Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PERNAHKAH Sobat Medi berkunjung ke kebun binatang dan melihat binatang penuh rambut sekujur tubuhnya, berjalan dengan kedua kaki mereka, dan bisa dibilang mirip dengan kita? Ya, orang utan! Pernahkah kamu memberi makan atau malah berfoto bersama orang utan? Ternyata, ini seharusnya tidak boleh lo!
Mengapa tidak boleh ya? Nah, Sobat Medi, orang utan merupakan salah satu satwa liar khas Indonesia, yang tersebar di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Habitat asli mereka tentu sebenarnya ada di hutan. Namun, banyak juga yang memburunya sehingga populasinya pun terancam. Biasanya, para pemburu kemudian memeliharanya atau malah diperjualbelikan. Menyedihkan ya. Untuk itulah, ada beberapa lembaga rehabilitasi yang punya kegiatan menyelamatkan para orang utan untuk dikembalikan ke hutan.
Gemas, tapi bukan Kawan Kita
Alasan kita tidak boleh berinteraksi dengannya, karena itu akan mengganggu sifat liar mereka. Bahkan, mereka juga bisa meniru kebiasaan tingkah laku kita lo, kalau dipelihara dan diperlakukan sama dengan manusia. Itulah alasan mengapa sebenarnya kita tidak boleh berinteraksi dengan orang utan.
Beberapa waktu lalu, Sobat Medi sempat bertemu dengan koordinator dokter hewan, Agnes Pratamiutami, yang bertugas di Yayasan Borneo Orang Utan Survival, sebuah yayasan penyelamatan orang utan di Kalimantan. Menurut dokter Agnes, ada perbedaan antara orang utan Sumatra dan Kalimantan.
"Pertama, mereka berbeda spesies, kemudian orang utan di Sumatra warna rambut lebih terang, rambut di janggut kuning terang, mereka cenderung di atas pohon, karena di sana lebih banyak predator, seperti harimau, gajah meskipun bukan predator, namun dianggap bisa mengganggu. Sementara orang utan Kalimantan warna rambutnya lebih gelap, terutama di Kalimantan Timur itu yang paling gelap. Jantan dewasa lebih banyak di tanah, ini bukan hal aneh atau tidak biasa ya, karena predatornya memang tidak banyak, jadi mereka lebih leluasa. Dari segi makanan, di Kalimantan Timur ini ada yang seperti jahe-jahean, mereka makan umbutnya, bagian dalam dari tanaman itu."
Mirip manusia
Sobat Medi, ternyata orang utan itu punya genetika dan DNA yang mirip lo, dengan kita, yaitu di atas 90%. Ini pula yang bisa menyebabkan bila kita berinteraksi dengan mereka, terlebih secara intensif, akan menyebabkan penularan penyakit. Menurut dokter Agnes, memang selama ini belum ada orang utan yang menularkan penyakit ke manusia. Namun ada lo, manusia yang menularkan penyakit ke orang utan.
"Kalau misalnya orang utan dipelihara lama sama manusia, dan kemudian ketularan penyakit, lalu gabung sama orang utan lain di pusat rehabilitasi, akan ada kesempatan menularkan ke orang utan lain juga. Selama ini penyakit yang biasa menimpa orang utan, di antaranya cacingan. Berdasar penelitian, orang utan liar ada cacingnya, cuma itu tidak menyebabkan sakit, menjadi penghuni normal di sistem pencernaan mereka, nah kalau kontak dengan manusia, bisa ketularan cacingnya manusia, dan itu berbahaya buat mereka. Bisa juga terkena penyakit hepatitis B, TBC, HIV belum terbukti, herpes kemungkinan bisa, tifus juga bisa, malaria, dan demam berdarah, memang hampir sama dengan manusia," kata dokter yang sudah bekerja selama delapan tahun di Yayasan BOS ini.
Bila manusia memelihara orang utan, itu juga tidak akan baik untuk manusianya, terutama tidak akan mendatangkan kebaikan untuk orang utannya. Sebab, yang seharusnya terdidik secara kebiasaan mereka, jadi terdidik dengan kebiasaan manusia. Ini akan memengaruhi kondisi psikologisnya, dari segi makanan pun, bila diberi makanan manusia seperti nasi atau mi instan misalnya, itu akan mengganggu sistem pencernaan mereka yang memiliki perbedaan.
Para petugas di BOS, diperkenankan untuk mengenakan atribut PPD (peralatan perlindungan diri). Seperti seragam warepack, sarung tangan, masker, dan sepatu bot.
"Tiap kasih makan atau kontak, yang pasti semua untuk melindungi, misalnya petugas ada penyakit kulit gatal atau korengan misalnya, atau orang utan yang sakit, manusia yang harus obatin, harus ada kain yang jadi barrier paling tidak, kalau masker kayak untuk melindungi dan mengantisipasi penularan TBC atau flu, bahkan orang utan juga bisa flu. Kalau sepatu bot hampir sama, buat pengaman kalau misal digigit orang utan yang nakal, nangkap kaki, paling tidak ada bot yang melindungi."
Nah, Sobat Medi sekarang sudah tahu kan, alasan kita tidak boleh berinteraksi dengan orang utan. Karena selain bisa berpotensi menularkan penyakit, juga untuk menjaga sifat mereka yang liar. Kalau Sobat Medi bermain ke kebun binatang, sekarang jangan kasih makan atau bahkan minta foto bareng ya! Meski terlihat menggemaskan, ingat, seharusnya mereka liar! (M-1)
- Fase usia orang utan
Invant (bayi) usia 0-4 tahun
Jouvenil 4-7 tahun
Remaja 8-13 tahun
Subdewasa 14-18 tahun
Dewasa 18 tahun ke atas
- Di Betina tidak ada fase subdewasa.
- Orang utan dewasa memiliki cikpet, biasanya sudah mulai tumbuh saat remaja.
- orang utan jantan remaja dan dewasa punya kemampuan long call distance, yakni suatu panggilan untuk menandai wilayah teritorial mereka, dan untuk menarik perhatian orang utan Betina.
- Faktor penyebab punahnya orang utan, di antaranya perluasan area perkebunan, pertambangan, deforestasi, dan perburuan liar.
- Orang utan memiliki fungsi membantu menyeimbangkan ekosistem di hutan, mempertahankan atau malah menambah vegetasi pohon karena orang utan termasuk dalam spesies payung, yaitu ikut menyebarkan biji yang mereka makan, dan memiliki daya jelajah yang luas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved