Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Fragmen ketika Galunggung Menangis

El Cavega Terasu
21/7/2019 02:30
Fragmen ketika Galunggung Menangis
Ilustrasi(MI/Caksono)

Gigil raga ditampar udara pegunungan. Jauh di sana, kau tersenyum manja, dan aku hanya mencubit pipimu gemas. Begitulah foto lawas itu terlihat. Foto seorang wanita yang telah menjajah hati ini begitu lama, entah masih harus berapa lama lagi luka itu menganga dan bernanah-nanah. Percayakah terhadap sebuah rasa yang membuat diri terlihat mengenaskan dan gila? Sampai rasanya jiwa ingin meledak dan menjilati rindu yang entah sudah terserak kemana.

Senja sudah mulai bercumbu dengan altar langit tua. Jingganya merona, seolah membawa serpihan kenangan yang sangat menyakitkan. Mata memanas begitu saja, sesuatu di balik dada berdegup lebih kencang dari biasanya. Cangkir kopi di depanku masih meruapkan aroma yang menggoda, tetapi tawar untuk dinikmati dalam kepedihan.

Apa kau tahu? Bahkan lelaki terhebat pun pernah menangis. Saat ada orang yang mengatakan bahwa seorang pria haruslah tegar, dan tak meneteskan air matanya, maka bisa dipastikan dia tidak benar-benar mengenal mahluk perkasa tersebut. Apa aku pernah menangis? Ah tentu saja, bukan tangisan cengeng di hadapan siapa saja, tapi sebuah tangisan sakral yang hanya dinikmati petapa-petapa jiwa dalam kesunyian yang sempurna.

Mata awas memandangi kawah kehijauan, di tengahnya terdapat sebuah pulau yang mungkin akan membuat siapa pun takjub melihatnya, alunan lembut tembang lawas dari sebuah tape di warung kecil tempatku duduk, menyelusup dalam. Raga menikmati emosi fragmen kenangan lama, yang seolah menusuk gendang telinga. Menikam hati semakin berdarah-darah. Pedih itu datang lagi, silam terpampang jelas. Sebuah pengkhianatan terlukis kasar dalam benak, melahirkan sesak menetap.

Ingatan tiga dasawarsa itu makin merupa potongan video pendek yang ditayangkan kembali, dan raga tak kuasa menolak dan mengusirnya.

“Tunggu aku, nanti akan datang menjemputmu.”
Kira-kira seperti itulah telegram yang kukirimkan untuk wanita berlesung pipi, pemilik hati ini. Dengan tergesa, penuh keringat, dan rasa khawatir berlebihan, aku mendatangi bilik penyedia telegram. Dalam suasana genting itu, diri berharap bahwa pesan itu bisa sampai, dia bisa membacanya. Aku pasti pulang. Menjemputmu. Menanam tundra-tundra harapan, berharap suatu hari nanti bisa tumbuh menjadi sebuah tumbuhan dan berbunga keindahan.
Dalam perjalanan yang terasa panjang, sebuah kabar terbaca dalam koran yang sempurna diselimuti debu, di sana dikatakan bahwa penerbangan British Airways (BA) 009 dalam lesatan sayapnya dari Heathrow, London, menuju Auckland di Australia, hampir saja jatuh setelah keempat mesinnya berturut-turut mati. Benar, bencana itu bahkan mengangkasa dan menjangkau hal yang tidak dapat diperkirakan.

Pesawat itu masih beruntung, setelah keluar dari awan tebal yang diselimuti debu vulkanik, bisa mendarat selamat di Bandara Halim Perdana Kusuma, tetapi sepertinya tidak demikian dengan diriku saat itu. Sejarah dunia mencatat bahwa Galunggung menyebabkan bencana yang luar biasa di tahun 1982, tetapi dalam hati ini, sejarah diri terukir sempurna, dengan tinta darah dan air mata. Di tahun itu, setengah hidupku terenggut paksa.
Di saat orang berbondong-bondong mengungsi dengan kendaraan seadanya, truk-truk, angkutan pedesaan yang terbatuk-batuk, ataupun bus-bus rombeng, aku malah berusaha menuju titik bencana, di mana semua orang mungkin sudah tak mungkin lagi ada. Nalarku kalah oleh sebuah rasa bernama cinta, mungkin lebih tepatnya hal itu berbentuk kegilaan.

Dengan menumpang sebuah mobil patroli, akhirnya aku sampai di sebuah gubuk kenangan. Berharap menemukan senyum penyejuk jiwa, melihat mata bulatmu yang selalu menampakkan kecerian. Nihil. Kosong. Pedih. Sesak. Kau tak ada di sana, bahkan gubuk itu sudah hancur dan semakin usang, diliputi debu tebal. Sepertinya beberapa pekan lalu lava panas melewati area tersebut. Tiba-tiba saja dunia lebih gelap dari biasanya, mata merabun.
Pikiran jelek bersiborok dengan prasangka, melahirkan kesedihan tak berujung. Apakah kau tak selamat? Berharap masih bisa menemukanmu hidup dan baik-baik saja. Entah, apakah harapan itu berlebihan? Saat itu aku hanya bisa berlutut di tengah kesedihan yang mendalam.

