Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Wejangan soal pentingnya hutan sudah sering didengar Samuel Betaubun dari orangtuanya. Meski begitu, hingga dewasa, ucapan orangtua dan leluhurnya itu tidak beranjak lebih dari petuah.
Samuel tidak tahu cara riil untuk menjaga hutan. Padahal, dengan kebiasaan hidup masyarakat yang makin modern, ia pun paham jika keberadaan hutan maupun keanekaragaman hayati di dalamnya makin terancam rusak. "Daerah saya daerah penyangga, apa yang harus saya lakukan. Kalau rusak, nanti tidak akan bisa lihat hutan lagi, kasuari juga akan hilang," ujar pria asal Nayaro, Kabupaten Mimika, Papua, itu.
Akhir Maret lalu, Samuel berbagi kisahnya di acara Peringatan Hari Hutan Internasional di Auditorium Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
Ia bertutur, jika kala itu warga desanya juga mulai enggan dan tidak percaya kepada orang-orang dari berbagai lembaga yang hanya datang mengambil data wilayah dan kemudian pergi. Selain tidak merasa menerima manfaat, mereka khawatir akan sumber daya yang ada.
Pencerahan yang diharapkan mulai datang dengan adanya program USAID Lestari. Dari program tentang pembuatan peta partisipatif itulah Samuel mengerti pentingnya entitas kelompok dalam membuat gerakan. Maka dari itu, ia pun terlibat aktif dalam kelompok perlindungan Hutan Nayaro dengan pendampingan dari Fasilitasi Pendampingan Masyarakat untuk Pengelolaan Hutan dan Lahan yang Berkelanjutan yang dilakukan oleh USAID Lestari.
Baca juga: Waspadai Gelombang Tinggi Hingga 4 Meter
Ia kemudian mendirikan Kelompok Perlindungan Hutan Mame Airafua Kampung Nayaro dengan mengajak warga lainnya.
"Jika saya abai, adik-adik saya tidak akan mendapati hutan yang sehat di masa depan. Begitu pula dengan satwa endemik. Keindahan alam dan keanekaragaman hayati hanya akan tinggal cerita," tutur Samuel.
Dengan semangat menjadi pelindung hutan, Samuel merupakan salah satu sosok yang dipandang mampu untuk mewakili aspirasi masyarakat terkait dengan perlindungan hutan.
"Kita identifikasi Samuel sebagai champion yang sangat punya bakat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat untuk melindungi hutan, makanya kami fasilitasi," terang Deputy Chief of Party USAID Lestari Neville Kemp.
Bersama kelompoknya, Samuel mengajak warga masyarakat untuk bersama mengatasi kondisi keberlanjutan hutan di sekitar kampung yang semakin terancam karena limbah, penebangan liar, perburuan satwa, dan berbagai aktivitas pengerukan material oleh perusahaan tambang.
Disahkan
Kelompok Perlindungan Hutan Nayaro dibentuk oleh Pemerintah Kampung Nayaro yang disahkan melalui SK Kepala Kampung No 327.1/KN/2018 tanggal 27 Januari 2018.
Pada 14 November 2018, Samuel dan 19 anggota Kelompok Perlindungan Hutan Mame Airafua pun diangkat oleh Cabang Dinas Kehutanan Kabupaten Mimika menjadi Masyarakat Mitra Polhut (MMP) yang berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. Saat ini kawasan Hutan Nayaro sedang dikembangkan menjadi pusat rehabilitasi satwa liar hasil sitaan atau oleh MSF-TSL menyebutnya sebagai Nayaro Biodiversity Learning Center.
Ide-ide dan saran Samuel tentang patroli dan monitoring perlindungan hutan banyak didengar dan dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Nayaro, terutama pemuda-pemuda kampung. Samuel secara aktif mendorong dan menggerakkan pemuda-pemuda kampung untuk terlibat pada patroli dan monitoring hutan secara rutin. Kini, Kelompok Perlindungan Hutan Mame Airafua juga melibatkan 6 tetua adat sebagai dewan penasehat.
Kegiatan monitoring dan patroli rutin dilakukan di hutan yang terbagi dalam beberapa wilayah. Zona pertama ialah zona Lindung Keramat Sejarah Iwawa, Merepa, dan Tumuana. Zona kedua ialah zona pemanfaatan hasil hutan dan permukiman yang berada di sekitar permukiman Nayaro. Zona ketiga ialah zona pemanfaatan sagu dan berburu Moma. Zona terakhir ialah zona pemanfaatan perikanan Tafuatiri.
Bebekal lembar isian monitoring, Samuel bersama anggota kelompoknya melakukan pemantauan dan momonitor keanakeragaman hayati di Hutan Nayaro serta mendeteksi ancaman ataupun kegiatan yang berpotensi merusak hutan. Mereka mendasarkan pada tiga poin, yakni keberadaan satwa kunci, keberadaan flora, dan derajat ancaman.
Hasil monitoring Zona lindung keramat, didapati hasil bahwa kesehatan hutan masih dalam kategori baik. Zona pemanfaatan hasil hutan mendapati hasil sama. Zona pemanfaatan perikanan mangrove juga dikatogorikan baik, sedangkan zona pemanfaatan hasil hutan yang berada di dekat permukiman mendapati hasil sedang.
Temuan itu tidak lantas dibiarkan begitu saja. Kelompok Perlindungan Hutan membawa hasil itu pada pemerintah kampung, lembaga adat, maupun pihak terkait seperti Dinas Kehutanan dan BKSDA.
Hutan tanah Papua mempunyai luas kawasan mencapai 37,5 juta ha atau 87,38% dari luas total daratan Tanah Papua. Luasan tersebut mengalami deforestasi yang serius dalam dua dekade terakhir. Hasil kajian Forest Watch Indonesia (FWI) dalam 7 tahun terakhir pada periode 2009-2016 menunjukkan bahwa deforestasi di Tanah Papua mencapai 170 ribu ha per tahun, sedangkan proporsi luas kawasan hutan dan nonkawasan hutan di Tanah Papua terbagi menjadi kawasan hutan lindung 23juta ha (53,80 %), 5 juta ha (12,17%), kawasan hutan budidaya 14 juta ha, dan kawasan hutan area penggunaan lain (APL) 5 juta ha (12,17%). (Zuq/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved