Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Gebogan di Bumi Seni

Iwan J Kurniawan
22/3/2015 00:00
 Gebogan di Bumi Seni
(ANTARA/Nyoman Budhiana)
SEKAWANAN ibu-ibu melangkah ber­iringan melewati depan Pasar Ubud, Gianyar, Bali. Mereka berjalan menyusuri jalanan untuk menuju ke Pura Taman Saraswati, siang itu. Mereka tampak anggun menggunakan pakaian adat.

Selama berjalan, mereka menaruh gebogan di atas kepala. Itu membuat wisatawan pun langsung memandang dengan penuh decak kagum. Ada yang mengabadikan dengan kamera profesional. Ada pula yang membidik dengan kamera saku. Pe­mandangan ini memang sering kita lihat di Ubud dan daerah-daerah lainnya di Pu­lau Bali.

Gebogan atau pajegan merupakan susunan buah dan jajanan. Bagi masyarakat Hindu di Bali, itu sebagai sarana sesajen. Mereka mengungkapkan rasa bersyukur dan memohon agar anugerah bisa kembali dinikmati.

"Dulunya, bisa sampai 1 meter tingginya. Sekarang sudah disederhanakan karena kebutuhan. Sesibuk apa pun, warga tetap membuat gebogan untuk dibawa ke pura," ujar budayawan Bali, I Wayan Dibya, dalam sebuah diskusi, pekan lalu.
Gebogan memiliki bentuk menjulang seperti gunung. Tinggi rendahnya gebogan tergantung pada keikhlasan dan kemampuan. Keikhlasan hati dan rasa syukur membuat warga pun merasa wajib untuk menyuguhkan gebogan ke pura.
Sepekan sebelum Hari Raya Nyepi, warga di Gianyar mempersembahkan gebogan ke pura yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Warga juga akan kembali memper­sembahkan gebogan setelah perayaan Hari Raya Nyepi selesai.

"Tradisi-tradisi yang ada di Gianyar sudah dilakukan secara turun-temurun. Baik seni lukis, pertunjukan, maupun sistem ke­percayaan. Budaya itu selalu ada kala masyarakat menjaganya. Ini penting agar anak cucu bisa melihat kearifan lokal," jelas Dibya yang juga guru besar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, itu.

Mitos-mitos tentang budaya dan fragmen tari menjadi cerita penting, terutama bagi keberlangsungan hidup. Warga memberi gebogan sebagai intisari dalam persembah­an. Namun, lewat perkembangan zaman, ada perubahan desain dan makna.

"Dulu mereka berlomba-lomba untuk mem­buat setinggi-tingginya. Itu akan menjadi sumber camilan di pura selama sebulan. Sekarang tidak lagi sehingga ge­bo­gan dibuat kecil-kecil saja. Dulunya, ling­karan­nya sekitar 40 cm dan tinggi 1,5 meter. Sekarang paling 30 x 75 cm. Elemen masih buah dan janur,\" papar Dibya.

Berbagi makanan
Untuk membuat gebogan cukup mudah. Ada berbagai aneka buah-buahan dan panganan. Semua disusun di atas dulang. Lalu, satu per satu buah ditusukkan secara rapi di sebatang pohon pisang kecil. Ini untuk menjaga ketahanan. Biar kuat dan tak mudah koyak.

Di atas buah-buahan, ada aneka bunga yang diatur di atas anyaman janur berbentuk persegi empat. Warga menyebutnya canang sari. Gebogan biasanya diarak terlebih dahulu mengelilingi suatu kawasan pura tertentu yang disebut mepeed. Setelah itu, barulah dihaturkan ke dalam pura.

Pada acara mepeed, para ibu akan me­­­naruh gebogan di atas kepala. Lalu, ber­jalan beriring membentuk satu baris panjang. Acara ini bertujuan untuk menunjukkan kebesaran Ilahi. Sumber hidup yang telah melimpahkan berbagai makanan di bumi.

Membuat gebogan memang tak lepas dari bahan utamanya janur. Janur terbuat dari anyaman daun kelapa muda. Namun, kini ibu-ibu lebih memilih untuk membeli bahannya di pasar-pasar tradisional. Itu lebih mudah dan terjangkau.

"Saya biasanya membuat sendiri. Bisa memakan waktu 30 menit. Tergantung keterampilan pembuat," ujar Ni Komang, 36, warga Gianyar.

Sebagai bentuk untuk menjaga tradisi membuat gebogan, pada hari ulang tahun (HUT) ke-244 Gianyar, seniman setempat akan mempertunjukkan parade budaya, pada 12-19 April mendatang. Pada acara ter­sebut, ada suguhan gebogan dari 7 kecamatan.

Selain itu, ada acara unik lainnya. Yaitu, melukis sepanjang 1.000 meter (M). Sedikitnya 500 pelukis Gianyar terlibat di dalamnya. Parade budaya menjadi penting karena bisa menjadi ajang promosi seniman lokal. Itu juga menjadi daya tarik wisatawan yang kebetulan sedang berlibur.

"Seni lukis Bali berkembang lewat sang­gar-sanggar kecil. Ada tradisi yang begi­tu kuat pada lokalitas Bali dan ada pula pe­ngaruh Barat. Seabad lalu ada gerakan Pi­tahama atas pengaruh seni rupa luar (Barat) dan lokal,\" jelas kolektor, Agung Rai.

Keberadaan Gianyar memang sudah men­jadi destinasi utama. Bahkan, pada 1936, komedian dunia asal Inggris, Charlie Chaplin (alm), datang ke Gianyar untuk liburan. Itu menunjukkan bahwa budaya dan alam telah menarik wisatawan manca­negara untuk datang berkunjung.

"Sejak 2005, kami telah mencanangkan Gianyar sebagai Bumi Seni. Pada HUT Gia­nyar, ada 100 orang menari. Tujuh ke­camatan di sini memiliki kearifan lokal. Se­mua kesenian pun akan ditampilkan. Baik lukisan, kerajinan perak, maupun tra­disi gebogan," timpal Bupati Gianyar, Anak Agung Gde Agung Bharata.

Lewat seni dan budaya, masyarakat Gia­nyar mencoba untuk menjaga warisan leluhur. Itu mereka pegang kuat demi sebuah keberlangsungan tradisi yang hidup. Setiap upacara memberikan arti penting. Demi menjaga kearifan lokal di Pulau Dewata. (M-2)

[email protected]



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya