Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
DENGAN mahkota hiasan bulu-bulu burung enggang di kepalanya, penampilan enam lelaki itu begitu menyedot perhatian. Tak hanya bulu, di mahkotanya itu juga melekat paruh burung enggang.
Selain di kepala, bulu burung endemik asal Kalimantan itu juga dikenakan sebagai hiasan kalung yang menjuntai di dada dan jari-jari mereka.
Tak jauh dari mereka, seorang laki-laki yang lebih tua mengenakan mahkota senada, dengan jumlah helai bulu enggang yang jauh lebih banyak. Terdapat juga bulu burung haruai, burung merak langka dari Kalimantan.
Bunyi gemerincing dari entakan gelang di tangan dan kaki yang dikenakannya, begitu nyaring. Sambil terus melompat, ia juga berteriak.
Aura kepemimpinannya begitu kuat.
Dengan penampilannya itu, ia menjelma bak seekor burung, lengkap dengan sayapnya yang mengembang. Ia dilambangkan sebagai panglima burung yang hadir untuk memimpin pelaksanaan perang.
Masyarakat Dayak yang merupakan suku asli Kalimantan menempatkan enggang sebagai burung yang dikeramatkan. Mereka menganggap burung enggang sebagai penjelmaan dari panglima burung di hutan pedalaman Kalimantan. Panglima burung adalah sosok berwujud gaib. Hanya akan hadir saat perang terjadi.
Burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dikonsumsi. Apabila ada burung enggang yang ditemukan mati, tubuhnya tidak dibuang.
Bagian kepalanya digunakan untuk hiasan kepala baju adat. Kerangka kepala burung enggang yang keras bertulang akan tetap awet. Hiasan kepala ini pun hanya digunakan orang-orang terhormat di suku Dayak.
"Wujud burung enggang bisa ditemui di hampir setiap ruang kehidupan masyarakat Dayak," Husni Thamrin, budayawan Dayak yang ditemui di sela acara Festival Banjar dan Dayak Meratus 2018 di Jakarta, pekan lalu.
Ia mengatakan, burung enggang juga dianggap sebagai simbol pemimpin idaman yang mencintai perdamaian. Lebar sayapnya digambarkan sebagai tempat perlindungan bagi rakyatnya yang membentang luas, seluas angkasa.
Kepakan sayap burung enggang juga dianggap sebagai kekuatan dan keberanian karena bunyi nyaringnya, sedangkan suara yang keluar dari burung enggang menjadi simbol perintah pemimpin yang akan selalu didengarkan rakyat.
Masyarakat Dayak biasanya menggunakan kepala dari burung enggang untuk hiasan kepala. Tidak sembarangan orang yang bisa memakainya. Hiasan kepala dari kepala burung enggang hanya dipakai orang-orang yang mempunyai jabatan yang tinggi, semacam kepala suku. Di daerah lain, burung enggang dikenal dengan nama rangkong, julang, atau kangkaren.
"Burung enggang itu selalu dianggap sebagai bagian dari atas oleh masyarakat Dayak. Bahkan, ada beberapa daerah Dayak yang menganggap burung enggang sebagai dewa. Memang burung enggang ini juga merupakan burung yang selalu hinggap di pohon yang tinggi dan tidak pernah hinggap dipohon yang rendah apalagi tanah," beber Husni.
Talabang
Tidak hanya dalam wujud bulu, motif burung enggang juga digunakan pada talabang atau perisai, yang biasa digunakan untuk keperluan upacara adat Dayak. Talabang berbahan kayu ampuro berbentuk persegi panjang yang bagian atas dan bawahnya menyempit hingga menjadi runcing. Panjangnya sekitar 1 meter dengan lebar 50 cm.
"Ukiran atau motif dari talabang juga berlandaskan pada burung enggang yang memang sangat dihormati. Jadi, sebagian besar memang semuanya selalu berhubungan dengan burung enggang," sebut budayawan yang sudah tinggal lama di Dayak ini.
Lain halnya dengan burung enggang, masyarakat Dayak menganggap burung haruai sebagai simbol kesetiaan, kesucian, keagungan, kebersihan diri dari segala hal dan kewaspadaan terhadap ancaman-ancaman.
Bulu burung haruai atau juga dikenal dengan kuau melayu itu berwarna coklat dihiasi bintik-bintik berbentuk mata. Bulunya sangat indah dan panjang maka sering dikenakan untuk kostum tarian upacara adat Dayak.
"Burung haruai juga dihormati oleh masyarakat dayak, namun tatarannya lebih bawah dari burung enggang," ungkap Husni.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved