Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Salam Harapan, Suara Dialita untuk Kemanusiaan

Putri Yuniarti
02/2/2019 09:05
Salam Harapan, Suara Dialita untuk Kemanusiaan
Penampilan paduan suara Dialita di Erasmus Huis, Jakarta, beberapa waktu lalu.( ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Umur tidak menjadi alasan untuk berhenti berkarya hingga akhir masa. Keyakinan itu dipegang teguh oleh para personel Dialita, kelompok paduan suara yang beranggotakan perempuan-perempuan berusia di atas lima puluh tahun.

Maka, meluncurlah album kedua Dialita yang berjudul Salam Harapan, di Goethe Institute, Jakarta, pada Kamis (31/1). Seperti album perdananya, Dunia Milik Kita (2017), lagu-lagu pada album ini berangkat dari pengalaman nyata anggota-anggota Dialita. Misalnya, lagu Tetap Senyum Menjelang Fajar yang bercerita tentang kebahagiaan menyambut hari ulang tahun. Padahal, ulang tahun itu sebenarnya dilewatkan di balik jeruji.

Ya, para personel Dialita ini memang istimewa. Mereka bukan sekadar perempuan kebanyakan, melainkan penyintas dari tragedi 1965. Beberapa dari mereka, seperti Mudjiati dan Utati, pernah mendekam selama belasan tahun di penjara sebagai tahanan politik tanpa melewati proses pengadilan.

Album Salam Harapan yang berisi 12 lagu tersebut menjadi sebuah memento yang diharapkan Dialita dapat membuka mata publik, khususnya generasi muda, terhadap peristiwa di masa lampau itu.

"Kami ingin memberi tahu bahwa sebenarnya pada 1965 itu tidak seperti yang diceritakan, justru dulu yang tidak mengerti apa-apa itu ditangkap, seperti Ibu Mudji dan Utati," jelas Tuti Martoyo, salah seorang pentolan Dualita.

Mereka percaya masih ada orang yang akan terus peduli dengan suara mereka, suara para mantan narapidana yang tidak tahu apa-apa, tapi dipenjara dengan paksa. Dualita, kata Tuti, juga berharap dapat membangkitkan semangat generasi muda untuk tetap percaya akan harapan baik, harapan baru untuk hidup tanpa kebohongan. Dan, salah satu jalan terang untuk mencapai jalan kejujuran ialah memberikan karya yang jujur seperti yang dilakukan oleh Dialita hingga sekarang.

Paduan Suara Dialita terbentuk pada 14 Desember 2011. Mereka bercikal bakal dari Komunitas Peduli Perempuan dan Anak dan Keluarga Dalam Sejarah (KDS) --komunitas bagi keluarga yang terdampak tragedi 1965. Tuti kemudian mencetuskan nama Dialita, mengingat anggotanya rata-rata berusia 50 tahun ke atas.

Gagasan mendirikan paduan suara bermula dari kesukaan para anggotanya untuk bernyanyi saban kali berkumpul. Tidak sedikit dari mereka yang memang punya latar belakang organisasi paduan suara, baik paduan suara gereja, kantor, atau Asambel Gembira --dipimpin Subronto K Atmodjo yang diasingkan ke Pulau Buru setelah studinya ke Jerman Timur.
Pada awalnya, tidak sampai 10 orang yang aktif. Kini, setiap kali latihan bisa mencapai 20 orang. Latihan Dialita dilakukan di kediaman Tuti.

Lagu yang dibawakan oleh Dialita sendiri banyak yang diciptakan para anggotanya. Namun, ada pula karya orang lain, seperti Asia Afrika dari Sudarmoko. Dulunya, mereka mengaku tidak berani untuk menyanyikan lagu-lagu tersebut lantaran seluruhnya ialah hasil curahan hati para tahanan politik. Namun, lagu-lagu Dialita ternyata kini dapat diterima masyarakat luas.

"Cukup merasa haru dan sekaligus bangga, karena lagu-lagunya bisa diterima dan didengar oleh generasi muda," ujar salah satu dari mereka. (*/M-2)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya