Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Demi Puncaki Carstensz, Bule Belgia Gowes dari Kathmandu hingga Papua

Suryani Wandari Putri Pertiwi
03/1/2019 22:05
Demi Puncaki Carstensz, Bule Belgia Gowes dari Kathmandu hingga Papua
(Instagram/JelleVeyt)

Entah terbuat dari apa tubuh Jelle Veyt, atau makanan apa yang ia konsumsi, sampai-sampai petualang asal Belgia tersebut mampu menggapai puncak-puncak tertinggi dunia dengan bermodal tenaganya sendiri (human power). Nyaris tanpa bantuan kendaraan bermotor/mesin.

Veyt, pada pergantian tahun kemarin, baru saja menuntaskan pendakian puncak tertinggi di lempeng Oceania, Carstensz Pyramid (Puncak Jaya). Untuk mencapai puncak setinggi 4.884 meter di atas permukaan laut itu, ia telah menggowes, mendayung, dan berjalan kaki hingga ribuan kilometer!  

"Akhirnya, 2,5 tahun setelah Everest summit , saya mencapai puncak Carstensz Pyramid pada 1 Januari 2019!! Perjalanan gila dari 9.000km bersepeda dari Kathmandu ke Indonesia, mendayung sejauh 4.000 km ke Papua dan bersepeda 1.500 km lagi ke Carstensz Pyramid untuk memanjatnya. Terima kasih semua atas dukungannya!!" tulis Veyt yang di bawah tiga foto yang ia unggah di akun instagramnya, Rabu (2/1). Foto-foto tersebut antara lain memperlihatkan dirinya yang tengah berada di puncak Carstensz.

Perjalanan pria berusia 33 tahun itu untuk mencapai Carstensz terbilang amat menantang. Mulai dari faktor ban sepeda kempes, tak ada sinyal, iklim yang panas dan basah, kontur jalanan yang curam, sampai birokrasi. Bahkan, ia sempat jatuh sakit dan mengalami kelelahan mental yang membuatnya mempertanyakan ulang misinya menggenapi 7 summits dunia dengan mengandalkan human power.
Tepat sebelum mendayung 120 km ke Kepulauan Kei, tidak jauh dari Papua, ia mengambil rehat dan kembali ke negaranya untuk memulihkan kesehatan.

Misi yang dilakukan Veyt ini memang unik, dan mungkin saat ini menjadi satu-satunya di dunia. Bukan hanya karena ia mengandalkan kekuatan tubuhnya untuk memobilisasi diri, tapi juga karena tidak ada tenggat pasti akan waktu yang akan dihabiskan untuk misi tersebut.
Misi itu tidak dilakukan secara terus menerus. Pada satu titik, Veyt biasanya mengambil jeda untuk pulang ke negaranya, kemudian ia akan kembali ke titik tersebut untuk melanjutkan petualangannya.

 

Episode Carstensz

Pada medio 2016, seusai menyelesaikan misinya mendaki Puncak Everest --yang ia lakukan tanpa bantuan sherpa atau porter--- ia bersepeda melintasi India, Myanmar, Thailand, dan Malaysia, kemudian memasuki wilayah Indonesia. Setiba di Jakarta, ia terbang pulang ke Belgia.

Akhir Maret 2017, Veyt kembali ke Jakarta untuk memulai episode Carstensz. Ia bersepeda hingga Surabaya untuk menanti kedatangan perahunya dari Belgia. Sayangnya, proses pengiriman perahu itu mengalami keterlambatan. Untuk membunuh waktu, Veyt bersepeda hingga Bali.

Namun, hingga Mei, perahunya tidak kunjung tiba. Sementara itu, visa Veyt menjelang berakhir. Alhasil, ia harus keluar dari Indonesia. Saat ia di Kuala Lumpur, perahunya tiba di Surabaya. Ia lantas meminta bantuan kawannya untuk mengiriman perahu tersebut ke ujung timur Jawa, Banyuwangi.

Veyt terbang ke Bali dan kemudian berkendara ke Banyuwangi untuk menjemput perahunya. Bersama rekannya, ia mendayung melintasi Selat Bali. Hari-hari selanjutnya mereka mendayung ke Lombok, kemudian Sumbawa. Karena visanya berakhir pada 15 Juni, dan musim yang tak kondusif untuk mendayung di perairan terbuka, Veyt akhirnya pulang ke Belgia setelah menitipkan perahunya di resort setempat.

Desember 2017, ia kembali ke Sumbawa dan melanjutkan perjalanannya dengan mendayung menuju Labuan Bajo, Maumere, kemudian Lato. Dari pantai di Flores Timur tersebut, ia mengayuh sepeda menuju Larantuka. Sementara itu, dengan bantuan penduduk setempat, perahunya melaju lebih dulu dengan truk warga lokal.

Veyt kemudian kembali melaut dengan perahunya, hingga ia tiba di Pulau Larat, Maluku. Di sana ia menitipkan lagi perahunya dan pulang ke Belgia selama kurang lebih 4 bulan.

November 2018, ia 'menjemput' perahunya dan melanjutkan misinya. Setelah mendayung ratusan kilometer, bahkan sempat mengalami evakuasi karena di tengah jalan ia muntah dan berhalusinasi, Veyt sampai di Sorong pada Desember 2018. Dari situ, ia melanjutkan perjalanan via darat dengan menggowes ke Enarotali, perkampungan tempat titik awal trek menuju Carstensz.

"Sejauh yang kami tahu, tidak ada yang pernah bersepeda di rute ini sebelumnya dan orang-orang memperingatkan kami untuk jarak yang jauh tanpa aspal, desa-desa kecil, suhu ekstrem dan curam curam di medan hutan," tulis Veyt di blognya.  Untungnya ia  menemukan beberapa peta dan file GPS dengan bantuan komunitas bersepeda lokal.

Di tengah perjalanan, ia pun sempat dikejutkan dengan kabar insiden penembakan brutal di Nduga, Papua. Namun, ia beruntung lokasi insiden itu cukup jauh dari rute perjalanannya. "Beberapa penduduk setempat mendengar tentang penembakan dan sangat khawatir tentang kami. Tetapi ketika kita melihat peta ini terjadi cukup jauh dari kita, jadi kita tidak terlalu khawatir," katanya.

Hanya saja, insiden itu menyebabkan perjalanannya dengan mengandalkan human power harus terhenti. Pasalnya, ia tidak diizinkan untuk melintas. Akhirnya, ia terpaksa menggunakan helikopter untuk melewati 70 km hutan Papua, menuju basecamp Carstensz.

"Saya menyadari hanya itu opsi yang ada untuk sampai ke sana. Saya harus melewatkan 70 km hutan Papua, untuk saat ini. Suatu hari nanti saya akan kembali untuk menuntaskan, tapi paling tidak saya bisa melakukan pendakiannya saat ini. Sejauh ini, saya telah mengayuh +24 ribu km dengan sepeda, dan mendayung +4 ribu km untuk mencapai titik ini," tulisnya pada unggahan terakhir bertanggal 29 Desember 2018.

Bersama dengan grup pendaki ke Carstensz, Veyt memulai pendakian pada 30 Desember 2018, dan tiba di puncak tertinggi Oceania itu pada 1 Januari 2019.

 

Bantuan

Selama perjalanannya di Indonesia, Veyt mengungkapkan dirinya sering mendapat bantuan, baik orang asing yang ada di Indonesia, maupun penduduk setempat yang acap menyambut kedatangannya dengan ramah. Misalnya, membantu mengurus perahunya, menawarkan makanan dan minuman serta tempat menginap, sampai mengevakuasinya saat ia sakit di tengah laut.

Ia juga tidak mendapati kebenaran akan stereotipe yang ia dengar, umpama tentang orang Papua. "Meski saya sudah diperingatkan banyak tentang orang Papua sebelumnya, tapi itu sepertinya tidak benar. Suatu kali saya berhenti dan ditawari uang untuk membeli minuman. Lain waktu seseorang menghentikan saya untuk memberi saya jus jeruk. Saya senang melihat orang-orang bekerja dan hidup dengan pakaian tradisional mereka, tidak dimaksudkan untuk menghibur wisatawan, tetapi sebagai hal yang sangat nyata."

Dulu, Veyt mungkin tidak terpikir dirinya akan melakukan petualangan yang belum pernah dilakukan orang-orang sebelumnya. Saat remaja, Veyt ialah anak jalanan yang terkadang harus mengais tempat pembuangan sampah di belakang supermarket guna mencari makanan. Mungkin karena itulah misinya saat ini ditujukan untuk menggalang dana bagi Shangri-La, lembaga amal di Nepal yang mengurusi anak-anak jalanan.

Enam tahun lalu, berbekal 3.000 euro, Veyt memulai petualangannya dengan bersepeda menuju Kazakhstan, kemudian Dataran Tinggi Tibet. Elbrus ialah puncak pertama dari 7 summits yang dicapainya sebelum Everest dan Carstensz.

Nantinya, setelah ia mengambil rehat, Veyt akan bersepeda menuju Kilimanjaro di Afrika, lalu menuju Maroko untuk kemudian mendayung di Samudra Atlantik ke Miami. Dari situ ia akan bersepeda ke Denali di Alaska. Setelahnya, Aconcagua di Argentina ialah tujuan berikut, untuk berikutnya mendayung menuju Antartika guna mencapai Gunung Vinson. (SMCP/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya