Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Ucikowati Derita Anak Tapol

(TS/M-1)
04/5/2019 20:01
Ucikowati Derita Anak Tapol
UCIKOWATI(MI/SUMARYANTO BRONTO)

MASA kecil yang berbalik 180 derajat. Begitulah yang dirasakan Ucikowati mulai awal November 1965.

Dari anak Bupati Cilacap, Jawa Tengah, Uci--demikian ia dipanggil, menjadi anak tahanan politik (tapol) yang dijauhi teman bahkan saudara.

Ayah Uci, yang kala itu menjalani periode kedua tugas sebagai bupati tiba-tiba ditangkap di Purwokerto atas tuduhan makar. Tidak hanya itu, ibu, paman, dua bibi Uci pun ikut ditangkap.

Namun, sementara sang ayah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Cilacap, dan kemudian mendapat vonis 20 tahun, sang ibu ditahan tanpa diadili. Penahanan sang ibu di penjara khusus perempuan Bulu (kini LP Kelas II A Wanita), Semarang, itu mencapai tujuh tahun.

Ditahannya kedua orangtua, membuat Uci dan dua adiknya yang masing-masing masih berusia 11 dan 10 tahun mengalami nestapa. Kakek dan nenek yang mengasuh mereka tidak memiliki penghasilan sehingga Uci harus berjualan burung.

"Sebelum 1 November, saya adalah anak bupati. Setelah itu saya anak tapol. Berbeda sekali. Sewaktu jadi anak bupati, saya tinggal di kabupaten, semua orang ingin mendekat dan menghormati. Tapi setelah menjadi anak tapol, semua orang menjauh, bahkan saudara tidak mau lagi dekat," tutur Uci yang juga memiliki 1 kakak.

Diceritakan Uci, selama orangtuanya dipenjara, ia hanya bertemu tiga kali dengan ayahnya dan satu kali dengan ibunya. Pertemuan pertama dengan kedua orangtuanya terjadi berkat kebaikan seorang Polisi Militer yang menyarankan Uci membuat permohonan pertemuan keluarga. Pertemuan itu terealisasi setelah 10 bulan masa penahanan.

"Dari pengakuan bapak saya, sayalah yang mempertemukan bapak dan ibu karena sebelum ini bapak dan ibu tidak tahu mereka ditahan di mana. Mereka ditahan di tempat yang berbeda meski masih satu kota," tambahnya.

Selama menjadi keluarga penyintas, Uci merasakan dampak psikologis terus dan merasa ketakutan. Pada saat itu Uci merasakan situasi sangat mencekam dan menakutkan. Terlebih, ia kerap mendengar mengenai para tetangga yang ditahan di Nusakambangan dan tidak pernah kembali.

Meski begitu, Uci mampu bertahan. Ia pun tidak menutupi kenyataan keluarganya sebagai tapol. Ia hanya bisa berpasrah terhadap orang yang tidak memiliki sikap baik padanya.

"Lingkungan sekeliling saya semua tahu bahwa saya anak tapol, ada yang bersikap baik, ada yang tidak. Calon suami saya juga tahu bahwa saya anak tapol. Anak saya juga tahu kakek dan neneknya tapol," ujar Uci.

Keberadaan Dialita bagi Uci memiliki manfaat yang amat besar. Ia merasakan kesempatan interaksi dengan sesama keluarga penyintas tapol PKI di Dialita memberi rasa nyaman dan berkawan dengan pedihnya kenangan.

"Karena sudah berlalu puluhan tahun, kami bisa bercerita sambil tertawa, tapi air mata tetap keluar. Tapi setelah pertemuan ada kelegaan. Sampai sekarang kadang masih menangis," aku Uci.

Ia berharap bangsa ini tidak akan pernah lagi memiliki sejarah kelam yang sama. "Mereka mungkin tidak tahu kenapa harus berbuat seperti itu. Mari kita menempatkan peristiwa ini sebagai tragedi kemanusiaan yang membuat banyak orang menjadi korban," tutup Uci yang mengaku sudah berdamai dengan masa lalu dan orang-orang yang menyakitinya. (TS/M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya