Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Indonesia Toleran sejak Dulu

Fathurrozak
30/7/2018 15:18
Indonesia Toleran sejak Dulu
(MI/Ebet)

DI antara rerimbunan pohon, ceruk-meruk usam, bebatuan berlumut di di perbukitan karst di sudut Baturaja, Sumatra Selatan, tersimpanlah sebuah harta karun tak bernilai bagi bangsa ini. Di situlah kerangka-kerangka masa prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia beristirahat. Sebuah pekuburan kerukunan multiras, Austromelanesoid dan Mongoloid.

Gua Harimau yang ada di hulu Sungai Ogan ini menjadi salah satu jejak kerukunan nenek moyang kita, dengan bukti penemuan kubur masif berjumlah 81 individu. Dua ras penghuni gua ini memiliki perbedaan budaya, Austromelanosoid dengan berburu dan mengumpulkan makanan, sedangkan Mongoloid yang datang 3.500 tahun kemudian dengan gaya bercocok tanam mereka.

Kuburan penghuni Gua Harimau ditemukan pada lapisan budaya neolitik, yang menunjukkan adanya kohabitasi awal hunian Mongoloid. Bahkan, ditemukan pula kubur Ras Mongoloid menggunakan cara seperti yang biasa digunakan dalam penguburan pendahulu mereka, Austromelanosoid, kubur terlipat.

"Suatu jejak kerukunan dari dua ras yang sempat hidup berdampingan," sebut arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, dalam bukunya yang berjudul Jejak Silam Toleransi.

Selain Gua Harimau, pembauran kebudayaan kedua ras tersebut juga bisa ditemukan jejaknya di Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang, yang menunjukkan pekuburan dengan kerangka ditindih batu, membujur, juga dalam posisi menekuk. Dalam bahasa Aceh Takengon, gua disebut loyang.

Menurut Bambang, jasad-jasad itu membawa bekal kubur mereka. Dari interaksi kedua ras itu, bahkan hingga terjadi perkawinan antarras, kawin-mawin yang melahirkan keturunan campuran gen keduanya.

"Toleransi keberagaman juga tetap menjadi DNA moyang kita, saat kepercayaan dengan sistem agama mulai dikenal di Nusantara," kata Bambang.

Buktinya, para penganut Hindu-Buddha berdampingan rukun, termasuk para rajanya. Misalnya, para penguasa Dinasti Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno (Medang) pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, merupakan para penganut Buddhis, yang juga menjadi agama mayoritas rakyatnya.

Meski mayoritas, toh raja-raja Syailendra juga memperhatikan agama lain yang juga berkembang sehingga muncul pula harmoni Candi Prambanan yang bercorak Hindu berdampingan dengan Candi Sewu yang merupakan arsitektur monumental berlatar Buddhis.

Merawat jati diri
Era kolonial yang mengharuskan antarsuku terkotak, toh rupanya juga tetap melahirkan kesatuan budaya. Arkeolog yang juga menjadi anggota tim Ahli Cagar Budaya Khusus Jakarta, Candrian Attahiyat, menuturkan masyarakat Nusantara sudah memaknai perbedaan jauh sebelum era kolonial dimulai.

Beberapa unsur yang bisa dilihat, sambungnya, saat masa kolonial masyarakat dikotak-kotakkan, orang Jawa di sini, Banten di sini, Ambon di sini. Namun, ternyata itu tidak mempan. "Justru mereka bersatu membentuk suatu komunitas urban," ungkapnya saat ditemui dalam acara Perayaan 105 Tahun Purbakala, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pekan lalu.

Bagaimana dengan masa kini? Candrian mengatakan, kita bisa melihat kembali ke akar budaya yang sudah berkembang berabad-abad lalu dan mengambil pelajaran darinya. Bagaimana menghargai etnik yang ada, kultur yang ada dan agama yang sudah berlangsung.

Hal senada dikemukakan arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirdjo. Menurutnya, kebesaran masa lalu hanya kosong belaka bila tidak disertai pemahaman proses kebudayaannya.

"Saat ini bangsa Indonesia tidak lagi terlalu membutuhkan 'kebesaran budaya masa lalu' sebagai pembentuk jati dirinya, tetapi lebih banyak membutuhkan kiat-kiat untuk menghadapi berbagai masalah global dan lokal," ujar Daud.

Karena itu, bukan narasi kehebatan dan kebesaran budaya masa lalu yang didambakan. Sebaliknya, yang dibutuhkan ialah pemahaman akan proses-proses budaya masa lalu yang dapat menjadi pelajaran berharga sebagai modal menghadapi masalah kekinian.(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya