SEKAWANAN ibu-ibu melangkah berÂiringan melewati depan Pasar Ubud, Gianyar, Bali. Mereka berjalan menyusuri jalanan untuk menuju ke Pura Taman Saraswati, siang itu. Mereka tampak anggun menggunakan pakaian adat.
Selama berjalan, mereka menaruh gebogan di atas kepala. Itu membuat wisatawan pun langsung memandang dengan penuh decak kagum. Ada yang mengabadikan dengan kamera profesional. Ada pula yang membidik dengan kamera saku. PeÂmandangan ini memang sering kita lihat di Ubud dan daerah-daerah lainnya di PuÂlau Bali.
Gebogan atau pajegan merupakan susunan buah dan jajanan. Bagi masyarakat Hindu di Bali, itu sebagai sarana sesajen. Mereka mengungkapkan rasa bersyukur dan memohon agar anugerah bisa kembali dinikmati.
"Dulunya, bisa sampai 1 meter tingginya. Sekarang sudah disederhanakan karena kebutuhan. Sesibuk apa pun, warga tetap membuat gebogan untuk dibawa ke pura," ujar budayawan Bali, I Wayan Dibya, dalam sebuah diskusi, pekan lalu. Gebogan memiliki bentuk menjulang seperti gunung. Tinggi rendahnya gebogan tergantung pada keikhlasan dan kemampuan. Keikhlasan hati dan rasa syukur membuat warga pun merasa wajib untuk menyuguhkan gebogan ke pura. Sepekan sebelum Hari Raya Nyepi, warga di Gianyar mempersembahkan gebogan ke pura yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Warga juga akan kembali memperÂsembahkan gebogan setelah perayaan Hari Raya Nyepi selesai.
"Tradisi-tradisi yang ada di Gianyar sudah dilakukan secara turun-temurun. Baik seni lukis, pertunjukan, maupun sistem keÂpercayaan. Budaya itu selalu ada kala masyarakat menjaganya. Ini penting agar anak cucu bisa melihat kearifan lokal," jelas Dibya yang juga guru besar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, itu.
Mitos-mitos tentang budaya dan fragmen tari menjadi cerita penting, terutama bagi keberlangsungan hidup. Warga memberi gebogan sebagai intisari dalam persembahÂan. Namun, lewat perkembangan zaman, ada perubahan desain dan makna.
"Dulu mereka berlomba-lomba untuk memÂbuat setinggi-tingginya. Itu akan menjadi sumber camilan di pura selama sebulan. Sekarang tidak lagi sehingga geÂboÂgan dibuat kecil-kecil saja. Dulunya, lingÂkaranÂnya sekitar 40 cm dan tinggi 1,5 meter. Sekarang paling 30 x 75 cm. Elemen masih buah dan janur,\" papar Dibya.
Berbagi makanan Untuk membuat gebogan cukup mudah. Ada berbagai aneka buah-buahan dan panganan. Semua disusun di atas dulang. Lalu, satu per satu buah ditusukkan secara rapi di sebatang pohon pisang kecil. Ini untuk menjaga ketahanan. Biar kuat dan tak mudah koyak.
Di atas buah-buahan, ada aneka bunga yang diatur di atas anyaman janur berbentuk persegi empat. Warga menyebutnya canang sari. Gebogan biasanya diarak terlebih dahulu mengelilingi suatu kawasan pura tertentu yang disebut mepeed. Setelah itu, barulah dihaturkan ke dalam pura.
Pada acara mepeed, para ibu akan meÂÂÂnaruh gebogan di atas kepala. Lalu, berÂjalan beriring membentuk satu baris panjang. Acara ini bertujuan untuk menunjukkan kebesaran Ilahi. Sumber hidup yang telah melimpahkan berbagai makanan di bumi.
Membuat gebogan memang tak lepas dari bahan utamanya janur. Janur terbuat dari anyaman daun kelapa muda. Namun, kini ibu-ibu lebih memilih untuk membeli bahannya di pasar-pasar tradisional. Itu lebih mudah dan terjangkau.
"Saya biasanya membuat sendiri. Bisa memakan waktu 30 menit. Tergantung keterampilan pembuat," ujar Ni Komang, 36, warga Gianyar.
Sebagai bentuk untuk menjaga tradisi membuat gebogan, pada hari ulang tahun (HUT) ke-244 Gianyar, seniman setempat akan mempertunjukkan parade budaya, pada 12-19 April mendatang. Pada acara terÂsebut, ada suguhan gebogan dari 7 kecamatan.
Selain itu, ada acara unik lainnya. Yaitu, melukis sepanjang 1.000 meter (M). Sedikitnya 500 pelukis Gianyar terlibat di dalamnya. Parade budaya menjadi penting karena bisa menjadi ajang promosi seniman lokal. Itu juga menjadi daya tarik wisatawan yang kebetulan sedang berlibur.
"Seni lukis Bali berkembang lewat sangÂgar-sanggar kecil. Ada tradisi yang begiÂtu kuat pada lokalitas Bali dan ada pula peÂngaruh Barat. Seabad lalu ada gerakan PiÂtahama atas pengaruh seni rupa luar (Barat) dan lokal,\" jelas kolektor, Agung Rai.
Keberadaan Gianyar memang sudah menÂjadi destinasi utama. Bahkan, pada 1936, komedian dunia asal Inggris, Charlie Chaplin (alm), datang ke Gianyar untuk liburan. Itu menunjukkan bahwa budaya dan alam telah menarik wisatawan mancaÂnegara untuk datang berkunjung.
"Sejak 2005, kami telah mencanangkan Gianyar sebagai Bumi Seni. Pada HUT GiaÂnyar, ada 100 orang menari. Tujuh keÂcamatan di sini memiliki kearifan lokal. SeÂmua kesenian pun akan ditampilkan. Baik lukisan, kerajinan perak, maupun traÂdisi gebogan," timpal Bupati Gianyar, Anak Agung Gde Agung Bharata.
Lewat seni dan budaya, masyarakat GiaÂnyar mencoba untuk menjaga warisan leluhur. Itu mereka pegang kuat demi sebuah keberlangsungan tradisi yang hidup. Setiap upacara memberikan arti penting. Demi menjaga kearifan lokal di Pulau Dewata. (M-2)