“Sudah, jangan terlalu lama di sini. Kita harus segera kembali ke pos yang aman. Barangkali mereka baik-baik saja di suatu tempat.” Suara seorang tentara seolah membawa sebuah kesadaran dan secercah harapan.
Aku hanya mengangguk, menurut, bagaimanapun tentara tersebut sudah berbaik hati mengantar dengan keikhlasan yang paling murni. Biarlah diri mengalah, jiwa bersabar, berharap esok atau lusa bisa bertemu lagi denganmu, pemilik mata bulat dan lesung pipi paling sempurna.

Hari berganti minggu, bulan, bahkan tahun. Aku masih saja mencarimu, di sudut-sudut kota, di pinggiran-pinggiran desa tempat para pengungsi membangun lagi kehidupan baru mereka. Nihil. Kau seolah hilang ditelan bumi. Satu doa yang tak pernah berhenti dirapal sempurna di tiap lima waktu, berharap dirimu masih hidup.

Satu dasawarsa berlalu, dan berbagai kejadian terlewati dengan sangat cepat. Aku sudah hampir menyerah menemukanmu, namun saat itu, ketika menuju lokalisasi Saritem, demi mengantar seorang teman yang berjualan kutek untuk para kupu-kupu malam, aku menemukan senyum sejuk pemilik mata bulat dan lesung pipi paling sempurna di dunia ini, hanya saja senyum itu bukan lagi khusus untukku.
“Apa kau bahagia?”

Pertanyaan teraneh yang kulontarkan pertama kali saat bersitatap denganmu. Bukan bertanya kabar dan semacamnya. Wajahmu memerah, entah merasakan apa. Ada lubang yang tiba-tiba saja terbentuk di bilik Al-Isyq milikku.
“Apa kabar, Akang?” tanyamu, kemudian.
Aku hanya tersenyum sinis dan datar.

“Apa kau mau pulang denganku?” tanyaku kembali, tak memedulikan pertanyaanmu.
“Tidak bisa, Akang. Sekarang inilah kehidupan saya.”
“Aku akan memenuhi semuanya,” tegasku. Kaku. Rahang tiba-tiba saja mengeras. Apa dia tidak tahu bahwa kini aku bahkan mampu membeli siapa pun?
Dia hanya menggeleng kuat-kuat. Satu tetes air mata jatuh, dan dia menegaskan kembali penolakannya.

“Semuanya tidak semudah itu, Akang. Kalau tidak ada perlu di sini, pulanglah. Seseorang yang lebih baik dari saya pasti menunggumu,” ucapnya, parau.
Aku memegang tangannya kasar, beberapa pasang mata menatap heran, entah kenapa, harga diriku seolah terinjak-injak, apa dia pikir aku tidak bisa menghidupinya dengan baik?
“Ikut denganku!” Perintahku, kasar.

Dia hanya tersenyum sedih, tak berontak ataupun menjerit. Dengan lembut tangannya mengelus pundakku, hangat.
“Ada beberapa hal yang tidak bisa kita paksakan. Hiduplah dengan baik, Akang. Saya baik-baik saja.”
“Kamu tahu, hal ini haram?”
“Tuhan tahu segalanya, Akang.”

“Jangan bawa-bawa nama Tuhan di tempat sekotor ini.”
“Bahkan di tempat kotor pun Tuhan masih suka disinggung, Akang.”
“Jalang!” umpatku, kasar.

Dia hanya menunduk dalam, satu tetes air mata kembali menetes di sudut matanya.
“Saya memang jalang, Akang, jadi sudah jelas bukan. Pulanglah, tempat sekotor ini tak cocok diinjak oleh kaki sucimu.” Wanita itu berbalik, dia berlari menjauh. Meninggalkanku yang sedang berdiri kaku.
Tiga dasawarsa lebih kejadian ini berlalu, tapi masih lekat di ingatan, bagaimana waktu ternyata terkadang tak mampu mengobati luka yang terkadung bernanah dan telah menginfeksi seluruh jiwa.
“O-ho apa yang terjadi terjadilah, yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya, O-ho apa yang terjadi terjadilah, yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa”[1]

Lirik lagu lawas itu seolah memorak-porandakan fragmen ingatan. Sebuah penyesalan datang terlambat. Andai saat itu aku lebih rasional. Andai raga tak menyerah dengan satu penolakan. Andai diri mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya, dan seribu andai yang muncul begitu saja dalam pikiran, mungkin wanita di foto lawas ini kini ada di sampingku.

Benar, wanita itu terpaksa melakukan semuanya, demi sebuah penghidupan dari wanita yang sangat disayanginya, yang saat itu menderita TBC akut, juga demi menghidupi kesepuluh adiknya, setelah bapaknya mati, tak kuat mengisap debu yang mengepul dari Gunung Galunggung. Dan kini, wanita itu telah pergi, dari hatiku, dari dunia fana ini, selamanya. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik