Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
MAKIN dekat ke hari pemilu, rasa penasaran bukan hanya mengenai siapa sosok yang akhirnya menjadi pemimpin negara, melainkan juga mengenai persatuan bangsa seusai kontestasi yang sarat politik identitas ini.
Akankah ada rekonsiliasi yang kembali menghangatkan kekerabatan sosial kita, ataukah politisasi agama terus berlanjut? Isu ini menjadi salah satu yang dibahas dalam wawancara Media Indonesia dengan Ketua Pusat Kajian Politik Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik (Puskapol LP2SP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, di kantornya di kawasan kampus Universitas Indonesia, Depok, Senin (8/4).
Bagaimana Anda melihat perjalanan kampanye pemilu sejauh ini?
Kalau yang debat presiden memang kelihatannya ada usaha dari penyelenggara pemilu untuk membuat debat menjadi lebih berkualitas. Hal itu terlihat dari materi dan substansi, cuma waktu terbatas maka eksplorasi di debat tidak maksimal. Yang menarik dilihat adalah perdebatan yang terjadi di publik secara luas, ada isu-isu yang tidak penting dan diulang-ulang.
su-isu programatik tidak relatif keluar di dalam tawaran-tawaran yang disampaikan oleh capres dan cawapres atau termasuk caleg sendiri.
Para caleg dan partai politik berusaha keras menjual pasangan presidennya dan dia pada saat bersamaan harus menjual dirinya sendiri dan program yang ditawarkan itu buka hal yang mudah. Terkait dengan kampanye terbuka, orang Indonesia itu masih suka dengan model kampanye terbuka karena ada kesenangan yang membuat orang berkumpul dan itu yang dimanfaatkan oleh para kandidat. Apakah kemudian mereka menyampaikan program-program? Ini agak sulit ditemukan, karena biasanya yang disampaikan lebih sederhana saja karena pemilih suka yang seperti itu. Bagi seorang kandidat atau caleg itu menjadi penting bagi dirinya sebagai psikologis massanya karena merasa ternyata banyak yang mendukung saya dan membuktikan apa yang disampaikan didengar.
Bagaimana soal persiapan pemilu oleh KPU?
Dari sisi persiapan memang dapat diperhatikan relatif mereka itu bisa menangani situasi. Tetapi kelihatan dalam beberapa hal, terutama KPU itu masih menyimpan problem serius terkait dengan daftar pemilih tetap (DPT), yang kini sudah berhasil untuk memberikan kesempatan pada pemilih yang tak punya KTP-E, tapi bisa menggunakan surat keterangan. Isu lain yang juga harus dijaga adalah soal logistik pemilu, terutama masalah kotak suara dari kardus. Namun, keseluruhan penyelenggara, pemilu kita ini relatif sedang berjalan on the track.
Justru menurut saya yang menjadi perhatian nanti yang sangat serius adalah persoalan politik uang. Ini adalah masalah yang paling krusial karena para peserta pemilu akan berlomba-lomba membeli suara. Ini bukan hanya persoalan serius kepada pemilih, melainkan juga nanti setelah pemungutan suara selesai, pada proses perhitungan suara, rekapitulasi, dan sebagainya.
Jadi yang dimaksud dengan membeli suara itu bukan hanya pas hari H, melainkan setelahnya juga bisa terjadi. Pada masa sebelumnya kerap terjadi ada manipulasi rekapitulasi hasil perhitungan suara, siapa aktornya? Di antaranya peserta pemilu dan juga penyelenggaranya mulai dari level TPS hingga KPUD. Jadi problemnya bukan hanya pada hari-H 17 April, melainkan juga setelahnya.
Lalu cara apa yang harus dilakukan pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi politik uang itu?
Ini persoalan yang agak rumit karena menyangkut banyak aspek ada persoalan sosial, budaya juga. Secara serius bukan semata-mata orang memberi uang dan kemudian selesai, karena di sana ada rasa kalau saya memberikan sesuatu maka harus ada imbal baliknya. Konsep seperti itu ada di beberapa tempat di masyarakat. Politik uang kalau dulu dianggap sebagai sesuatu yang haram, tapi sekarang dianggap biasa.
Kalau dari sisi regulasi, sebenarnya relatif sudah ada aturan, sekarang tinggal ditaati atau tidak. Yang repotnya juga, semua praktik ini dilakukan secara tertutup, siapa juga orang yang mau mengaku kalau dapat uang. Partai politik menurut saya juga cenderung lepas tangan terkait dengan caleg-calegnya. Hal itu menurut saya harus mendapat perhatian. Jadi menurut saya, solusinya tidak serta-merta harus direvisi aturannya, ada banyak hal-hal lain yang banyak dan mesti dilakukan untuk itu.
Soal ancaman adanya upaya mendeligitimasi hasil pemilu, bagaimana?
Saya merasa mestinya pemilu itu dianggap sebagai sesuatu yang rutin di dalam kehidupan berdemokrasi dan berpolitik. Itu yang paling penting karena kita merasa demokrasi adalah suatu sistem yang sudah kita anut bersama-sama dan pemilu adalah bagian dari itu. Ketika kita meyakini pemilu bagian dari keseharian maka ya sudah kita nikmati saja. Problemnya adalah ada orang-orang yang merasa belum puas dan ingin mencari kesempatan lain untuk mendeligitimasi dengan menganggap kecurangan ada dimana-mana. Ini bukti ekspresi dan dalam kehidupan berdemokrasi harusnya ekspresi seperti ini dianggap sebagai hal yang wajar karena bentuk ketidakpuasan.
Namun yang harus disikapi adalah soal kedewasaan politik. Kedewasaan politik kita memang dalam berdemokrasi itu sedang diuji. Apakah masyarakat mau mengekor pemimpin politik yang menyampaikan pemilu ini curang, padahal sudah on the track. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menyikapi hasil pemilu. Meskipun kalah harus diterima dengan lapang dada, yang menang juga harus merangkul. Jadi saya ingin mengatakan pemilu itu harusnya adalah bagian dari keseharian kita dalam berdemokrasi, bukan persoalan serius yang berdampak bagi kehidupan berikutnya sehari-hari. Hidup kita panjang dan silaturahim di masyarakat juga harus tetap dijaga. Bukan karena pemilu kemudian silaturahimnya bubar, ini persoalan yang harus kita perhatikan.
Bagaimana tentang golput dan apa artinya nanti jika tingkat golput malah semakin tinggi atau sebaliknya?
Saya memandang golput sebagai satu hal yang biasa dalam demokrasi. Kita harus menghargai bahwa golput itu tidak memilih karena kesadaran. Dalam konteks ini kita harus paham bahwa Anda memilih untuk tidak memilih dan menurut saya ini baik dan bagus di dalam demokrasi.
Ini sama halnya dengan sudah memutuskan untuk memilih A atau B dengan benar-benar sadar. Orang golput tidak memilih siapa pun, karena dia tahu yang disuguhkan untuk dipilih itu tidak menguntungkan buat dirinya.
Namun, kini konteksnya menjadi sangat berbeda ketika golput dianggap penyakit yang tidak baik. Penyelenggara pemilu mengategorikan bahwa golput itu menjadi persoalan bagi tingkat partisipasi memilih (sebagai target) dan menurut saya itu tidak fair. Penyelenggara pemilu memiliki target tingkat partisipasi di atas 74% karena itu adalah achievement mereka. Padahal mereka-mereka yang tidak memilih bukannya tidak punya alasan, justru mereka punya alasan soal itu dan mestinya ini harus dijaga karena juga penting dalam kehidupan demokrasi kita. Dalam konteks hari ini, banyak juga orang yang kritis pada pemerintahannya Jokowi tapi dia tidak mendukung oposisi karena pandangan tidak sesuai. Kita harus menghargai posisi mereka dan menempatkan mereka sebagai pilihan politik yang ada hari ini.
Apa saran Anda agar masyarakat dapat memilih secara rasional?
Kita harus melihat konteks yang berbeda. Pemilih yang mudah mengakses informasi melalui gawai artinya akan mudah untuk mencari informasi. Mereka harus sebanyak-banyaknya mencari informasi terutama pileg, karena belakangan ini masih minim pengetahuan soal caleg kita. Kalau masalah pilpres menurut saya sudah selesai, karena loyalis dukungan itu sudah mudah terbaca.
Kembali ke soal caleg, ada juga teman-teman ICW yang membuat daftar caleg-caleg mantan koruptor. Menurut saya itu adalah salah satu langkah positif untuk memilih secara rasional. Yang repotnya adalah para pemilih yang berbasis di desa yang masih percaya pada tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat sehingga mudah dimobilitas oleh tokoh tersebut dan ini butuh effort luar biasa.
Lalu apa makna kesuksesan Pemilu 2019 menurut Anda?
Yang pertama menurut saya adalah ketika penyelenggara bisa benar-benar bekerja secara profesional dan berintegritas. Itu yang paling penting dalam konteks polarisasi dukungan yang terjadi saat ini. Politik identitas yang menguat, bukan berarti penyelenggara ini dalam kondisi yang aman, dalam pengertian mereka tetap mudah untuk diintervensi atau hasilnya bisa dimanipulasi dan di sana ada peran penyelenggara yang menjadi persoalan serius. Seandainya penyelenggaranya benar-benar menunjukan sikap profesionalitas, kemandirian, terus tidak mudah diintervensi oleh siapa pun dan hasilnya kemudian hasilnya diterima semua pihak, maka itu bisa dikatakan salah satu kunci keberhasilan sebuah pemilu.
Sebaliknya, kalau ternyata masih ada intervensi, yang kalah merasa didzolimi sementara yang menang tertawa bahagia karena politik uang maka itu menjadi persoalan serius. Kalau yang khusus untuk Pemilu 2019, keberhasilan pemilu itu adalah setelah penyelenggaraan pemilu ini, terutama para kontestan pilpres ini punya agenda apa untuk kembali merekatkan kebersamaan? Mereka bisa melakukan apa? Bukan sekadar formalitas peluk-pelukan dan selesai, melainkan setelah itu mereka mau seperti apa untuk menguatkan kebersamaan yang sedang diuji melalui pemilu ini?
Rekonsiliasi seperti apa yang harus dilakukan?
Kalau terkait dengan cebong dan kampret, saya optimistis ini bisa berbeda nantinya. Artinya setelah pemilu ini akan mudah cair situasinya dengan catatan, elite politik dari 01 maupun 02 itu mau untuk kembali merekatkan lagi. Saya yakin urusan cebong kampret ini hanya diperkotaan dan yang mengerti internet saja. Yang juga penting diperhatikan adalah adanya cebong kampret ini karena adanya industri buzzer. Pesta akan segera selesai maka mestinya polarisasi selesai juga.
Soal permasalahan SARA di daerah, kebetulan saya dan teman-teman di Puskapol UI juga melakukan riset tentang politik identitas di beberapa daerah. Setelah kami tahu dan berdiskusi dengan beberapa pihak seperti di Medan, Yogyakarta, dan Pontianak, saya ingin mengatakan bahwa karena ini persoalan kekhasan masing-masing daerah, tidak mudah juga untuk mengatakan ini harus digeneralisasi solusinya. Artinya mesti ada agenda besar yang harus dibangun secara bersama-sama, tapi kemudian bisa dilakukan secara berbeda-beda.
Gambaran riilnya seperti apa?
Sebagai contoh gambaran di Medan, mereka juga baru selesai Pilkada 2018, pola identitas itu juga muncul di pilkada lalu, tapi menurut mereka mudah saja untuk kemudian cair karena ini bagian dari keseharian karena di Sumatera Utama mulitikulturalnya juga begitu kental. Sama halnya dengan di Yogyakarta, Jogja itu karakternya guyubnya, artinya itu tinggal dibangun kembali komunikasi-komunikasinya yang kemarin sempat terblok, sama halnya dengan Pontianak. Menurut saya itu adalah hal yang wajar karena setiap tempat punya mekanisme sosial yang bisa diselesaikan dengan caranya sendiri.
Kuncinya memang ada di elite. Apakah elite politik mau bicara dengan lawan politiknya setelah pesta ini selesai? Siapa menghampiri siapa, bukan hanya sekadar berpelukan karena itu hanya gimik. lalu setelah itu mereka mau apa? Lebih baik buat program yang konkret, bekerja bersama antara kedua kelompok yang sudah berkompetisi. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved