Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SEBUAH tradisi yang bernama Yaqowiyu hingga kini masih terus dijaga, dilestarikan, dan dilaksanakan. Selalu digelar di bulan Safar (bulan kedua dalam kalender Jawa) dan digelar pada tanggal tertentu di hari Jumat. Karena itu secara umum, tradisi ini masuk lingkaran besar tradisi Saparan.
Tradisi yang dilaksanakan di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah ini diwarnai dengan penyebaran kue apam kepada masyarakat yang berlokasi di sebuah masjid dekat permakaman sang pencetus tradisi ini, Ki Ageng Gribig.
Ki Ageng Gribig ialah ulama penyebar agama Islam di wilayah Jatinom. Dia diyakini sebagai salah satu bangsawan Majapatih, putra Prabu Brawijaya yang banyak belajar agama Islam hingga ke Tanah Suci dan menunaikan ibadah haji.
Kata Yaqowiyu diyakini berasal dari bacaan doa dalam bahasa Arab, yaa qowiyyu, yaa aziz, qowwina wal muslimiin, yaa qowiyyu warzuqna wal muslimiin. Doa yang dilantunkan untuk memohon kekuatan.
Budayawan Klaten, Iwan 'Mlengse' Purwoko menuturkan tradisi yang sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu itu, lebih menekankan pada silaturahim antar warga, saling memaafkan, saling bergotong royong, berbagi, kebersamaan dan saling mendoakan, serta berdoa bersama untuk keselamatan, keberkahan dan mencari rida dari Tuhan. "Nuansanya memang Islam karena Ki Ageng Gribig sendiri adalah pendakwah agama Islam," katanya.
Namun demikian, lanjutnya, kearifan lokal yang ditularkan Ki Ageng Gribig itu menjadi nilai-nilai luhur yang dipegang masyarakat sekitar tanpa terkotak-kotak dengan pembatasan lain yang sering disematkan.
"Misalnya, kue apam yang disebarkan yang keseluruhannya mencapai empat ton lebih, dibuat secara bergotong royong oleh warga, masing-masing warga membuat dan menyerahkan tanpa membedakan siapa-siapa di antara mereka ini," katanya.
Iwan menambahkan, kue apam berasal dari kata affan atau affuwun yang artinya memaafkan. "Ini ajakan untuk menebarkan sikap saling memaafkan diantara sesama. Menilai apam tersebut membawa berkah? Adalah ajaran atau wewarah bahwa memaafkan itu membawa berkah tidak saja bagi yang memberi maaf tetapi juga yang menerima permintaan maafnya," katanya.
Ia juga menjelaskan, adanya tradisi ini juga menguatkan rasa persaudaraan di antara warga, dan bahkan menjaga ikatan antara warga dan desanya. Hal itu, katanya, sangat terlihat pada saat pelaksanaan upacara tradisi Yaqowiyu. Banyak warga yang tengah merantau, menyempatkan diri untuk 'mudik' pada hari pelaksanaan Yaqowiyu. "Tidak sekadar menonton tetapi tetap melibatkan diri dalam rangkaian kegiatan Yaqowiyu," katanya.
Diterima masyarakat
Menurut Iwan Purwoko, meski bernuansa keagamaan (Islam), tradisi ini dapat diterima masyarakat sekitarnya. "Siapa pun dia," katanya.
Karena itu, kata Iwan, Yaqowiyu layak untuk tetap dipertahankan keberadaannya dan keberlangsungannya. "Ini adalah kepiawaian seorang ulama di masa lalu yang mampu memandang masa depannya yang jauh," katanya.
Dikatakan memang ada sekelompok kecil yang 'berusaha untuk menghalangi' kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan itu. Namun demikian, ujarnya, sebagai kegiatan budaya sebaginya dilakukan dialog yang terbuka dan jujur agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Ia kemudian mengingatkan, dalam kegiatan tradisi Yaqowiyu itu tidak bisa hanya dipandang sebagai kegiatan upacara tradisi semata karena di dalamnya juga memiliki arti ekonomis di kalangan masyarakat setempat.
Hal senada juga dikatakan oleh Muhammad Mustafid, biasa dipanggil Gus Mustafid, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Mlangi Yogyakarta. Menurutnya, Yaqowiyu merupakan salah satu asmaul khusna, yang artinya Allah yang Maha Kuat. "Dengan mewiridkan itu, kita berharap diberi kekuatan untuk menghadapi berbagai tantangan dan cobaan. Karena itu, tradisi itu dari sisi subtansi masih relevan sebab tantangan saat ini justru sangat kompleks dan multidimensional. Dari sisi kebudayaan, tradisi itu memiliki relevansi untuk terus berpijak pada kearifan lokal di tengah menguatnya politik identitas yang mengarah ke disintegrasi sosial."
Dia menambahkan, tradisi itu diyakini bukan hanya satu komunitas, melainkan juga masyarakat secara luas. "Artinya, ada pengetahuan kolektif di situ, diwariskan secara kolektif sehingga nilai-nilainya cukup terjaga. Hanya saja dibutuhkan kontekstualisasi," tutup dia. (Jek/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved