Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
Masih berlimpah, tetapi bisa terancam punah. Begitulah nasib hiu lanjaman di perairan nusantara. Hiu yang memiliki banyak nama latin, di antaranya ialah kejen, cucut lanyam, lonjor, dan mungsing itu menjadi target penangkapan seiring dengan masih banyaknya masyarakat yang menggemari konsumsi sirip ikan hiu.
"Dari data Statistik Perikanan tahun 2015, 60% total produksi hiu di Indonesia adalah kelompok hiu lanjaman seluruh famili Carcharhinidae dan 54% di antaranya merupakan hiu lanjaman," jelas Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dirhamsyah, dalam acara Peluncuran Non-Detriment Finding (NDF) Hiu Lanjaman di kantornya di Ancol, Jakarta, Senin (15/4).
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI telah menyusun dokumen non-detriment finding (NDF) hiu lanjaman. NDF diperlukan untuk memastikan pemanfaatan yang dilakukan tidak membahayakan populasi spesies hiu lanjaman.
Urgensi untuk menjaga populasi hiu bernama latin Carcharhinus falciformis itu terlihat dengan statusnya sebagai Apendix II CITES.
CITES merupakan perjanjian internasional yang bertujuan membantu pelestarian populasi tumbuhan dan satwa liar di habitat alam melalui pengendalian perdagangan internasional. CITES telah memasukkan 12 spesies hiu dalam Apendix II, termasuk hiu lanjaman.
"Jadi, dalam CITES, kalau misalnya suatu satwa atau tumbuhan sudah masuk dalam Apendix II CITES, terus ingin diperdagangkan, dimanfaatkan. Kita harus mengkaji menjadi sebuah dokumen atau rekomendasi namanya NDF," terang Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Selvia Oktaviyani.
Hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) secara efektif masuk dalam daftar Apendix II CITES sejak 2016 dan efektif mulai 4 Oktober 2017. Jangka waktu satu tahun itu dipergunakan untuk mengevaluasi pengelolaan dan pemanfaatan hiu lanjaman. Setelah itu harus ada evaluasi pengelolaan dan kajian NDF.
Baca juga: Kubah Gambut Tetap Jadi Sumber Air
"Efektifnya (status CITES) berlakunya satu tahun, jadi kita diberikan kesempatan untuk mengevaluasi pengolahan dalam negeri dan lain-lain. Berarti kita diberikan waktu satu tahun untuk masih bisa berekspor dari setelah keputusan itu. Setelah itu, sama sekali kalau ada yang masuk ke negara lain itu perdagangan ilegal," tambah Selvia.
Hasil kajian NDF oleh LIPI menunjukkan hiu lanjaman boleh diperdagangkan dengan beberapa syarat, yakni membatasi jumlah tangkapan dan ekspor melalui sistem kuota, membatasi ukuran hiu lanjaman yang diizinkan ditangkap, yaitu berukuran dewasa untuk memberikan kesempatan berkembang biak demi keberlanjutan populasi di alam.
"Pemanfaatan hiu lanjaman dapat dilakukan dan tidak mengganggu populasinya di alam dengan syarat melakukan pembatasan jumlah tangkapan melalui sistem kuota dan mengatur ukuran hiu lanjaman yang boleh dimanfaatkan," jelas Dirhamsyah.
LIPI menyimpulkan kuota tangkap yang baik bagi hiu lanjaman ialah sebesar 80 ribu ekor untuk 2019. Sementar itua, minimum ukuran panjang tubuh hiu yang boleh ditangkap ialah 2 meter atau dengan berat minimum 50 kilogram.
Tidak hanya itu, menjaga populasi hiu lanjaman juga membutuhkan perlindungan tempat pemijahan dan pembesaran hiu, dan menghentikan kegiatan finning hiu. Shark finning adalah praktek pengambilan sirip hiu dengan cara memotong dari tubuh hiu dan membuang sisa tubuh hiu di laut.
Namun, kuota penangkapan dan kebutuhan perlindungan habitat tersebut baru merupakan saran dari LIPI. Untuk dapat berdampak nyata, saran tersebut membutuhkan penerapan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Indikator ekosistem
Perlindungan hiu lanjaman sesungguhnya bukan hanya penting bagi populasinya sendiri, melainkan juga bagi keberlangsungan ekologi. Hiu ialah hewan yang punya fungsi penting bagi kelangsungan ekosistem laut. Ia menjadi indikator keseimbangan ekosistem dan menjaga kesehatan ekosistem laut. Hiu sebagai top predator dalam rantai makanan ikut membersihkan dan memakan hewan laut yang dalam kondisi lemah sehingga keseimbangan alami tetap terjaga.
"Top predator itu yang akan mengontrol ekosistem," terang Koordinator Program Hiu dan Pari Wildlife Conservation Society (WCS) Efin Muttaqin.
Ketakutan sesungguhnya bukan ketika melihat hiu di alam bebas. Justru ketakutan terbesar ialah ketika hiu tidak lagi didapati di lautan luas. Jika hiu tidak ada, keseimbangan ekosistem menjadi taruhan. Tanpa hiu, kehidupan laut akan terganggu.
Hiu telah ada di bumi sejak 450 juta tahun yang lalu. Tercatat lebih dari 500 spesies hiu di dunia, 117 spesies yang ditemukan di Indonesia. Pada 1950-an, populasi hiu mengalami penurunan tajam. Sekitar 90% spesies hiu di dunia telah hilang jika dibandingkan dengan 1950-an.
Ada sekitar 100 juta hiu ditangkap setiap tahunnya, atau 11.415 hiu ditangkap setiap 1 jam.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2015, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat eksploitasi hiu tertinggi di dunia dan menyumbang sekitar 13% dari produksi hiu global. Total tangkapan ikan hiu dan pari di dunia pada 2008 mencapai 700 ribu ton, sedangkan Indonesia menyumbang sekitar 110 ribu ton. Indonesia termasuk 5 negara penyumbang hiu terbesar di dunia selain India, Spanyol, Taiwan, dan Argentina.
Pada awal 1980-an, hiu hanya merupakan tangkapan sampingan. Kini hiu menjadi tangkapan utama sebab tingginya permintaan sirip hiu dan bagian tubuh lainnya. Hal itu mengakibatkan penangkapan berlebihan yang bisa membuat populasi hiu terancam, bahkan punah. Selain itu, hiu juga harus menghadapi tantangan lain seperti kerusakan habitat dan makanan yang semakin berkurang. (Zuq/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved