Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
RUMPUT-RUMPUT bagai berkeriap. Taman itu serupa ladang gembala bagi anak-anak ayam yang mencericit di bawah matahari pagi. Sisa-sisa embun masih menempel di semak dan rerumputan. Dari sebuah sisi, tampak berkilapan seperti mata liontin batu intan yang berhamburan karena sebuah ledakan.
Air mancur di tengah taman bergemericik dan menyebarkan bau lumut yang begitu lembab. Beberapa tempat duduk di sekitar kolam turut basah oleh titik-titik air yang dihalau angin.
Orang-orang berlalu-lalang, bersepeda, bersepatu roda, berlari-lari kecil, atau sekadar berjalan-jalan dengan sepasang kaki mereka yang riang.
Taman yang permai, dengan semilir angin dan cahaya mantahari pagi yang hangat. Berkeriap. Semua berjalan bagai keselarasan yang tak disengaja, hingga tiba-tiba seorang perempuan paruh baya meledakkan granat kegaduhan. Ia menjerit-jerit sambil mengobrak-abrik kereta bayi di hadapannya. Orang-orang menghambur mengerubutinya.
“Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada,” perempuan paruh baya itu mulai menangis, sesenggukan, masih sambil mengobrak-abrik isi kereta bayinya seperti mencari botol susu yang terselip.
“Bayi? Hilang? Bayi Anda hilang?” Seorang perempuan enam puluh tahunan, tambun, berkacamata, mencoba mencari tahu.
“Apa ada yang melihat seseorang mendekati kereta bayi Nyonya ini?” Seorang laki-laki dengan jaket berbulu bertanya kepada kerumunan. Tak ada jawaban.
“Siapa yang mengambil bayinya?” suara yang lain mencericip.
“Bayinya hilang? Bagaimana mungkin?”
“Aku berada di taman ini sudah sejak dua jam yang lalu dan tak melihat hal apa pun yang mencurigakan,” ucap lelaki tua dengan tongkat kayu yang dicengkeramnya kuat-kuat dengan kedua tangan tuanya.
“Apa Anda melihat seseorang mengambil bayi Anda dan membawanya lari?” yang lain coba bertanya.
Perempuan itu masih menangis, “Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada,” ujarnya lagi.
“Apakah Anda meninggalkan bayi Anda sendirian di kereta dorong ini?” lelaki muda bersyal marun silih bertanya.
Perempuan itu menggeleng.
“Lalu bagaimana bayi Anda bisa hilang?”
Kerumunan orang kian bertambah.
“Ada apa ini?”
“Bayi hilang.”
“Bayi? Hilang?”
“Iya. Bayi Nyonya ini hilang.”
“Bagaimana bisa?”
“Apa Anda yakin?”
Perempuan itu mengangguk di tengah kerumunan, “Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada.”
“Sejak kapan Anda menyadari bayi itu sudah tidak ada di kereta dorongnya?”
Perempuan itu mengibaskan tangan, tak ada yang paham maksudnya.
“Mungkin bayinya merangkak dan pergi ke suatu tempat dan luput dari pengawasan Nyonya ini.”
“Mungkin.”
“Apa bayinya sudah bisa merangkak?”
“Berapa usia bayi Anda, Nyonya?”
Suara-suara timbul tenggelam, silih berganti. Perempuan itu tak menjawab, ia malah menjatuhkan bokongnya di hamparan rumput dan menenggelamkan wajahnya di antara dua telapak tangan. Isaknya semakin redam.
“Sudahlah… Nyonya ini kehilangan bayinya, ia kehilangan bayinya… Kita tak perlu bertanya sekeras itu,” perempuan tua berkacamata menyabarkan sambil mengusap punggung si perempuan.
“Anda tenang dulu, Nyonya. Tenang!”
“Tapi, aku sudah di sini sejak dua jam yang lalu, bahkan sebelum Nyonya ini datang, dan aku tak melihat hal aneh apa pun,” lelaki tua bertongkat menerangkan dengan suaranya yang gemetar, “Aku melihat Nyonya ini datang dengan kereta bayinya, dan sekitar sepuluh menit kemudian tiba-tiba ia menjerit-jerit dan mengatakan bayinya hilang,” imbuhnya.
Suasana hening. Perempuan paruh baya itu masih saja terisak, isakannya mirip suara orang cegukan. Matahari terus memanjat ke ketinggian, tanpa peduli, dan taman itu kian berkeriap, seperti anak ayam yang dilempari menir beras.
“Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada,” suara perempuan itu sedikit lirih.
“Apa sebaiknya kita menelepon polisi?” lelaki bersyal marun mengusulkan.
“Bagaimana, Nyonya, apa kita perlu menelepon polisi?” yang lain menirukan.
“Benar. Sepertinya kita harus menghubungi polisi.”
“Bagaimana, Nyonya?”
“Bayiku,” perempuan itu masih seperti merengek di kamarnya sendiri. Orang-orang yang mengerumuninya tampak seperti dinding-dinding dan tiang-tiang dan lemari baju yang tak perlu digubris.
“Nyonya? Apa kita perlu menelepon polisi? Ini bayi Anda Nyonya, sebaiknya Anda membantu diri Anda dengan mengatakan sesuatu.”
“Bangunlah, biar kubantu membawa kereta dorongmu.” Lelaki berjaket bulu coba mengulurkan tangan, tapi tak ada sambutan. Perempuan itu malah asyik mencabuti tunas-tunas rumput di antara dua kakinya sambil terus terisak.
“Demi Tuhan, aku tak yakin Nyonya ini membawa bayi, barangkali ia hanya membawa kereta bayi dan ia melupakan sesuatu,” lelaki muda dengan syal marun kembali bersuara, diikuti anggukan lelaki tua bertongkat.
Perempuan itu mendongak, “Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada.”
“Kalau begitu, bisakah Anda menjelaskan, bagaimana bayi Anda bisa hilang?”
Perempuan itu menggeleng. “Bayiku hilang,” hanya itu yang dikatakannya.
“Iya, bayi Anda hilang. Tapi bagaimana bisa hilang.
Bagaimana mungkin bayi Anda hilang dan Anda tidak tahu? Apakah bayi itu lenyap begitu saja? Kalau begitu, barangkali ia ditelan kereta dorongnya sendiri.”
Perempuan itu memelototi lelaki muda bersyal marun dan kembali menenggelamkan wajahnya di antara dua telapak tangan.
“Lihatlah! Jawaban yang bagus. Tidakkah kalian berpikir bahwa ada yang kurang beres dengan perempuan ini?”
“Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada,” ungkap perempuan itu lagi.
“Kalian dengar, ia masih akan mengatakan itu sebanyak ratusan kali, ‘aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada.’” Lelaki bersyal marun menirukan gaya bicara perempuan itu seperti mengolok-olok.
“Maaf, Tuan, Nyonya ini kehilangan bayinya,” sela si perempuan tua berkacamata, “Anda laki-laki, Anda tak tahu bagaimana rasanya kehilangan bayi. Jadi, akan lebih sopan kalau Anda tidak berkata seperti itu pada Nyonya ini.”
Suasana hening. Semua tatapan tertuju pada lelaki muda bersyal marun.
Lelaki bersyal itu mendengus kesal, “Apa? Mengapa kalian menatapku seperti itu? Tak seorang pun melihat Nyonya ini membawa bayi. Apa ada yang melihatnya? Siapa yang melihatnya?”
Riuh, tapi tak ada sahutan.
“Tapi bukan berarti Nyonya ini mengada-ada, Nyonya ini kehilangan bayi, dan Anda malah mengejeknya,” seru perempuan berkacamata dengan nada kecewa.
“Terserah kalian saja, esok ia akan kembali ke taman ini dengan tali dan kalung anjing lalu menjerit-jerit dan mengatakan anjingnya hilang, lihat saja,” lelaki bersyal marun itu berujar dengan intonasi jengkel sambil berlalu membelah kerumunan.
“Begitulah tingkah anak muda sekarang, tak tahu sopan santun,” bisik perempuan tua berkacamata pada kerumunan.
Hening sejenak.
“Sekarang bagaimana?” Tanya seseorang.
“Apa yang harus kami lakukan untuk Anda Nyonya?”
Seseorang yang lain mencoba bicara seramah mungkin.
“Mungkin kami bisa mengantar Anda pulang.”
“Aku tak mau pulang, aku mau bayiku,” perempuan itu berkeras.
Kembali hening. Berkeriap sejenak. Hening lagi. Matahari di langit taman kian meninggi. Sinarnya seperti jari-jari mungil yang mulai mencubit-cubit kulit.
“Mungkin lelaki bersyal tadi benar,” ujar seseorang sebelum menghilang di antara kerumunan.
“Aku sudah di sini sebelum matahari muncul. Aku harus pulang, terik matahari tak terlalu bagus buat lelaki tua sepertiku,” lelaki tua bertongkat berjalan perlahan menyibak kerumunan dan pergi menjauh.
“Maaf, Nyonya, aku harus pulang, aku harus bekerja. Semoga Anda lekas menemukan bayi Anda.”
“Aku juga, aku harus pulang, aku harus bekerja.”
“Aku juga.”
“Aku sudah terlambat menyiapkan sarapan untuk anak-anak, aku duluan.”
“Apa kita perlu menelepon polisi?” perempuan tua berkacamata bertanya pada sisa-sisa orang di kerumunan.
“Sebaiknya kau bertanya pada Nyonya itu, ia yang kehilangan bayinya.”
Satu per satu, sisa-sisa orang itu pun mulai meninggalkan kerumunan.
“Kalian mau ke mana?”
“Kami tak bisa di sini sepanjang hari dan menunggu bayi Nyonya ini merangkak datang, aku harus pulang, aku ada banyak urusan.”
“Maaf, aku juga ada janji dengan seseorang.”
“Kau?”
“Tentu saja aku harus pergi, sepertinya Nyonya ini tak mau dibantu menemukan bayinya. Coba kau tanya sendiri, mungkin ia butuh seseorang yang lebih akrab. Sesama perempuan tentu akan lebih bisa saling memahami.”
“Kau juga akan pergi?”
“Maaf.”
Seperti kerumunan semut yang dihalau terik matahari, orang-orang pergi satu per satu untuk melanjutkan hari mereka.
Perempuan paruh baya itu masih saja duduk telimpuh di sebelah kereta bayinya yang kosong. Di sebelahnya, seorang perempuan tua berkacamata berdiri dari duduknya, duduk lagi, dan berdiri lagi. Ia tampak ragu-ragu. Setelah hening beberapa saat, perempuan tua berkacamata itu pun berlalu. Diam-diam. Tanpa sepatah kata pun.
“Aku bersumpah, bayiku tadi ada di kereta dorong ini, di sini, tapi sekarang sudah tidak ada, bayiku hilang, aku bersumpah…” Perempuan paruh baya itu berkoar lagi.
Sepi. Rumput-rumput tak lagi berkeriap. Taman tak lagi berkeriap. Pagi telah menjadi begitu terik. Terlalu terik, bahkan untuk sebuah keriap. (M-2)
Mashdar Zainal, lahir di Madiun pada 5 Juni 1984. Ia suka membaca dan menulis puisi serta prosa, kini bermukim di Malang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved