Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Kupu-Kupu tidak Menyakitimu

Marliana Kuswanti
22/6/2019 22:30
Kupu-Kupu tidak Menyakitimu
Cerpen(MI)

IS sangat sulit menerima kemungkinan suaminya tak akan pernah muncul lagi di hadapannya dan anak semata wayang mereka yang saat ditinggalkannya baru bisa mengucapkan, “Pa... Pa... Pa...,” dengan huruf ‘k’ di belakang yang hilang. Anak yang selama ini didustai Is dengan janji bahwa ayahnya pasti pulang tak lama lagi. 

Kini, anak itu telah berumur delapan tahun dan mulai tak peduli lagi akan sosok lelaki dewasa yang teman-temannya miliki tetapi tidak dimilikinya. Anak itu makin jarang menanyakan bapaknya. Sesuatu yang mulanya melegakan Is. Tetapi lama-kelamaan justru membuatnya gelisah. 

Anaknya menghabiskan nyaris seluruh waktu sepulang sekolah dengan bermain bola. Pulang penuh debu dan keringat, atau lumpur bila musim sedang basah. Tiba di rumah hanya untuk mandi, makan, mengerjakan PR, dan belajar sekadarnya, lalu pulas sampai pagi. Is ingin anak itu kembali sering menanyakan bapaknya.

Jauh dalam benak, Is akhirnya mau tak mau berpikir kalau mungkin orang-orang benar. Mereka bilang, suaminya pasti sudah lupa dengan anak dan istrinya tak lama setibanya di tanah rantau. Mereka juga bilang, suaminya sudah dari dahulu menunjukkan ketidakberesan. Hanya Is saja yang selalu menutup mata, mabuk kepayang oleh cinta yang kini terbukti bertepuk sebelah tangan.
Is mungkin teramat mencintai lelaki itu. Tetapi lelaki itu tidak. Tidak mencintai Is dengan besaran cinta yang sama atau malah sama sekali tidak pernah ada cinta sekelumit pun untuk Is. Hanya memanfaatkan kepolosan Is, penyerahan diri nyaris tanpa syarat kecuali keinginan agar hubungan mereka segera disahkan secara agama maupun negara.

Masih kata orang-orang, lelaki seperti suaminya mana peduli dengan status pernikahan. Di tanah rantau bertemu perawan, janda, bahkan istri orang pun akan dikejarnya sampai dapat demi memuaskan hasratnya sebagai lelaki yang selalu ingin dianggap lebih jantan daripada lelaki mana pun.

Mendengar semua itu, yang kian hari kian terdengar tak mustahil terjadi, Is jadi teringat kedua orangtuanya yang sejak awal menentang hubungannya dengan lelaki itu. Bapaknya tak sudi punya menantu sepertinya. Bapaknya bahkan rela kehilangan satu darah dagingnya kalau sampai Is nekat menikah dengan lelaki itu. Sementara ibunya terus bertanya, apakah di dunia ini sudah tak ada lagi makhluk berpelir dan lajang selain lelaki itu? Kakak-kakak Is kompak menjauhi Is. Berhenti saling sapa, pergi dari ruang tengah begitu Is ikut duduk di sana.
Dan Is memutuskan mengikuti kata hatinya. Is nekat menikah dengan lelaki yang diyakininya tak seperti sangkaan orang-orang. Is yakin ia mengenal lelaki itu lebih baik daripada siapa pun. Penampilannya boleh saja agak berbeda. 
Tetapi lelaki itu tidak kasar, tidak pernah memukulnya, tidak pernah mengumpat. 
Lelaki itu bahkan tidak melancarkan serangan gerilya pada malam-malam ketika mereka pergi berdua saja, kehujanan di tengah jalan, dan siluet tubuh Is di balik pakaian yang basah sungguh suatu godaan. Lelaki itu hanya akan mengulurkan jaketnya jika kebetulan membawa, lalu mengendarai sepeda motornya yang berknalpot nungging lebih kencang, membelah genang sepanjang jalan.

Lalu Is benar-benar mengandung benih lelaki itu. Hatinya damai meski masih lekat dalam ingatan tentang perkawinannya yang tak dihadiri satu pun keluarganya. Bapaknya mengunci diri di rumah nyaris sebulan lamanya, terlalu malu menghadapi pertanyaan atau sekadar tatapan tetangga. Ibunya konon masuk UGD hari itu juga dan Is tak pernah diperbolehkan menjenguknya.

Tidak sendirian, apalagi bersama menantu yang tak diharapkan itu. Saudara-saudara Is meludah persis di depan kaki Is saat Is datang dan bermaksud memperbaiki hubungan, merekatkan kembali yang retak. Pikirnya, nasi telah menjadi bubur. Daripada meratapi dan batal kenyang, tentu lebih baik menyiapkan lauk-pauk yang lezat untuk teman menyantapnya. Semua membanting pintu. Hidung Is nyaris melesak kalau ia tak serta-merta menarik kepalanya ke belakang.

Is menceritakan semua itu pada suaminya. Untuk apa menutupinya sementara sejak awal lelaki itu juga sudah tahu keadaannya? Suaminya tak mengatakan apa pun kecuali, “Mungkin akan berbeda jadinya jika aku lebih dapat membuktikan rasa tanggung jawab dan sayangku padamu serta anak kita nanti.”

Maka setelah anak semata wayang mereka dirasa cukup umur untuk ditinggal dan Is telah terbiasa dengan tugasnya sebagai seorang ibu, lelaki itu pamit merantau untuk kehidupan yang lebih baik. Mulanya, keinginan itu hendak ditunaikan saat Is masih hamil muda. Tetapi dengan keluarga yang tak lagi peduli dan tetangga yang memandang tak bersahabat, Is tak tahu bagaimana harus melewati kehamilan dan persalinannya kalau tak ada suaminya.

Lelaki itu berjanji akan segera memberi kabar setibanya di tanah rantau dan menepatinya. Lelaki itu juga meneleponnya di minggu-minggu pertama kepergiannya dari atas truk yang dikemudikannya meski suaranya putus-putus akibat sinyal yang buruk. Lelaki itu berjanji akan mengirimkan sebagian besar gajinya begitu ia mendapatkannya dan pulang beberapa bulan sekali untuk menyaksikan pertumbuhan pesat anak mereka.

Tetapi kali ini, lelaki itu mengingkari dua janji sekaligus. Bulan demi bulan berganti. Tak ada telepon lagi, kiriman uang tinggal angan, dan kemunculan lelaki itu di ambang pintu hanya ada dalam mimpi Is. Nomor teleponnya tak bisa dihubungi. Is tak tahu apa pun tentang perkebunan yang mempekerjakannya. Is banting tulang menggantikan peran suaminya dengan anak digendong di punggung. Tahun demi tahun berlalu, menghitung-hitungnya hanya makin melukai.

Hujan sejak siang menggelisahkan Is. Bayinya menjerit-jerit, kaget, dan takut dengan suara hujan yang nyaring saat menimpa atap seng. Is sudah berusaha menimangnya keliling seluruh ruangan. Tetapi bayi itu kembali menjerit saat petir menggelegar, tampak seperti hendak menyambar masuk ke rumahnya.
Sementara di ruang tamu, si sulung tak henti-hentinya membuat kegaduhan. Kedua tangannya mengayunkan sapu, berusaha mengenai incaran, tetapi ayunan yang terakhir malah memecahkan bola lampu yang baru dibeli beberapa hari lalu. Rumah menjadi temaram dengan hancurnya bola lampu itu. Anak itu nyaris naik ke meja dengan sapu andalannya dan membuat kekacauan lain saat Is muncul bersama bayinya.

“Apa sih, Nang? Tak lihat adikmu rewel sejak tadi? Bola lampu sudah kamu pecahkan. Sekarang apa lagi? Jendela? Atau atap sekalian kamu runtuhkan supaya kita kuyup semua?”

Belakangan, anak itu tak cuma senang menghabiskan waktunya sepulang sekolah dengan bermain bola, tapi berulah di rumah dan membuat kesabaran Is nyaris habis di tengah gunungan popok kain yang terus meninggi di samping sumur. Apa matahari sudah pensiun dini? Anak itu berhenti mengayunkan sapu.

“Itu! kupu-kupu sialan itu terus menggangguku! Besok aku ulangan. Tetapi kupu-kupu itu terus menghinggapiku. Rambut, hidung, tengkuk, tangan... Memangnya aku bunga? Sudah buta mungkin kupu-kupu ini!”

“Hus! Jangan kasar begitu! Ibu adukan pada ayahmu saat ia pulang, lebam lagi kamu nanti. Lagi pula itu cuma kupu-kupu. Tawon baru kamu boleh bingung. Nanti juga pergi sendiri kalau di luar hujan sudah berhenti. Ayo turun, keburu ayahmu membuka pintu.”

Bocah itu turun dari meja, kembali pada sebaran buku-bukunya dengan mendongkol. Sapunya tergeletak di sampingnya.

Suatu pagi di puncak musim hujan. Warga yang tinggal di dekat aliran sungai yang banjir semalam dikejutkan oleh mayat laki-laki yang tersangkut di antara batu-batu. Tubuhnya telah membengkak dan tak sehelai benang pun menutupinya. Inikah salah satu kru dari truk perkebunan yang hilang? Tetapi sopirnya dicirikan penuh tato dari leher sampai kaki. Atau inikah kernetnya?

Jadi, di mana sopirnya? Diakah yang melarikan truk berikut muatannya? Ia memang tampak seperti seorang kriminal. Seharusnya tak satu pun perusahaan mempekerjakan orang sepertinya.

Banyak bulan telah berlalu saat tak jauh dari hulu sungai, seorang bocah berlari pulang ke rumahnya dengan membawa mainan baru yang ditemukannya di hutan. Saat ia menunjukkan mainan barunya yang tampak seperti pemukul genderang, orangtuanya seketika menjerit, “Astaga! Ini tulang orang, Nak!”

Anak itu meraung-raung saat orangtuanya berkeras merebut pemukul genderangnya.

Sapu patah menjadi dua. Bocah itu baru saja merasakan kemenangan saat sebelah telinganya dipelintir sampai wajahnya panas. Sepanjang perjalanan ke dinginnya kamar mandi, potongan gagang sapu terus menghajar bokongnya yang tipis. Pintu dikunci dari luar dan bocah itu tahu dunianya berakhir untuk kesekian kalinya sejak ia punya adik bayi.

Dan malam telah di puncak saat sayup-sayup terdengar ratapan, “Apa Ibu bilang, Nang? Kupu-kupu tidak menyakitimu. Seharusnya kamu membiarkannya terbang dan hinggap sesuka hati...”

Di lantai ruang tamu, di bawah ijuk yang tak lagi tebal, seekor kupu-kupu tergeletak tak berdaya. Sepasang sayapnya penuh bercak hitam dan putih, mengingatkan Is pada tato di sekujur tubuh seorang lelaki.

“Kupu-kupu tidak menyakitimu, Nang... Kupu-kupu tidak menyakitimu...” (M-2)

Surakarta, 5 April 2019



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik