Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
Biarawati, punya kaul yang menjadi jalan hidupnya; ketaatan dan kemurnian, tidak jarang terpingit sunyi. Itulah yang menjadi laku hidup.
Adalah Maryam (Maudy Koesnaedi), suster berusia 40 tahun yang punya tugas mengurusi para biarawati sepuh. Mulai dari menyiapkan makanan, memandikan, mencuci baju, sampai mengantar para sepuh itu terlelap, hingga tiba kembali waktu terang. Begitu terus. Sampai tiba suatu waktu, keteraturan hidup justru mendatangkan kekosongan jiwa. Hinggap perasaan nirmakna pada diri Maryam.
Sutradara Ertanto Robby Soediskam begitu rapi merangkum betapa sunyi kehidupan biara. Tidak ada musik gaduh atau dialog bising. Hanya rutinitas berulang yang biasa saja, terus berjalan. Sampai tiba tatapan kosong memandangi langit-langit kamar, menjelang mata terlelap, seolah begitu berat menghela napas. Pengambilan gambar melalui top angle yang menyorot dekat tatapan Maryam menyampaikan pertanyaan yang sedang ia cari jawabnya.
Jawaban itu datang ketika hadir sosok Romo Yosef (Chicco Jerikho) dalam keseharian Maryam. Ia datang untuk mengajari orkestra. Namun, bagi Maryam kemudian, ia menjelma alunan musik yang mengusir kesunyian hidup sang biarawati.
Musik jadi jalan Romo Yosef dan Maryam bertemu dalam plot cinta kasih, yang seharusnya mereka tujukan untuk pelayanan Tuhan. Yosef mulai berani mengajak Maryam berkencan setelah pada suatu siang meminta Maryam menemaninya ke toko roti. Menitip surat pada suster sepuh, atau pada Dinda (Thania), bocah pengantar susu, jadi kebiasaan setelahnya. Satu acara makan malam kemudian berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya.
Cinta tumbuh antara Maryam dan Yosef, membesarkan hasrat keduanya, sekaligus melahirkan pergumulan batin. Hingga suatu ketika, perjalanan mereka ke pantai menjadi titik permenungan manusia memaknai cinta. Itu tepat pada ulang tahun ke-40 Maryam.
Sepulang ke asrama, ia disambut dengan perayaan oleh sesama biarawan dan suster sepuh yang dirawatnya. Maryam menangis. Di antara momen liris itu, ada kesedihan subtil, yang hanya mampu dibaca suster Monic (Tutie Kirana). “Aku mengerti betul perasaanmu. Menetapi kaul, atau mengikuti pada apa yang tak terlihat. Jika surga belum pasti untukku, mengapa aku harus mengurusi nerakamu?”
Ical Tanjung, sebagai penata kamera menjadi jaminan bagaimana suasana Semarang era lawas berhasil disuguhkan. Colour grading dengan palet kuning keemasan mendominasi layar, selain juga nuansa temaram.
Meski film ini realis, Robby tampaknya sengaja memasukkan beberapa unsur surreal, seperti ketika Maryam membuka jendela di tengah debur ombak atau saat dialog Maryam dan Yosef disimbolkan melalui dialog dalam film di restoran, juga ketika pengakuan dosa Maryam, yang ternyata pasturnya saat itu ialah Yosef. Entah, pada adegan itu, meski terlihat realistis, tetapi terasa surreal, ketika pendosa memberikan pengampunan pada yang telah berbuat dosa. Cinta terlarang seolah templat berulang. Namun, apa yang salah, dari kesalehan saling mencintai manusia?
Film yang mengangkat kehidupan seorang suster, juga pernah muncul dalam film pendek milik Sidi Saleh, berjudul Maryam. Maryam versi Sidi diperankan Meyke Verina, bercerita seorang muslim yang menjadi suster, mengurusi tuannya, termasuk untuk beribadat ke gereja.
Ada pula film Ida, berkisah tentang biarawati --yang ternyata keturunan Yahudi-- pada era 1960-an di Polandia. Dalam perjalanan untuk menemui satu-satunya kerabat yang tersisa, ia bertemu dengan pemain saksofon dan jatuh cinta.
Ave Maryam punya kesamaan dengan keduanya: menyorot ketetapan seorang biarawati dalam memaknai jalan hidupnya.
Toleransi
Dalam film yang telah berkeliling dalam berbagai festival dalam dan luar negeri ini, Maudy bermain apik. Karakter Zaenab dari sinetron dan film Si Doel yang selama ini melekat pada dirinya, berhasil ia kesampingkan untuk menjadi suster yang membaca dunia melalui buku, tidak banyak bicara, tetapi menunjukkan kemanusiannya lewat pengabdian pada pelayanan bagi sesama.
Pemilihan para aktor, seperti Maudy yang menjadi biarawati, atau Thania yang menjadi gadis kecil muslim, menurut sang sutradara bukanlah kesengajaan. Justru, para penggarap baru menyadari setelah trailer film ini dilempar ke publik dan banyak media yang menghubungi sutradara, dan menanyakan keputusan Maudy untuk jadi suster. Namun, bagi Robby, sudah menjadi keniscayaan bagi aktor, termasuk Maudy, untuk bisa berakting menjadi beragam karakter.
“Zaman sekarang, orang sudah cerdas. Banyak yang dilihat dan digemborkan terkadang terjadi intoleransi, namun yang saya lihat kenyataannya berbeda,” kata dia.
Ave Maryam juga sekaligus menyiratkan sikap toleran itu hal biasa. Hidup berdampingan dalam keberagaman merupakan hal yang lazim.
Itu paling tidak juga muncul dalam beberapa adegan, misalnya saat Dinda, bocah pengantar susu yang berbeda keyakinan, berjumpa dengan Maryam maupun suster lain di asrama. Sebab itu, film yang bakal beredar di jaringan bioskop nasional mulai 11 April ini juga memiliki sisi lain, menyeru toleransi tanpa perlu berteriak. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved