Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Ajakan Membangkitkan Nalar

Irana Shalindra
28/1/2019 19:40
Ajakan Membangkitkan Nalar
()

Banyak orang barangkali tidak pernah benar-benar menyadari bahwa sains telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ada sains pada ponsel yang bolak-balik kita utak-atik. Ada sains pada moda kendaraan yang kita gunakan, pada televisi yang kita pandangi, pada lampu yang menyala serta listrik yang mengalir, pada obat selesma yang kita minum, dan masih banyak contoh lainnya. Pendek kata, kehidupan manusia modern sukar berlangsung tanpa pengejawantahan sains.

Namun, kendati keberadaan produk konkret sains telah terasa amat wajar, tidak demikian halnya dengan sains sebagai cara berpikir. 'Kegelapan' dalam bentuk hoaks, kepercayaan yang keliru, pseudosains, maupun aneka kebodohan lain, masih merajalela. Lantas, masa depan apa di hadapan suatu masyarakat yang terkungkung kegelapan, selain keterpurukan?

Kekhawatiran tersebut yang membuat Carl Edward Sagan semasa hidupnya giat berupaya memopulerkan sains kepada masyarakat awam. Publik mengenal astronom itu antara lain sebagai pembawa program televisi Cosmos: A Personal Voyage. Pada era 1980-an, Cosmos sempat tercatat sebagai program yang paling banyak ditonton dalam sejarah siaran pertelevisian Amerika Serikat. Serial tersebut antara lain mengetengahkan topik eksistensi Bumi di jagat raya, masa depan umat manusia, kemungkinan makhluk hidup cerdas di luar Bumi, dan banyak lagi.

Tentu saja Sagan bukan sekadar tv personality. Penyandang gelar David Duncan Professor of Astronomy and Space Science itu juga seorang penulis yang piawai dan produktif. Tidak kurang dari 600 artikel dan jurnal ilmiah pernah ia terbitkan, juga sejumlah buku nonfiksi dan fiksi bertema sains. Pulitzer Prize pun pernah diraihnya.

The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark (1996) ialah buku terakhir yang dipublikasikan Sagan. Di Indonesia, buku tersebut diterbitkan tahun lalu oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan.

Dalam buku berisi 25 tulisan lepas itu, Sagan mengajak para pembaca untuk kembali membangkitkan nalar, berpikir kritis sekaligus skeptis, sembari mempertahankan gairah terhadap ide-ide baru.

'Di jantung sains terdapat keseimbangan yang diperlukan antara dua sikap yang tampaknya bertentangan --keterbukaan terhadap gagasan baru tidak peduli betapa janggal; dan pengkajian skeptis paling tidak kenal ampun terhadap semua gagasan lama atau baru.' (Hal 348)

Namun, ia tahu itu bukan hal mudah. Masih ada anggapan atau stigma terhadap sains yang membuat sebagian orang seolah alergi dengan hal-hal terkait sains. Bahkan sekadar sebagai cara berpikir. 'Bahaya teknologi yang dihidangkan sains, tantangan tersiratnya terhadap nilai-nilai yang selama ini diterima, maupun anggapan bahwa sains itu sulit, merupakan alasan bagi sementara orang untuk tidak mempercayai dan  malah menghindari sains.' (hal 12)

Di sisi lain, tidak sedikit orang yang sesungguhnya memiliki keingintahuan atau gairah akan sains. Namun, keterbatasan akses membuat banyak dari mereka mencari jawaban ke tempat-tempat yang lebih mudah,  yang justru kerap menyajikan 'sains semu', alias pseudosains.

Menurut dia, berbeda dengan sains yang secara kontinyu terus berusaha mematahkan atau menguji segala teori maupun hipotesisnya sendiri, pseudosains justru memberikan hipotesis yang defensif terhadap upaya pembuktian. Ketika sains dengan rendah hati meminta kekeliruannya diluruskan, pseudosains seolah tak tersanggah. Mereka yang menantangnya dicurigai sebagai pihak-pihak yang ingin menutupi kebenaran.

Sagan mencontohkan, fenomena kepercayaan terhadap eksistensi UFO dan alien --yang mendapat porsi ulasan cukup banyak di buku ini-- sebagai salah satu pseudosains dalam skala global. Demikian pula, astrologi dan ramalan nasib, Segitiga Bermuda, atau penyembuhan oleh paranormal.

Kemudian, ada pula kepercayaan pada takhayul. Jika pseudosains masih terkesan ilmiah, walau sesungguhnya tak teruji, takhayul ialah hal-hal yang bahkan dapat dipercaya tanpa dasar yang solid. Perburuan terhadap tukang sihir pada abad pertengahan, yang menewaskan ratusan ribu orang, mayoritas perempuan, dan termasuk anak-anak, ialah salah satu contoh dampak takhayul yang paling menyedihkan.

Buta sains
Kelindan faktor-faktor tersebut pada akhirnya menciptakan masyarakat yang 'buta sains'. Sagan memang lebih banyak mengambil ilustrasi masyarakat Amerika Serikat, tempat ia tinggal. Namun, 'buta sains' sesungguhnya berlangsung di mana saja, termasuk di Indonesia.

Data dari Programme for International Students Assessment (PISA) pada 2015 memperlihatkan, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 72 negara untuk pendidikan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Memang survei tersebut menyasar responden anak sekolah usia 15 tahun, tapi berapa persen di antara kita, orang dewasa, yang memahami mengapa bumi mengelilingi matahari? Mengapa manusia membutuhkan oksigen? Mengapa kita kehilangan rasa keingintahuan kita, dan membiarkan nalar kita membeku?

'Saya khawatir bahwa, terutama seiring mendekatnya pergantian milenium, pseudosains dan takhayul akan tampak semakin menggoda dari tahun ke tahun, nyanyian pemikat tanpa nalar yang semakin merdu... Di mana kita pernah mendengar itu sebelumnya? Setiap kali prasangka etnis atau nasional kita terusik, kala kelangkaan terjadi, ketika kepercayaan diri atau keberanian bangsa tertantang, waktu kita meratapi merosotnya posisi dan tujuan kita di alam semesta, atau sewaktu fanatisme bergejolak di sekeliling kita-- maka, kebiasaan-kebiasaan alam pikir yang akrab sejak zaman dahulu sekali menggapai kendali kita,' tulisnya pada halaman 31.

Tidakkah terasa familier pernyataan Sagan tersebut dengan kondisi kita dewasa ini?

Kembali kepada cara berpikir a la sains ialah tawaran yang (terus menerus) disampaikan Sagan kepada publik agar cahaya dapat terus menerangi kegelapan, sekalipun hanya secercah cahaya lilin. Semua itu bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya, ia meminta kepada para orang tua untuk tidak 'mementahkan' begitu saja pertanyaan-pertanyaan khas anak-anak yang memang biasanya memiliki keingintahuan alami terhadap hal-hal di sekitar mereka

Sagan juga mengajak para koleganya sesama saintis, termasuk juga para pendidik, untuk 'membumikan' sains, memberikan ilham, dan mendorong cara berpikir kritis, alih-alih hapalan dan temuan. 'Sains adalah alat yang mutlak diperlukan bagi masyarakat mana pun yang berharap bertahan sampai abad berikut dengan nilai-nilai dasar masih utuh --bukan hanya sain seperti yang dijalankan oleh para praktisinya,  melainkan sains yang dipahami dan dirangkul oleh seluruh masyarakat manusia. Dan bila bukan saintis, siapa yang akan membuat hal ini tercapai?' (hal 386)

Tentu saja iklim untuk berpikir kritis menjadi kian kondusif apabila bertempat di negara yang mengusung demokrasi. Bahkan, sains bisa dikatakan demokrasi itu sendiri karena padanya ada keterbukaan atau transparansi, kebersediaan untuk ditelanjangi dan terus dikoreksi.

Surat cinta
Sebagai ilmuwan yang juga penulis, Sagan pun menjadi terkenal karena cara penyampaiannya yang tidak melulu teoritis. Barangkali, di masa kini seperti Neil deGrasse Tyson yang merupakan salah satu astronom nan komunikatif.

Cara bertutur Sagan yang 'ramah' pembaca awam bisa kita dapati pada bukunya ini. Tak ada penjelasan-penjelasannya yang rumit, yang membuat kening berkerut atau harus dibaca berulang-bulang agar paham.

Sebab, pada buku ini, Sagan memang bukan berusaha menjejalkan teori-teori ilmiah kepada para kita. Yang ia lakukan ialah sekadar mengingatkan kembali akan suatu cara pandang, yang sebenarnya telah melekat pada kita, tapi karena satu atau banyak hal, terabaikan.

Untuk buku versi terjemahannya ini, saya pun perlu memberi acungan jempol kepada Damaring Tyas Wulandari Palar selaku pengalihbahasa dan editor Andya Primanda. Tanpa penerjemahan dan penyuntingan yang apik, bisa jadi apa yang disampaikan Sagan menjadi lebih rumit atau bertele-tele daripada seharusnya.

Yang juga amat terasa saat membaca buku setebal kurang lebih 500 halaman ini ialah gairah Sagan yang amat intens terhadap sains. Sains memang bisa dikatakan cinta pertamanya. Sejak kecil, sejak pertama kali dibawa orang tuanya --yang tidak paham sains tapi amat mendukung minatnya-- ke pameran ilmiah New York World's Fair pada 1939, cita-cita menjadi saintis tertanam di dirinya.

The Demon-Haunted World, diakui pria yang wafat pada Desember 1996 tersebut sebagai surat cintanya sepanjang hayat kepada sains. Dan menurut saya, ini ialah surat cinta yang indah. (M-4)

 

Judul buku: The Demon-Haunted World -- Sains Penerang Kegelapan
Pengarang: Carl Sagan
Tahun terbit: Oktober 2018
Jumlah halaman: 512
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya