Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
PARADOKS merupakan perkara yang selalu terdengar menarik untuk dibicarakan siapa dan kapan saja. Pada suatu waktu, ada seorang anak muda di Salatiga, menulis kata demikian di kaus oblongnya: ‘selalu mencari hal baru adalah pekerjaan lama’. Memori itu lantas terngiang di kepala kala melihat Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 yang dibuka secara resmi pada Selasa (23/4), di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Tema besarnya ialah Kontraksi dan pascatradisionalisme. Dari pengertian itu, kemudian lahirlah sejumlah rangkaian gagasan dan praktik kesenian yang luar biasa dan tak terhingga. Menyimak paparan para kurator di bawah ini, kemungkinan besar akan menuntun pembaca pada musababnya.
Pameran Seni Rupa Nusantara ke-10 itu dikuratori Asikin Hasan, Sudjud Dartanto, dan Suwarno Wisetrotomo. Menurut mereka, apabila dirunut dari Kamus Oxford, pengertian kontraksi (contraction) berarti sebuah proses mempersingkat kata dengan kombinasi dan peniadaan bunyi dalam ucapan.
Sejurus dengan pengertian tersebut dan dalam bingkai kurasi sebuah pameran, mereka kemudian melihat ‘kontraksi’ sebagai pergulatan luar biasa suatu tanda dari berbagai proses kombinasi dan dari pergulatan itu, kemudian memungkinkan lahirnya tanda baru: apakah tanda baru yang bergerak seturut zaman itu memiliki arti yang sama dengan tanda lama atau tanda lainnya, hingga pada akhirnya akan diterima bersama dalam sebuah proses dialektika.
Lalu, bagaimana dengan ‘pascatradisionalisme’-nya? Asikin dkk mula-mula mengawali pembahasannya dengan menyinggung modernisme. Dalam pengertian tersebut, seni selalu dipandang dapat menghadirkan semangat shock of the new, yang mana kebaruan menjadi tolok ukurnya.
Harus diakui bahwa pada mulanya cukup melelahkan ketika yang menyaksikan karya itu dipaksa mengikuti alur pemikiran para kurator. Namun, kalau dirasa-rasa, baik ‘kontraksi’ maupun ‘pascatradisionalisme’ itu, sebenarnya memiliki muara yang sama kalau dihirup-hirup dari aromanya.
Pertama, soal ‘kontraksi’ ujung-ujungnya ialah ‘dialektika’. Kedua, soal ‘pascatradisionalisme’ ujung-ujungnya ialah ‘anyaman teks’. Dua hal itu mirip uraian benang yang dipilin hingga berkelindan bukan?
Memilih realis
Dua karya berikut barangkali bisa menjadi perwakilan terkait dengan upaya untuk memahami alur gagasan, tema, pikiran, dan keterampilan atau laku kesenian para seniman yang telah melewati masa kurasi oleh para kurator pameran.
Pertama soal ‘proses’, perkara ini dirangkai dengan apik oleh perupa asal Yogyakarta, Melodia, melalui karyanya berjudul Work on Progress. Lukisan cat minyak dan pensil pada kanvas berukuran 174 cm x 170 cm itu menceritakan bagaimana ‘proses’ berkarya Melodia atau secara lebih jelas bisa dikatakan bahwa dalam hal ini lukisannya dibuat untuk menceritakan ‘proses’ melukisnya.
“Saya kalau melukis biasanya memang menggunakan foto, lalu saya tempel di kanvas. Nah, pada kali ini seluruh proses melukis saya biasanya saya tampilkan semua. Ada foto yang saya lukis di sini dan ada lukisan pada kanvasnya, tapi tidak saya selesaikan semua. Supaya apa? Agar orang tahu bagaimana prosesnya: ada foto, lukisan foto, ada bagian berwarna, dan ada bagian sketsanya,” tuturnya.
Melodia ialah seorang realis yang sebelumnya telah mencari jati diri di berbagai aliran. Pada 1988, ia semakin mantap dengan aliran tersebut karena merasa bahasa gambar ialah bahasa yang seharusnya mudah dipahami orang.
Sehubungan dengan tradisionalisme, ia juga mengganggap bahwa realisme ialah gaya yang sangat tua, yakni dahulu orang-orang banyak melukis dengan gaya tersebut.
“Nah, hari ini hubungannya dengan tradisionalisme adalah sepeda yang saya gambar secara realis, teliti, dan ada sentuhan popnya. Tapi memang yang saya tonjolkan adalah unsur prosesnya sebagai bagian dari ‘keterampilan’ yang dewasa ini sering dilupakan oleh para pelukis. Orang terkadang memang terlihat buru-buru ingin terkenal, padahal dalam setiap ‘kontraksi’ entah ‘pascatradisionalisme’ atau kapan pun itu, ‘proses’ punya posisi yang amat penting. Melalui lukisan inilah saya ingin menceritakannya,” imbuh Melodia, saat ditemui di depan lukisannya pascaupacara pembukaan Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 Kontraksi: Pascatradisionalisme di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Selasa (23/4).
Retrospeksi Drupadi
Namun, dalam keterampilan dan laku kesenian, punya kecakapan untuk menghargai ‘proses’ saja tampaknya tidak cukup bagi pembatik, Nita Azhar. Sebuah karya, baginya, harus dekat dengan unsur emansipatif yang mana pada saat ini ia tampilkan melalui kombinasi berbagai macam simbol, termasuk tembang dan kisah Drupadi dalam sebuah instalasi seni berjudul Sinjang Drupadi. Instalasi itu mampu menyuguhkan narasi yang sungguh luar biasa: ada perjuangan Drupadi melawan Dursasana dan ada pula kain panjang atau sinjang (jarik) yang dikenakannya.
Dua unsur tersebut sangat kentara dalam instalasi yang dibuat Nita. Ia berhasil meretrospeksi kisah Drupadi melalui instalasi seni sebagai bentuk penolakan dominasi laki-laki terhadap perempuan sekaligus dapat menyuguhkan monumen berupa kain yang tidak hanya berguna sebagai penutup tubuh, tapi juga simbol kehormatan perempuan dan martabat bangsa.
Instalasi yang dibuat Nita ini sungguh kaya elemen. Setiap bagian memiliki cerita bahkan menjadi simbol setiap persoalan yang diwakilinya.
Secara singkat, pembaca atau pengunjung Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 Kontraksi: Pascatradisionalisme di Galeri Nasional Indonesia nantinya bakalan melihat tubuh Drupadi dan Dursasana yang terbuat dari kerucut dalam instalasi yang dibuat Nita. Kerucut itu menjadi simbol tujuan manusia ke Tuhan yang Maha Esa. Ada juga mahkota Drupadi yang terbuat dari tanah, ini juga menjadi simbol asal manusia.
Lukisan karya Melodia dan instalasi Sinjang Drupadi karya Nita ialah dua dari sekian banyak karya yang ditampilkan dalam Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 Kontraksi: Pascatradisionalisme di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Masih ada banyak instalasi, lukisan, batik, patung, maupun grafis yang dipajang di sana atau kurang lebih ada 55 karya. Pameran itu juga dibuka untuk umum hingga 12 Mei mendatang, maka lekaslah berkunjung ke sana untuk menemukan paradoksnya. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved