirman memberikan keterangan pada karyanya.
Karya Handiwirman yang berjudul Taman Organik Oh Plastik tersebut merupakan proyek special dalam Art Jog MMXIX yang dihelat 25 Juli sampai 25 Agustus 2019. Total ada 39 seniman dari dalam dan luar negeri yang tampil dalam Art Jog kali ini. Selain Handiwirman, ada empat seniman lintas disiplin lain yang menampilkan special project, yaitu Riri Riza, Sunaryo, Teguh Ostenrik, dan Piramida Gerilya (kolaborasi Indiegeurillas dengan Singgih R Kartono).
Spektrum karya-karya mereka menjangkau isu-isu sosial, ekonomi, politik, budaya, teknologi, hingga gender. Karya-karya mereka berupaya menyadarkan kita betapa ruang bersama memerlukan reposisi, pemikiran ulang, perenungan, bahkan kritik yang baru,” kata dia.
Di lantai 3, ada proyek istimewa yang lain, yaitu karya sineas Riri Riza berkolaborasi dengan Studio Batu. Riri menghadirkan seni instalasi bertajuk Humba Dreams. Ada dua media yang bisa digunakan untuk menikmati seni ini, yaitu media animasi yang di tampilkan di layar yang membentuk setengah lingkaran. Di tengah-tengah layar animasi tersebut, ada tiga buah patung yang di dalamnya ditampilkan tayangan film tentang Humba. Untuk menikmati film tersebut, pengunjung harus duduk dan mengintip lewat celah yang ada.
Karya instalasi ini hasil pengembangan Riri dari film Humba Dreams. Lebih detail, Riri mencoba menggali kepercayaan Marapu dan mengaitkannya dengan budaya masyarakat di Sumba. “Di satu sisi ada keindahan (menjalankan tradisi), tetapi banyak konsekuensi di era kehidupan sekarang yang konsumtif dan banyak standar hidup ekonomi,” kata Riri.
Sementara itu, Teguh Ostenrik dengan karyanya yang berjudul Daun Khatulistiwa (Domus Frosiquilo) mencoba menghadirkan keindahan bawah laut di salah satu ruang pameran. Ia menghadirkan sebuah seni instalasi berukuran 9x6 meter. Di ruangan tersebut, Teguh menampilkan sebuah kubah dengan unsur audio dan visual alam bawah laut. Di dalam keindahan panorama bawah laut tersebut, Teguh juga menghadirkan bayang-bayang daun. Daun tersebut, tulis Teguh dalam keterangan karyanya, adalah daun khatulistiwa yang berfungsi sebagaimana laiknya daun, yaitu untuk berteduh.
Seni instalasi ini nantinya tidak hanya akan berhenti di ruang pamer, tetapi juga akan dibawa ke lautan. Harapannya, instalasi tersebut bisa menjadi tempat naungan pemulihan terumbu karang. Proyek istimewa yang lain ialah karya Santi dan Miko dari Indiegeurillas dengan Singgih Susilo Kartono. Berangkat dari kegelisahan mereka tentang pemberdayaan warga lokal, karya Piramida Gerilya lahir. Seniman-seniman tersebut kemudian berkolaborasi dengan seniman-seniman yang lain, seperti Agung Satriya Wibowo, Adamuda, Sindhu Prasastyo, Sapuupcycle, dan Lulu Lutfi Labibi, untuk mewujudkan konsep mereka.
Di ruangan yang lain, yang sangat berdekatan, sebuah warung Mukarabi dihadirkan. Berbagai pernak-pernik jualan dipasang. Di tempat ini, pengunjung akan mendengar suara perempuan yang mengucapkan kata tumbas secara nyaring.
Warung merupakan tempat interaksi produsen dengan konsumen yang hubungan mereka lebih sekadar transaksional, sedang kan Mukarabi merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang berarti menguntungkan atau bermanfaat bagi sesama.
Proyek spesial yang tidak kalah menarik ialah karya Sunaryo yang berjudul Bubu Waktu. Karya instalasi itu dibuat dari bambu yang sekaligus menjadi pintu keluar gedung pameran. Karya sang seniman itu menyerupai perangkap ikan dengan menempatkan cermin dan air untuk membuat pengunjung merasakan pengalaman seni yang unik.
Selain karya-karya dari proyek spesial, karya-karya yang lain juga tidak kalah menarik. Misalnya, karya Mary Magic yang berjudul Mendekolonisasi. Karya ini merupakan hasil penelitiannya di Jogja River Project (JRP) di sekitar Kali Code. Dalam karyanya, ia menampilkan video dan objek yang merepresentasikan lanskap Kali Code yang surealis karena dikolonisasi sampah. Kenyataan tersebut menumbuhkan empati warga akan lingkungan alamnya guna mencari kemungkinan untuk menghentikan kolonisasi plastik terhadap sungai.
Ada pula karya Etza Meisyara dengan judul Garam di Laut Asam di Gunung Bertemu di Belanga Juga. Ia menghadirkan seni instalasi berupa menaburkan garam di atas pelat tembaga yang digetarkan bunyi-bunyian yang dirambatkan pelantang untuk menghasilkan pola. Dalam karya tersebut, Etza menghadirkan pencarian bentuk komunikasi dalam alam semesta beserta segala macam mitos dan fakta.
Yang menarik dari Art Jog ialah berbagai kegiatan yang dilaksanakan selama pameran. Misalnya, Educational Programs untuk mendekatkan seni kepada publik dengan tiga cara yaitu, Meet the Artista, Curatorial Tour, dan Leksikon. Kuratorial tour merupakan cara Tim Kuratorial Art Jog untuk menunjukkan proses kurasi mereka terhadap karya-karya yang ditampilkan.
Meet the Artists merupakan dialog cair yang bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang proses berkesenian para seniman hingga menghasilkan sebuah karya. Pada Leksikon, seniman akan diberi waktu untuk mempresentasikan karya mereka dengan menampilkan dokumentasi audio-visual hingga menghadirkan pertunjukan yang menarik.
Art Jog MMXIX akan berlangsung hingga 25 Agustus 2019. Untuk masuk, pengunjung harus mengeluarkan kontribusi sebesar Rp50.000 untuk dewasa, sedangkan anak-anak usia 3-12 tahun dikenai kontribusi Rp25.000.
Ekosistem seni
Art Jog kali ini memiliki keunikan yang lain karena dibuka sosok Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan dihadiri pula Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf. Perempuan yang banyak berkecimpung di dunia perekonomian ini pun terlihat takjub dengan karya-karya yang dipamerkan. Bagi dia, menikmati pameran seni seperti Art Jog merupakan hal yang sangat menarik dan memperkuat ekosistem seni Indonesia.
“Di sini saya bisa merasakan jeda dan merasakan serta menikmati berbagai macam ekspresi dan hasil seni para seniman,” kata dia. Ia mengaku, selalu mengagumi hasil karya setiap seniman karena seni tidak ada yang baik atau terbaik, benar atau salah.
Menurut dia, seni merupakan sebuah ekspresi yang dekoratif. Setiap seniman memiliki interpretasi dan ekspresi masing-masing.
Khusus mengenai keberadaan Art Jog, Sri melihatnya sebagai sebuah gerakan yang konsisten. Ia pun mengapresiasi pameran seni tahunan berlevel internasional tersebut sebagai sarana menjadikan ekosistem seni di Indonesia semakin kuat.
Direktur Art Jog, Heri Pemad menyampaikan, Art Jog telah melewati perjalanan cukup panjang. Pada 2019 ini, pihaknya ingin, ArtJog lebih mengutamakan sisi festival yang bisa dinikmati dan diikuti semua kalangan. “Common Spaces adalah upaya untuk menjadikan kesenian sebagai ruang pengetahuan bersama,” kata dia.
Pertama, ruang bersama dalam Art Jog menggandeng berbagai perspektif ekologis, dari air, oksigen, lautan, sungai, bumi, hingga alam semesta.
Ada paradoks yang hendak disampaikan dalam ruang bersama dalam Art Jog. Di satu sisi, manusia modern percaya, alam semesta ada untuk dijelajahi dan ditaklukkan. Namun, di sisi lain, manusia dengan berbagai sepak terjang dan penemuannya telah mengeksploitasi alam. Akibatnya, perubahan-perubahan yang sangat signifikan terhadap alam terjadi, dari pemanasan global akibat penggundulan hutan hingga polusi udara dan sampah plastik.
Kedua, ruang bersama dalam Art Jog ingin menghadirkan persoalan antarmanusia dalam perspektif sejarah hingga hari ini. Ada persoalan-persoalan yang tidak pernah selesai dan selalu diangkat, seperti yang privat dan yang publik, yang menindas dan yang ditindas, hingga yang menatap dan yang ditatap.
Art Jog merupakan sarana bertukar gagasan, praktik seni, praktik sosial, ekonomi, dan politik. Art Jog merupakan ruang bagi keragaman ekspresi seni dan kreativitas berbagai individu dari berbagai latar sosial, budaya, dan bangsa. “Common spaces kami hadiri hadirkan sebagai sebuah upaya untuk menjalin percakapan denan kenyataan yang terjadi dalam keseharian kita,” pungkas dia. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved