Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
SEBANYAK 60 pemuda desa dari empat kabupaten di Yogyakarta berkumpul selama tiga hari. Mereka ialah para anak muda yang lolos seleksi Sekolah Pemuda Desa 2018, berbekal proposal program yang dijalankan di desa mereka masing-masing. Selain berjejaring sesama pemuda, mereka juga belajar cara mengawasi dana desa.
Annisa Khansa, perempuan lulusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta merupakan salah satu pesertanya. Ia membawa program Sanggar Kecik, sebuah ruang berinteraksi untuk saling menjaga diri, teman, dan lingkungan.
Annisa merupakan pemuda Dusun Jetis, Desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman. Ia dan beberapa temannya sudah aktif bergiat di Sanggar Kecik selama setahun, sebelum mengikuti Sekolah Pemuda Desa 2018.
"SPD itu seperti jalan untuk mengubah sudut pandang anak desa yang selama ini dipandang sebagai sumber masalah, pasif dalam berpikir menjadi pemuda desa sebagai problem solver atas segala dinamika sosial yang ada," katanya, pada Rabu (3/10).
Di sanggarnya, ia juga teman-temannya menciptakan wadah dengan bentuk rumah kesenian dan keterampilan, dengan berbagai lokakarya, termasuk media digital, pameran seni, dan pentas seni anak remaja. Ia pun tak menyangka bila dalam rangkaian kegiatan Sekolah Pemuda Desa di luar ekspektasinya.
Sekolah Pemuda Desa (SPD) merupakan gagasan dari komunitas Ketjilbergerak, komunitas anak muda yang menggunakan seni sebagai media pendidikan dan media kolaborasi belajar bersama. Untuk menjalankan idenya, Ketjilbergerak menggandeng lembaga anti-rasywah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Desa (Kemendes). Tahun ini merupakan tahun kedua penyelenggaraan (SPD) bertema Energi muda desa untuk negeri, masih berbasis di Yogyakarta sebagai proyek mula.
"Setiap tahun kita jaring 20 desa dari empat kabupaten di Yogyakarta, tiap-tiap kabupaten ada lima desa. Kami ingin teman-teman desa tidak minder, bangga jadi anak muda desa. Tidak usah menyangkal, justru di desa kami ingin belajar, di desa SDA masih luar biasa, nilai tradisi yang terjaga, gotong royong masih kuat, kita ingin teman-teman desa bangga pada desanya, mau kenal, belajar, memetakan permasalahan, potensi, dan menciptakan solusi konkret, walaupun kecil, tidak masalah yang penting dimulai," ungkap pendiri Ketjilbergerak, Greg Sindana, pada Rabu (3/10).
Kegiatan yang berlangsung selama akhir September itu merekrut 20 tim, yang masing-masing punya tiga anggota. Mereka diminta mengirim proposal program yang mereka jalankan di desa masing-masing. Dalam pemilihannya, menurut Greg, berdasar pada pemetaan mereka terhadap masalah desanya, pemetaan potensi solusi kreatif yang ditawarkan, seberapa mereka memahami desanya, dan visibilitas solusi mereka. Di Yogyakarta, ada 392 desa. Tahun lalu, ada 60 pengirim proposal, sedangkan tahun ini terpaut satu angka, yakni 59 proposal masuk. Pembatasan kuota 20 desa disebabkan untuk memudahkan pendampingan Ketjilbergerak ketika program SPD usai.
Kawal dana desa
Bekerja sama dengan Kemendes juga KPK, Ketjilbergerak menyusun berbagai rangkaian materi, di antaranya urgensi branding desa, pemanfaatan IT dalam branding desa, pemaparan tentang dana desa dan urgensinya bagi kemajuan desa, seni (dongeng dan wayang kardus sebagai salah satu metode pengelolaan desa), keterampilan (membuat sabun dari minyak jelantah) sebagai salah satu problem solver dan pemanfaatan potensi desa, serta pemanfaatan radio komunitas untuk desa.
Selain itu, juga materi yang mendorong peserta untuk memahami aliran dana desa. Luaran yang diharapkan pun, mampu menjadi pengawal aktif dana desa.
"Output yang diharapkan, tentu mereka terkait dengan dana desa bisa terlibat secara aktif, monitoring dana dan pengelolaan. Selama ini kita tahu hanya dikelola oleh yang tua, dan aparatur desa, serta kebanyakan untuk infrastruktur. Harapannya, dengan pemuda terlibat, ada energi kreatif, dan nyambung, ada salurannya lewat dana desa, jadi mereka mau kembali di desa dan membangun di desanya. Harapan lainnya, supaya persaudaraan terus terjalin, membuat jaringan desa, gerakannya bisa sustainable," tambah lelaki yang memulai komunitasnya ini saat masih menempuh Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Sanata Dharma Yogyakarta.
Salah satu alumni SPD tahun lalu yang kini menjadi fasilitator SPD 2018, Septiasih Windiasari, juga mengungkap pentingnya pemuda desa mengawal aliran dana desa. Tahun lalu, ia mengajukan proposal tentang sekolah alternatif di desanya, Desa Gari, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, yang sudah berjalan setahun sebelum masuk SPD 2017.
"Jadi, bagaimana peran pemuda bisa menjadi pendamping untuk penggunaan dana desa, kita merasa perlu ketika membuat suatu program, penggunaan dana desa penting untuk diketahui. Dengan pendampingan penggunaan dana desa, kita bisa ngerti bagaimana seharusnya pemuda di desanya."
Perempuan yang berprofesi sebagai bidan ini pun merasa punya tanggung jawab saat dimintai menjadi fasilitator, mendampingi proses para peserta SPD 2018. "Mereka tanya tentang program mereka, untuk dipresentasikan itu kurang apa, yang lebih aku tekankan ke mereka ialah seberapa penting program itu, dan bisakah konsisten untuk terus membuat program berkelanjutan. Kemudian bagaimana teman-teman harus bisa mandiri nantinya, tidak hanya mengandalkan dana desa. Anggap dana desa hanya sebagai stimulan, selebihnya pemuda desa harus bisa berinovasi dan mandiri."
Sekolah desa
Keberlanjutan SPD tidak hanya berhenti tiga hari. Dari tahun pertama, Ketjilbergerak bersama jejaring alumninya menggelar program Sekolah Desa dua bulan sekali, bergilir di tiap desa peserta.
"Tempatnya bergiliran di desa alumni, istilahnya ngunduh, berpindah-pindah penyelenggaraannya. Kami punya sistem pendanaan mandiri, namanya kas bergerak, dikelola bersama, hasil dari jualan merchandise yang didesain kami, semua keuntungan masuk ke kas bergerak, untuk keperluan operasional," kata Greg.
SPD menjadi bentuk keresahan dari Ketjilbergerak yang berdiskusi bersama KPK dan Kemendes, merasa 'urgent' untuk teman desa bisa terlibat dalam pengawasan dan pengelolaan dana desa, dan bisa bangkit dari desa. Untuk pendanaan program ini, tahun lalu didapat dari KPK, sedangkan tahun ini bersumber dari Kemendes. Kedepannya, Ketjilbergerak, KPK juga Kemendes akan mereplikasi SPD sesuai kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi di provinsi lain untuk diterapkan di luar Yogyakarta. Ada kemungkinan untuk memilih provinsi dengan jumlah desa tertinggal yang paling banyak, dilihat dari indeks desa membangun (IDM). Tentunya, yang diharapkan ialah desa menjadi bagian dari masa depan Indonesia, dengan segala sumber potensi yang dimiliki, dan butuh anak muda untuk menggerakkannya. (M-1)
Opini Muda
Annisa Khansa, peserta SPD 2018, Penggerak Sanggar Kecik
Sungguh, kami selama di dalam kegiatan ini selalu dimotivasi bahwa kami ialah bagian dari aktor perubahan. Kami diberi materi yang bermuara pada 'mengolah desa dengan cara yang dinamis dan kekinian, tapi penuh analisis'.
Kami diyakinkan bahwa memajukan desa itu banyak cara dan metodenya, banyak jaringan yang bisa didapat. Kami diarahkan untuk mampu mengakses dana desa sebagai salah satu sumber pengembangan program desa yang dapat dikelola pemuda desa.
Tantangan terbesar itu bukan dana, tapi bagaimana cara mengajak pemuda lain untuk turut aktif menjalankan program. Selain itu, minimnya kemampuan pemetaan potensi desa.
Septiasih Windiasari, alumnus SPD 2017, Penggerak Sekolah Alternatif Beladega
Desa maju itu desa yang semua lapisan masyarakatnya bisa bersinergi, sama-sama membangun desanya. Sudah tidak bergantung sama kucuran dana pemerintah, punya usaha sendiri, punya Bumdes (Badan Usaha Milik Desa), dan punya penghasilan pendapatan asli desa.
HOW TO
Menjadi pemuda desa tidak perlu malu. Justru kita bisa berkontribusi untuk memajukan desa kita dan bisa jadi bagian dari Indonesia di masa depan. Terlebih, dengan adanya program dana desa, menurut Ketjilbergerak menjadi momentum untuk para pemuda desa mengoptimalkan dan menaikkan posisi tawar mereka dalam memajukan desa. Lalu, bagaimana kita bisa mengenali potensi desa kita?
Ketjilbergerak, komunitas anak muda yang menggunakan seni sebagai media pendidikan dan media kolaborasi belajar bersama, serta menggagas Sekolah Pemuda Desa bekerja sama dengan KPK dan Kemendes, punya kiat cara mengenali potensi desa. Yuk, simak!
1. Berangkat dari yang paling dekat
Berangkat dari yang paling dekat dengan diri sendiri untuk mengenali lingkungan terdekat kita, untuk bisa memahami dan mampu melakukan pemetaan permasalahan, dan potensi desa.
2. Menyambungkan Koneksi
Setelah kita mampu melalukan pemetaan permasalahan dan potensi desa, kita bisa menyambungkan titik-titik jejaring sesama pemuda desa untuk mencari solusi kreatif. Dengan berjejaring, kita akan mampu melakukan crosscheck antardesa, perbedaan dan persamaan permasalahan yang dihadapi, serta bisa merumuskan kemajuan desa kita yang autentik, sesuai keadaan desa masing-masing.
3. Konsisten Bergerak
Meski program atau kontribusi kalian para pemuda desa tergolong kecil, tapi bila dijalankan secara konsisten, akan tetap berdampak dan lama kelamaan akan semakin membesar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved