Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Jimpitan, Karakter, sekaligus Ekspresi Budaya

Abdillah Muhammad Marzuqi
21/4/2019 03:50
 Jimpitan, Karakter, sekaligus Ekspresi Budaya
KHAZANAH(DOK EBET)

Jimpitan merupakan ekspresi dari kegotongroyongan. Setiap orang hanya menyumbangkan sejimpit barang. Ketika dilakukan bersama-sama, akan menjadi jumlah besar.

GELAS plastik kecil itu tergantung di dekat pintu depan rumah. Tentu ada tujuan meletakkannya di tempat yang bisa dilihat dari halaman.

Umumnya, selain di dekat pintu, juga dikaitkan dengan paku pada tiang. Bisa juga diikat di pagar rumah. Bahkan orang yang lewat di depan rumah itu bisa dengan mudah menjangkaunya. Letaknya tidak terlalu menjorok ke dalam kawasan rumah. Cukup berada di depan dan bisa dijangkau dengan seuluran tangan.

Siang hari gelas kecil itu kosong. Selepas Isya, gelas plastik itu sudah ada penghuninya. Biasanya berupa beras atau sejumlah uang ribuan. Pemandangan itu jamak dijumpai di kampung atau kompleks perumahan sederhana.

Begitulah ketika malam, petugas akan mengambilnya sembari melakukan ronda keliling kampung. Prosesi itu lazim disebut jimpitan. Jimpitan adalah sejumlah barang bisa berupa uang atau beras yang dimasukkan pada sebuah wadah kecil seukuran gelas. Kegiatan itu merupakan konsep kegiatan sosial yang sudah berjalan turun-temurun sejak dahulu pada masyarakat Indonesia.

Jimpitan merupakan ekspresi dari kegotongroyongan. Setiap orang hanya menyumbangkan sejimpit barang. Ketika dilakukan bersama-sama, akan menjadi jumlah besar. Sedikit demi sedikit, tetapi kalau dikumpulkan dari banyak orang akan menjadi sebuah kekuatan yang besar. "Secara sosial itu sebetulnya ekspresi dari sikap perilaku kegotongroyongan masyarakat kita," terang tokoh budaya sekaligus dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Achmad Charris Zubair, ketika dihubungi via ponsel, Jumat (12/4).

Konsep jimpitan pun punya banyak istilah dengan ungkapan berbeda. Namun, istilah itu mengacu pada kesatuan semangat kebersamaan untuk bergotong royong menyelesaikan masalah. Tidak harus dengan barang, bisa pula dengan tenaga.

"Bahwa jimpitan, urunan, batonan, itu sebetulnya merupakan bahwa disengkuyung (ditanggung) bersama-sama. Ada kesulitan, ada kekurangan, ada kebutuhan itu ya disengkuyung bareng-bareng," tambahnya.

Pada tataran lebih luas, konsep seperti itu juga muncul dalam tradisi budaya pada masyarakat nusantara dengan berbagai istilah yang bermuara pada harmoni.

"Iya, kalau menurut saya tetap. Makanya, istilah guyub, rukun, harmoni itu kan sebetulnya merupakan hal-hal yang sebetulnya hubungan nilai atas hal-hal yang seperti itu," tambah Charris.

Hukuman berlaku untuk yang meninggalkan norma sosial. Hukuman paling berat dalam tatanan masyarakat ialah dianggap tidak ada. "Dalam masyarakat kita itu kan hukuman yang paling berat itu kan di-'jutak' (dimusuhi), diasingkan, atau dikucilkan," tambahnya.

Gotong royong dalam masyarakat Indonesia merupakan sikap karakter dari masyarakat yang ada sejak dahulu. Ada pertimbangan untuk hidup bersama tetangga dalam sebuah komunitas. Kalau ada kesulitan, tetangga ialah sesuatu yang bisa diharapkan ketimbang saudara, tetapi yang bertempat tinggal jauh.

"Jadi, saya pikir, gotong royong itu sebetulnya merupakan satu karakter yang sebenarnya menjadi jiwa dari masyarakat kita. Tidak hanya Jawa, tetapi juga pada umumnya di nusantara ini. Jadi, saya kira jimpitan itu, di satu sisi memang merupakan karakter. Tetapi juga secara sosial, itu juga merupakan ekspresi kegotongroyongan," tambahnya.

Di satu sisi, jimpitan merupakan semangat kegotongroyongan. Di sisi lain, jimpitan ialah konsep tabung sosial yang suatu saat bisa dipakai bareng untuk kepentingan yang membutuhkan. "Tetapi di balik itu, saya pikir masyarakat nusantara itu adalah masyarakat yang sosialitas itu lebih bermakna ketimbang individualitas. Jadi, filosofinya, ada suatu kesadaran bahwa kita tidak bisa menyelesaikan persoalan kita tanpa orang lain," tegas dia.

Ekspresi sikap sosialitas berupa jimpitan itu ditengarai sama tuanya dengan keberadaan masyarakat Indonesia. Bukan hanya dihitung mundur beberapa dekade atau abad lalu. "Saya pikir hal-hal seperti itu sudah berlaku bahkan di masa-masa sejarah yang lalu," ujar Charris sembari memberi contoh pembangunan keraton atau istana untuk raja.

Konsep gotong royong itu bisa pula dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya, romusha pada zaman Jepang. Romusha dikamuflase dengan kerja gotong royong, padahal kerja paksa.

Keberadaan jimpitan atau dengan istilah lain yang sepadan, berusia sama tuanya dengan sejarah masyarakat nusantara karena jimpitan ialah ekspresi budaya.

"Itu ekspresi budaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat itu sendiri. Ekspresi budaya itu tidak bisa dilepaskan dari nilai budaya, pandangan hidup, kemudian tata norma. Tata norma pasti akan memengaruhi sikap perilaku kita, termasuk dalam hal ini ekspresi budaya yang berupa jimpitan itu," tandas Charris.

Meski demikian, perkembangan zaman saat itu telah mengikis hal-hal yang positif yang sebetulnya bisa dikembangkan dari tata nilai, normal, maupun adat istiadat masyarakat. Dinamika masyarakat memupuk individualitas, lalu memunculkan angka, transaksi, maupun bisnis.

"Perubahan itu yang di satu sisi kita bisa saja menolak, tetapi kita tidak bisa mencegah. Menolak secara ideal, tapi itu sebagai bagian dari dinamika masyarakat," pungkas Charris.

Terkait dengan melestarikan nilai luhur dan ekspresi budaya, Gerakan Indonesia Kita (GITA) menggagas sebuah program yang dinamakan Jimpitan atau Perelekan, Riang Gembira di tempat pemungutan suara (TPS).

Program itu menyambut pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang berlangsung serentak di seluruh Indonesia pada 17 April 2019.

Jimpitan atau Perelekan merupakan tradisi masyarakat Jawa Barat yang biasa melakukan pengumpulan bahan makanan, seperti beras, sayur, bumbu, dan lauk maupun uang secara sukarela. Hasil dari pengumpulan itu lalu dimasak dan dimakan bersama. Program itu diharapkan bisa diadopsi dan diterapkan di daerah lain.

"Harapannya, program Jimpitan/Perelekan Riang Gembira di TPS ini bisa menginspirasi dan diadopsi oleh semua orang yang menginginkan kerukunan dan kebersamaan di wilayah lain di seluruh Indonesia, juga oleh diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri," terang Ketua Umum GITA, Alif Iman Nurlambang (11/4).

Kebersamaan dan gotong royong yang menjadi nyawa tradisi Jimpitan ini yang membuat GITA tertarik mengadopsi tradisi tersebut menjadi program untuk merayakan pesta demokrasi. Program tersebut dijalankan pada 320 TPS di 19 kabupaten/kota, di antaranya Kabupaten Bekasi, Garut, dan Sukabumi. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik