Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
BUTUH waktu 20 tahun agar Rob Pearce berhasil menyelenggarakan pameran tunggalnya yang bertajuk It’s All about Story: Past, Present, and Future. Seniman asal negara ‘Ratu Elizabeth’ itu cukup unik menggelar pameran karena menggunakan lapisan kertas sebagai medium untuk melimpahkan imajinasinya.
Jauh sebelum pameran lukisannya itu, Rob mempunyai latar belakang keilmuan di bidang fotografi dokumenter. Meski akhirnya Rob memutuskan berkarya di seni rupa murni, tetapi pengalamannya selama merekam jalanan Ibu Kota mengantarkannya membuat pameran lukisan yang artistik.
Kota Jakarta menjadi inspirasi dan energi utama dalam pamerannya kali ini. Ia mengatakan, selama hampir 30 tahun menetap di Jakarta, telah memberinya banyak energi untuk disalurkannya melalui seni.
Ia berkisah ketika pertama kali datang ke Indonesia pada medio 1970-an dan kembali lagi 20 tahun setelahnya. Pada mulanya, ia lebih banyak bergerak dalam dunia fotografi jalanan di tengah gegap gempita industrialisasi Ibu Kota.
Akan tetapi, pengalaman yang ia rasakan menjadi fotografer jalanan itu tidaklah menghadirkan visualisasi yang memanjakan mata. Bahkan, ia menilai dirinya memasuki warna-warni lusuh, meskipun saat itu kota tengah terkena efek modernisasi.
“Documentary photography bagus, tapi kurang ekspresi mungkin. Zaman dulu enak, pakai film. Sekarang digital saya tidak bisa karena itu terlalu rumit buat saya. Ini banyak energi luar biasa di Jakarta, kalau saya ke kota yang lain, Jakarta itu kota ribet, ruwet, tapi itu makes you better person,” ujar Rob, ketika ditemui di sela-sela pembukaan pamerannya di Galerikertas Studiohanafi, Depok, Rabu (1/5).
Ia kemudian menumpahkan segala imajinasinya tersebut ke dalam puluhan kanvas yang menampilkan foto, lapisan kertas, dan ukiran beraturan yang membentuk pola bunga, teko, dan secangkir kopi yang akan dipamerkan hingga 30 Mei.
Seperti yang dituangkannya dalam lukisan yang berjudul Teko Kehormatan. Pada kanvas berukuran 76 sentimeter persegi itu, ia ingin menceritakan bagaimana kekagumannya pada keindahan hasil tangan manusia, yakni membuat teko. Ia lalu mengukirnya melewati setiap lapisan kertas di bawahnya.
Lalu, pada lukisan yang berjudul Tutulan yang Di-Jakarta-isasi di Sebuah Taman Cipayung, ia merekatkan beberapa halaman buku, lalu dilukis menggunakan cat akrilik, pada aluminium komposit.
“Jika ingin tahu lebih dalam pakai cutter agar bisa mendapatkan clue. Itu lapisan halaman buku-buku, saya bikin gambar, kemudian dirobek. Kamu perlu mendekat untuk membaca cerita yang ada di bawahnya. Mungkin juga kamu perlu membacanya dengan jari,” kata Rob.
Rob mengatakan, lukisannya terinspirasi dari bekas sobekan poster di tembok-tembok Jakarta yang sering dianggap sebagai sampah visual. Itulah yang kemudian membuatnya terdorong untuk mencari bentuk ekspresi yang berbeda, selain fotografi.
“Banyak poster iklan yang ditempel lembar demi lembar, misalnya, di bawah jembatan. Dari sana saya lihat poster ada dilapis, yang pasang, dirobek, dan ditempel dengan yang baru. Itu sebuah energi Jakarta buat saya,” kata Rob.
Sementara itu, kurator in house Galerikertas, Heru Joni Putra, mengungkapkan, material utama karya Rob Pearce ialah buku-buku yang sudah ia baca. Lembar demi lembar buku yang dipasang pada kanvas dengan ketebalan tertentu dan kemudian ditempeli dengan variasi kertas warna.
Heru menuturkan apa yang dilakukan Rob ialah menjadi pertanda bahwa usaha untuk menemukan modus penciptaan karya kertas akan terus dilakukan.
Selain itu, ia mengatakan, karya Rob sebagai refleksi dari wajah ibu kota. Bagaimana ia menjelaskan di Jakarta terdapat persilangan yang rumit antara keberuntungan, perburuan, ketidakaturan, keacakan, disiplin dan penyimpangan, keindahan, dan kerapuhan.
“Semua itu tidak berada dalam pola saling berposisi, tetapi sengkarut satu sama lain. Membentuk kesadaran tertentu pada kita yang bermukim lama di Jakarta. Karya Rob menceritakan kompleksitas itu,” ungkap Heru.
Pendiri Yayasan Lontar John Mcglynn menambahkan, karya Rob Pearce menampilkan kesederhanaan fotografi yang telah ia kerjakan dengan tekun selama bertahun-tahun. Ia mengatakan, lamanya waktu yang dibutuhkan tebayar dengan karya artistik yang kompleks dan sangat bergairah.
“Setiap elemen sesungguhnya adalah sebuah cerita, seperti layaknya sebuah dongeng, ia dibuat untuk dipelajari, dipahami, dan memperkaya mental pembacanya,” ungkap John.
Pameran lukisan Rob Pearce itu akan berlangsung hingga 30 Mei 2019. Hingga 30 hari ke depan, Rob Pearce akan menggelar workshop, diskusi, dan presentasi karya perupa muda. Lalu, juga diisi dengan diskusi bersama pengamat politik Indonesia Douglas Ramage, seniman Hanafi, Heru Joni Putra, dan Ika Kusumawardhani. Selain itu, diisi sharing kolaborasi musik bersama Lawe Samagaha, Elegi, dan Dipo. (Tos/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved