Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
DMZ (Demilitarized Zone) Korea Selatan bisa disebut sebagai tanah kematian dan keputusasaan, tetapi di sisi lain tempat ini juga bisa dipandang sebagai tanah penuh harapan dan masa depan.
Helm baja itu tampak berkarat. Ia sudah tak bertuan, bahkan meninggalkan retak dan lubang di beberapa sisi. Rupanya, di masa lampau ia telah dihujam peluru senapan. Tak ada satu orang pun yang memungut helm tersebut, hingga pada suatu ketika datanglah Choi Byung Kwan yang mengabadikannya lewat bidikan lensa kamera.
Choi Byung Kwan ialah fotografer dan penyair kenamaan asal Korea Selatan. Ia fotografer sipil pertama yang masuk ke batas garis depan DMZ (Demilitarized Zone) Korea Selatan, pada 1997, dengan mengendarai jip.
Choi jugalah yang kemudian memboyong foto helm usang tersebut ke sejumlah tempat, seperti di Tokyo, Hawaii, Berlin, termasuk Markas Besar PBB. Dalam sebuah pameran foto bertajuk Korea’s DMZ itu, Choi turut membawa puluhan foto lain misalnya, tank, ranjau, kawat berduri, hingga bangunan sisa perang.
“DMZ sudah lama menjadi zona tanpa manusia karena secara ketat diberlakukan larangan bagi masyarakat umum untuk memasuki wilayah itu, kecuali pasukan khusus yang telah mendapat izin masuk pada 50 tahun terakhir dari gencatan senjata. Hal itu pula yang membuat DMZ sebagai museum perang yang sangat besar,” tutur Choi, kepada Media Indonesia, di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (25/6).
Selama berada di garis depan, Choi menemukan peninggalan sisa perang antara Korea Selatan dan Utara yang meletus pada Minggu (25/6/1950). Puing-puing berserakan di mana-mana, mulai kereta api tua, rel yang ditumbuhi gulma, jembatan terputus, bekas stasiun, desa, hingga gedung sekolah yang hancur dan lain sebagainya.
“DMZ bisa disebut sebagai tanah kematian dan keputusasaan, tetapi saya merasa bahwa DMZ juga bisa disebut sebagai tanah penuh harapan dan masa depan,” imbuhnya.
Hidup kembali
Choi tidak menyangka jika pada akhirnya ia bisa menggelar pameran foto DMZ di sejumlah negara termasuk Indonesia, sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi tempat pameran fotonya.
Adapun tempat pemeran foto itu berlangsung di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, yang berlangsung pada 25 Juni hingga 20 Juli mendatang. Dalam pameran yang terselenggara berkat kerja sama Museum Nasional Indonesia, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, dan Atase Media dan Kebudayaan Kedutaan Besar Korea Selatan itu, Choe tidak banyak menceritakan kronologi perang. Sebaliknya, ia menceritakan kondisi DMZ pascaperang yang telah berubah menjadi antah-berantah terisolasi dari dunia luar.
“DMZ menjadi wilayah yang bebas dan damai untuk tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna,” tutur Choi.
Kiranya ada 60 foto yang dipajang dalam pameran tersebut. Seluruhnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu Unfamiliar Landscapes of The 155 Mile Truce Line, People Who Guard The GOP Fence, dan Scars and Peace of War. Tiap fotonya memiliki kisah masing-masing, bahkan Choi kerap menganggap sejumlah objek fotonya sebagai bentuk reinkarnasi dari korban perang di masa lampau yang telah berubah wujud menjadi tanaman.
Selain menawarkan keahlihan menangkap cahaya, Choi dalam fotonya telah berhasil mengonstruksi berbagai macam cerita yang cukup ciamik dengan berbagai macam dinamika dan emosi di dalamnya.
Dalam foto helm usang penuh bekas peluru itu misalnya, Choi menambahkan keterangan demikian, “Suatu hari yang cerah pada musim semi, saya tersentuh melihat bunga yang mekar di helm baja yang berkarat. Sepertinya saya mendengar suara mengerangnya para prajurit yang tersebar di DMZ. Saya tidak bisa menutupi derasnya cucuran air mata yang mengalir pada pipiku dan kedua tangan. Air mataku itu seperti suara tangisan yang melirih seolah berkata ‘Tolong mekarkan bunga perdamaian pada tanah ini! Berapa lama saya harus menunggu untuk kembali pulang ke rumah dan bertemu keluargaku?’.”
Selain itu, ada juga empat foto yang dipajang secara berdampingan. Tiap bingkainya menawarkan pesona bunga-bunga yang tumbuh di sela-sela kawat berduri, salah satunya ada bunga bernama latin Lathyrus davidii hance, yang dianggap Choi sebagai bentuk reinkarnasi derap sepatu lars prajurit yang gugur di medan perang. Tak kalah cantik, ada pula tanaman yang disebut Choi sebagai bunga jagat raya (Cosmos) yang tumbuh di padang ranjau. Tak jauh darinya, ada foto bunga dandelion yang tumbuh di antara kawat berduri. Singkat kata, semua itu lantas disebut Choi sebagai fenomena di DMZ yang kini telah diambil alih oleh alam.
Pentingnya perdamaian
Berbagai macam tanaman itu selanjutnya telah menjadi representasi dari roh korban perang di masa lampau yang dewasa ini telah menutupi lanskap di seluruh kawasan DMZ. Saking intimnya, Choi bahkan menulis keterangan demikian dalam salah satu bingkainya, “Rumput kering di atas pagar kawat berubah menjadi bunga-bunga salju yang indah. Itu akan sangat bagus jika para prajurit yang meninggal dunia di lapangan perang bisa mekar seperti bunga salju yang indah.”
Sementara itu, perang antara Korea Selatan dan Utara telah berhenti lewat penandatanganan kedua belah pihak dalam Perjanjian Gencatan Senjata pada 27 Juli 1953 di Panmunjom. Sebelumnya, perang terjadi selama tiga tahun yang meninggalkan korban meninggal kurang lebih 3 juta jiwa, dan 10 juta jiwa di dalamnya terpisah dari keluarga maupun tanahnya. Sebagai fotografer yang telah terjun langsung ke DMZ, Choi selanjutnya ingin menjadikan pengalaman itu sebagai ingatan betapa pentingnya perdamaian.
“Saya terus-menerus berdoa demi perdamaian negeri saya,” tuturnya.
Atas dedikasinya itu, Choi dewasa lantas diganjar sejumlah penghargaan mulai Presiden Korea Selatan hingga Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Korea Selatan. Ia juga telah menerima Penghargaan Budaya Kota Incheon, Penghargaan Budaya DMZ, dan beberapa jenis penghargaan lainnya. Pun ia menulis sejumlah buku, salah satunya terpilih sebagai buku terbaik versi Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, yaitu berjudul My Mother’s Silk Road. Karyanya berjudul Don’t Cry Flowers! juga diperkenalkan pada siswa SD kelas 5 dan 6 di Korea Selatan. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved