Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Nyala Pluralisme Dunia dari Semarang

Fathurrozak
21/7/2019 02:05
Nyala Pluralisme Dunia dari Semarang
Berdiskusi lintas agama setiap kesempatan semakin membuatnya memahami keberagaman(DOK PRIBADI)

POTRET perempuan berkacamata dan berhijab hitam yang tengah bersalaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan ramai diperbincangkan dan mendapat respons positif dari publik. Perjumpaan keduanya yang ternyata merupakan kedua kalinya itu, menegaskan semangat pluralisme menjadi semai kedamaian sesama manusia.

Dewi Kartika Maharani Praswida, magister lingkungan dan perkotaan Unika Soegijapranata, Semarang, ialah sosok di balik potret yang ramai diberitakan itu. Sejak 2017, ia tergabung dalam komunitas Gusdurian yang berfokus pada isu memaknai keragaman perbedaan dan membangun dialog antarumat beragama.

Dewi mendapat beasiswa di Roma, untuk mengikuti program yang mempelajari berbagai agama di dunia. Selama 6 bulan, ia berkumpul dan berinteraksi dengan banyak teman dari berbagai negara dengan latar lintas agama. Menurutnya, anak-anak muda sangat perlu memaknai nilai dan gagasan pluralisme, tanpa harus mengusik hal personal dan mengedepankan nilai humanisme.

Muda berbincang dengan Dewi melalui surel mengenai gagasan pluralisme dan tantangannya menyebarkan nilai-nilainya. Simak yuk!

Apakah faktor exposure penting dalam penyebaran gagasan memaknai perbedaan?
Bisa jadi penting karena memungkinkan gagasan untuk memaknai perbedaan dapat tersampaikan lebih luas. Namun, tidak bisa dimungkiri setiap manusia memiliki pemikiran yang beragam dan lumrah dalam hidup ini.
Perbedaan pendapat tersebut tidak sedikit yang kontra, apalagi membawa-bawa urusan dosa-pahala, tetapi itu tidak masalah bagi saya. Dari yang kontra pun saya juga belajar memaknai perbedaan.

Apa yang kamu pelajari dari beasiswa Nostra Aetate Foundation?
Pada intinya saya belajar banyak hal tentang agama-agama lain. Namun kala itu saya berpikir, mumpung saya berada di pusat kekatolikan dunia, kenapa saya tidak mencoba belajar, mencari tahu tentang kehidupan para katolik, khususnya kehidupan para biarawan-biarawati yang memutuskan untuk hidup selibat.

Bagaimana proses kamu mendapatkan beasiswa tersebut?
Bermula akhir 2017, saya bergabung dengan jaringan Gusdurian Semarang dan Persaudaraan Lintas Agama. Kemudian pada 2018, saya mendapat rekomendasi dari Romo Aloysius Budi Purnomo Pr (Keuskupan Agung Semarang, dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk ambil bagian dalam presynode meeting orang muda seluruh dunia di Vatikan.
Tidak berhenti di situ saja, pada akhir 2018 saya mendapat rekomendasi lagi dari Romo Aloysius Budi Purnomo Pr dan KWI untuk mendapat beasiswa dalam bidang dialog lintas agama selama satu semester di dua universitas di Roma.

Apa saja yang sudah kamu lakukan bersama Gusdurian?
Sejak 2017 akhir, saya bergabung dengan komunitas Gusdurian, ketika itu teman saya menjadi koordinatornya. Saya diajak bergabung, setelah bergabung, saya merasa memang komunitas ini sangat mendukung untuk menya­lurkan gagasan tentang pluralisme.

Secara pribadi, saya banyak meng­unggah konten tentang indahnya perbedaan melalui media sosial dan teman-teman di Gusdurian yang merupakan sumber ilmu serta wawasan saya dalam mengembangkan pemikiran.
Kegiatan bersama Gusdurian biasa­nya sering kami adakan diskusi-diskusi kebangsaan maupun keberagaman. Juga berpartisipasi dalam beberapa kegiatan yang terkait dengan toleransi beragama.

Bagaimana menyikapi pandangan tanpa memperuncing kecurigaan?
Dulu ketika saya emosi, saya balas juga dengan debat kusir. Namun, se­iring berjalannya waktu, saya belajar harus menghadapi yang seperti itu dengan kepala dingin.
Namun, ada pengecualian, kalau lawan debatnya ialah sahabat atau teman dekat. Lebih baik saya hindari karena saya pernah berdebat dan berujung putus silaturahim hingga hari ini. Bia­sanya saya dengarkan dulu tanggapan mereka, kalau sudah selesai baru saya tanggapi sebisa mungkin tidak dengan emosi.

Mengapa orang bisa menjadi pembenci?
Saya beranggapan lingkungan tempat kita tumbuh dan berkembang juga memengaruhi bagaimana kita akan bersikap. Pun terhadap pembenci, saya tidak bisa mengatakan hal tersebut merupakan 100% kesalahan mereka. Bisa jadi, mereka merupakan orang yang belum tahu banyak tentang hal di luar lingkungan mereka, tapi menjadi korban doktrin yang kurang sehat.

Seperti apa kesulitan yang kamu temui di lapangan untuk membangun semangat persaudaraan?
Tetap harus sabar dan berkepala dingin, sebisa mungkin saya usahakan mendengar atau membaca pendapat mereka sampai tuntas. Kemudian, saya mempelajari juga bagaimana karakter dan latar belakang orang tersebut. Seandainya orangnya masih bisa diajak diskusi dengan kepala dingin, saya terus lanjutkan untuk diskusi dan berusaha menyisipkan nilai-nilai perdamaian dalam diskusi tersebut.
Namun, kiranya orang tersebut keras kepala dan selalu merasa benar sendiri, lebih baik saya diam dan tidak masalah disebut kalah bicara. Bagi saya perbedaan itu lumrah selama tidak terjadi perpecahan.

Apa yang perlu dipahami sesama anak muda terhadap pluralisme?
Bagi saya, kita semua sesama ciptaan Tuhan, perkara iman atau agama selalu saya tempatkan sebagai urusan pribadi tanpa perlu saya bawa-bawa keluar. Sebagaimana yang selalu saya utarakan bahwa sesama murid tidak baik kalau saling mengisi rapor temannya. Urusan dosa dan pahala bukan urusannya manusia. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya