Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Harmoni di Senggarang dan Tanjung Pinang

Fathurrozak
05/1/2019 09:45
Harmoni di Senggarang dan Tanjung Pinang
(MI/Ebet)

BINTAN, Kepulauan Riau (Kepri), pernah sempat dibanjiri orang-orang Tiochiu pada 1734 hingga 1740. Sementara itu, pada 1780-an tercatat dalam sensus ada sekitar 10 ribuan orang Tiochiu tinggal di Bintan.

Koneksi wilayah yang sangat besar dari kerajaan Melayu Riau Johor kala itu dianggap sebagai salah satu faktor pergerakan orang Tiochiu datang ke Bintan, dari Semenanjung Malaka. Kini, kisah mereka tertinggal di kota lama Senggarang dan Tanjung Pinang.

Pelantar, jalan panjang yang menjadi penghubung antarrumah yang mengapung di atas laut menjadi ciri khas kota lama Tanjung Pinang. Rumah-rumah kayu masih banyak ditemui di sana. Sementara itu, kehadiran kelenteng-kelenteng yang begitu banyak menjadi penanda bahwa kita tengah berada di Senggarang. Menurut peneliti dan pemerhati budaya Tionghoa Agni Malagina, ia tidak pernah menjumpai pelantar yang begitu panjang di daerah lain meski rumah dengan pelantar menjadi hal lazim di Kepulauan Riau.

“Pelantar pecinan, kalau di Kepri saya kira itu hal yang umum, ada rumah dengan pelantar. Nah, yang menarik ketika saya ke Batam, rumah pelantar tidak banyak, ke Karimun juga tidak semasif yang ada di Tanjung Pinang,” ungkapnya pada Minggu, (25/11/2018).

Rumah-rumah kayu dengan tiang pancang di atas laut dan pelantar-pelantarnya menjadi ciri utama pecinan di Tanjung Pinang dan menjadi pembeda dengan kompleks pecinan di wilayah di luar Kepri. Ini menjadi wajar sebab menurut Agni, pada mulanya orang-orang Tiochiu-lah yang masuk ke wilayah Bintan, dan mereka memang dikenal memiliki karakter terampil dalam pertukangan kayu.

Kedatangan mereka kala itu ialah juga karena koneksi dagang dan kala itu tengah tren komoditas gambir dan lada. Orang-orang Tiochiu menetap dan memiliki koneksi dengan kerajaan Lingga saat itu. Kedatangan Belanda pada 1800-an pun tidak banyak memengaruhi kehidupan di sana sebab menurut Agni orang Tiochiu sudah memiliki sistem pemerintahannya sendiri, di samping kerajaan Melayu yang juga sibuk dengan urusannya.

“Jadi, diskriminasi yang diterapkan Belanda seperti yang mereka terapkan di Jawa dengan adanya penggolongan-penggolongan itu tidak berlaku. Mereka sudah punya pasar bebasnya sendiri. Belanda tidak banyak meninggalkan jejak di sana,” ungkap dosen Program Studi Cina Universitas Indonesia ini. Ini pula, yang ditengarai Agni menjadi faktor keramahan para keturunan Tiochiu di Senggarang dan Tanjung Pinang sebab sejak dulu mereka telah terbiasa bergaul dengan banyak orang asing, dan tidak mengalami diskriminasi seperti orang-orang Tioghoa di Jawa dengan adanya stratifikasi golongan dari Belanda.

Hal menarik lain dari Senggarang-Tanjung Pinang ialah ditemukannya dua naskah Melayu. Menurut Agni, sejauh ini di daerah lain belum muncul naskah Melayu yang mencatat kedatangan atau tentang kegiatan orang Tionghoa di sini.

“Baru ada dua naskah, satu Syair Kapitan (1869), dan naskah Lingga, itu tulisan tangan Sultan (1892),” katanya. Dia menjabarkan, Syair Kapitan sudah ditranskrip budayawan di Tanjung Pinang, isinya menceritakan tentang bagaimana pesta pernikahan seorang Kapitan dengan anak angkat Raja. Ada hubungan yang lebih dari sekadar hubung­an formal, sampai kawin-mawin.

Sementara itu, naskah kedua, naskah Lingga, merupakan tulisan tangan Sultan (1892). Dia baru kali ini melihat ada naskah Melayu atau dari sisi kita yang menceritakan orang Tionghoa. Menarik sekali karena di naskah Tiongkok juga bisa me-record nama Bintan di naskah pada 1700-an, di kronik-kronik kerajaan, dan kita mencatat juga tentang orang Tionghoa. Dari dua sisi ini memiliki perhatian yang besar, juga menarik karena ada pencatatan dari dua sisi arah.

Harmonisasi multikultur
Keterikatan orang-orang Tiochiu dan Melayu hingga kini juga masih terjalin kuat. Salah satunya, para keturunan Tiongkok yang berbahasa Tiochiu ini juga berdialeg maupun berlogat Melayu. Keturunan Melayu menyapa dengan sapaan Melayu ke keturunan Tionghoa maupun sebaliknya, jamak ditemui di sana. Setiap perayaan hari raya, seperti Lebaran dan Imlek, mereka sama-sama memberi penghormatan.

“Yang menarik mereka masih diverse, bisa beradaptasi dengan baik. Saya mendapat cerita dari keturunan India, dia penjual roti prata pertama di Tanjung Pinang, dia ingat betul, ketika tinggal di kompleks pecinan menjadi hal menyenangkan. Ketika Lebaran, temen Cinanya datang, kasih makanan, begitu pun ketika Imlek, mereka akan berbuat serupa, orang Melayu juga seperti itu. Mereka guyub sampai sekarang,” papar Agni.

Cerita itu ia buktikan sendiri tatkala hadir di sana. Ketika berkunjung ke rumah milik keturunan Tionghoa pun, akan selalu ditanya terlebih dahulu soal makanan. Sementara itu, ketika sedang ada perayaan di Kelenteng, justru semua hidangan makanan tidak ada yang nonhalal, menurut Agni.

“Misal ada perayaan di salah satu Kelenteng ada dewanya yang sedang ulang tahun, lalu ada orang melayu di RT itu yang ikut hadir, makanan yang disediakan vegetarian semuanya dan tidak ada nonhalalnya. Karena mereka tahu, sewaktu-waktu temen Melayunya pasti datang, jadi mereka memang tidak menyiapkan hidangan nonhalal.”

Harmonisasi masyarakat multikultur Senggarang dan Tanjung Pinang menjadi gen sejak moyang mereka, yang masih dan akan tetap utuh hingga cucu-cucu mereka nanti. Selain warung kopi sebagai tempat cairnya interaksi, sekolah yang muridnya multietnik juga menjadi wahana anak-anak memaknai nilai luhur yang dihidupkan para pendahulu mereka. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya