Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
LELAKI itu masih duduk di pinggir jalan. Lampu jalan remang-remang, jam sudah menunjuk angka satu. Lelaki itu menghela napas sesaat. Dibakarnya satu batang rokok. Dirogohnya saku celana. Hanya ada uang sepuluh ribu rupiah. Rokok di bungkusnya juga hanya tersisa dua batang. Sebenarnya Ia ingin tidur saja. Namun matanya selalu ingin terbuka, lebih sering terbuka sampai pukul enam pagi. Satu botol air mineral di depannya Ia teguk. Ia merenung.
“Apa rencanamu?” Suara perempuan beberapa bulan lalu terngiang di otaknya. Ia hanya melenguh. Saat itu Ia sedang mabuk berat. Otaknya tak mampu menangkap ucapan apa-apa. Setiap suara terdengar seperti dengungan lebah.
“Apa rencanamu?” Perempuan itu lagi bertanya. Dipegangnya pundak lelaki itu. Ia menoleh. Matanya hanya menangkap cahaya. “Randuse, kenapa diam saja? Jawab aku Randuse! Ini anakmu, jangan kau titipkan anjing ini dalam rahimku” Lagi-lagi perempuan itu bersuara. Lebih keras, begitu memekakkan telinganya. Masih terdengar seperti dengungan sejuta lebah di telinga lelaki itu.
Lelaki itu diam. Badannya seperti hendak tersungkur. Ia mabuk sejak pagi sampai jam tujuh Maghrib. Hingga perempuan itu menemukannya selepas mencarinya berhari-hari. “Jawab aku Randuse, bangsat, jangan diam begini...” Perempuan itu wajahnya manis, namun seperti monster di pandangan lelaki itu. Dalam kondisi diam, perempuan itu meludahinya. Tepat mengenai wajahnya. Ia hendak menampar perempuan itu, namun masih di tahan. Ia memang mabuk, tapi Ia sadar otot tangannya akan membuat pipi perempuan itu lebam. Atau kemungkinan terburuknya perempuan itu bisa pingsan.
“Bangsat kamu Randuse, mana janji-janjimu? Mana?” Perempuan itu menangis sambil menjambak rambut lelaki itu. Tubuhnya ikut bergerak, sebab tarikan perempuan itu begitu keras. “Aku perlu berpikir” Lelaki itu bicara untuk pertama kalinya. Suaranya pun putus-putus. Aroma tuak menyeruak dari mulutnya.
“Berpikir apa lagi? Nikahi aku, nikahi aku..!!!” Perempuan itu masih menggenggam rambutnya. Seakan tak mau dilepaskan. Namun lelaki itu terlalu kuat, melepaskan diri, dan pergi.
***
Ingatan itu menyeruak kembali. Lampu jalan masih remang, jam sudah menunjuk angka satu lewat dua puluh menit. Sebuah mobil melintas pelan. Membuat matanya sejenak silau. Lelaki itu kembali merenung. Di mana ia musti tidur malam ini? Ia tak pernah tau. Ia akan duduk di tempat itu, mungkin sampai matahari muncul dan orang-orang sibuk berlalu-lalang. Ia merenung, uang sepuluh ribu tadi dimasukkan lagi ke dalam sakunya.
“Cinta juga begini. Selalu indah, bukan?” Perempuan itu berbaring di pangkuannya. Tangan perempuan itu sesekali mengelus dagunya. Dagu yang agak panjang, dan perempuan itu jatuh cinta padanya sebab dagu panjang dan berbulu itu.
“Semoga tetap malam. Aku ingin malam selalu seperti ini. Aku tak ingin matahari datang dan membawamu segera pulang.” Lelaki itu tersenyum saat berucap. Dielusnya rambut perempuan itu. Rambut hitam nan panjang. Aroma shampoo menyeruak. Dipagutnya bibir perempuan itu lembut. Di dekapnya, terasa begitu hangat. Kamar kecil itu seperti surga, penuh dengan cinta. “Apakah ada yang lebih indah dari malam ini, Randuse?” Perempuan itu bertanya, lelaki itu masih mengecup pipinya. “Tanya hatimu” Lelaki itu bicara dan tetap memberikan kecupan bertubi-tubi di pipi, kening, dan bibir perempuan itu. Mereka bercinta hingga terlelap.
Ketika matahari datang, perempuan itu harus pergi. Ia harus ke pasar, membeli beberapa barang untuk dijual pada warung kecilnya. Dan benar, lelaki itu tak menyukai matahari yang datang terlalu cepat, Ia ingin berdua saja, tanpa dihalangi waktu.
Sisa air pada botol mineral itu Ia teguk. Malam semakin lengang. Suara anjing menggonggong di kejauhan. Suara angin berdesir, dingin menembus tulang. Ia memeluk lututnya sendiri. Besok entah apa. Yang pasti ada sebuah rencana yang akan Ia kerjakan. Entah rencana itu akan berhasil atau mungkin gagal total. Ia masih merenung sambil memeluk lutut sendiri. Ia bakar kembali satu batang rokok, asap mengepul. Memberi sedikit perih pada matanya yang masih saja terbuka sampai menjelang pukul tiga. “Ah, hidup ini selalu memberi pilihan” Batinnya bicara.
***
Ia adalah seorang perempuan jelita. Banyak pemuda suka, di pasar, sering Ia digoda. Namun hatinya sudah takluk pada dagu seorang lelaki. Lelaki itu beberapa hari lalu makan siang di warungnya. Dagu panjang dan sedikit berbulu itu menyita pandangannya. Sesekali Ia malu jika pandangannya kebetulan beradu dengan tatap lelaki itu.
“Aku Randuse” Jawab lelaki itu ketika ditanya nama. Perempuan itu semakin kesemsem. Dan beranilah dia meminta nomer hape lelaki itu. Mereka kadang-kadang janji bertemu, kadang duduk di taman dari sore sampe menjelang senja. Lelaki itu memang bukan penyuka senja, tapi senja akan selalu menarik untuk menambah romantis sebuah kisah percintaan.
Perempuan itu setiap hari mengirim pesan. Kadang di balas, kadang tidak sama sekali. Sering lelaki itu makan, gratis, perempuan itu tak mau mengambil uangnya. Ia memang jatuh cinta dan cintanya kali ini benar-benar membuatnya tak bisa tidur pagi. Sampai larut, kadang, Ia melamunkan lelaki itu. Dan pagi hari, Ia selalu berharap bertemu, entah di jalan mana, entah di tempat mana saja.
Di pasar, pernah mereka sengaja tak bertemu. Lelaki itu hanya mengenakan singlet putih, sehingga otot tangannya nampak. Itu menggoda bagi si perempuan. Ia memberi senyum. Lelaki itu pun tersenyum. Kemudian mereka sarapan pada sebuah warung. Si lelaki gemar gado-gado, perempuan itu doyan tahu goreng sambal. Mereka bertukar cerita, sesekali lelaki itu tertawa. Perempuan itu juga tertawa dan tanpa sadar sering menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu. Aroma shampoo-nya menyeruak memenuhi penciuman lelaki itu.
Hingga suatu sore mereka sepakat berjumpa pada sebuah kamar kecil di ujung jalan. Kamar itu adalah milik si lelaki. Lebih tepatnya sebuah kamar kost yang sepi. Ada lima kamar, yang terisi cuman satu saja. Hanya lelaki itu. Kost-kostan itu kotor, seperti tak terurus. Beberapa ekor anjing berkeliaran di halamannya. Sesekali memasuki satu kamar kosong yang pintunya selalu terbuka.
Perempuan itu sempat risih, tapi hatinya sudah kedung dipenuhi cinta. Kamar itu ibarat surga, indah di matanya. Lelaki itu tersenyum lalu menutup pintu. Mereka hanya berdua. Bercinta dan berbagi sampai pagi. Sampai matahari datang, dan perempuan itu harus pulang. Dikecupnya kening lelaki itu sebelum Ia pamit dan berjalan meninggalkan kamar surga itu. Lelaki itu terdiam, hanya menatap punggung perempuan itu.
Ia hamil. Batinnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan. Ia takut cerita orang-orang, jikalau seorang anak lahir tanpa seorang bapak, wajahnya akan menyerupai anjing. Dan lelaki itu tak pernah datang. Ia sering membayangkan, jika nanti melahirkan, anaknya bukan menangis, malah menggonggong. Sungguh Ia takut. Ia takut anak itu akan memiliki moncong, pipinya berbulu, dan telinganya lebar.
Ia sering mengutuk diri, sering pula ingin mengakhiri hidupnya. Namun sial, melompat di jembatan, Ia diselamatkan orang. Menengguk racun, Ia malah cuman pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Malam-malam Ia hanya menangis, sambil membelai-belai perutnya. Anak di dalam perutnya sering menendang-nendang. Kemudian Ia nyanyikan lagu “never let me go”, satu-satunya lagu bahasa Inggris yang ia hafal. Anak itu berhenti menendang.
Jika kebetulan perutnya mules, Ia akan berlari-lari kecil. Perutnya akan lekas membaik. Jika Ia merasa bosan, Ia akan berenang di kolam kecil yang tiket masuknya hanya dua ribu rupiah. Kandungannya sehat-sehat saja. Sering Ia memimpikan lelaki itu, namun selalu mimpinya kabur. Seperti muncul tenggelam, tak pernah ada jalan cerita yang pasti pada mimpinya tentang lelaki itu. Ujungnya Ia akan memaki lelaki itu seratus kali ketika terbangun.
Kini, Ia sudah berada pada rumah sakit swasta. Ia merasakan perih di kemaluannya, perutnya sudah terasa sakit. Ini hari, mungkin saja Ia akan melahirkan. Perempuan itu berbaring. Tim dokter sudah di depannya. Keringatnya mengalir, tenaganya hampir saja habis. Sampai pada suara tangisan seorang bayi terdengar, ada kebahagian menyelimuti dirinya. Anaknya seorang perempuan, kulitnya putih, wajahnya tampak manis, dan dagunya panjang. Ia sama sekali belum menyiapkan nama seorang bayi.
Dalam lelah yang sangat, Ia masih terbaring. Dalam kondisi sadar atau setengah sadar, seorang mengetuk pintu dan masuk. Seorang lelaki dengan dagu panjang, berjalan pelan. Tangannya membawa seikat bunga. “Ini bunga sebagai perlambang do’a dan segala sesal” Lelaki itu bicara pelan. Namun suaranya lebih terdengar seperti dengungan lebah pada telinga perempuan itu. Kemudian lelaki itu bergegas pergi, aroma tuak menyeruak di kamar rumah sakit swasta itu.
***
“Ambil saja seikat bunga itu bang..” Seorang pedagang bunga bicara. Tatapannya matanya begitu sendu. “Tak apa, bayar saja sepuluh ribu, ini untuk Abang” Pedagang itu bicara lagi.
“Tidak, aku tidak akan mengambilnya jika harus berhutang. Aku masih memiliki hutang yang teramat besar pada seseorang “ Lelaki itu bicara sambil menatap tajam ke pedagang tadi.
“Buat Abang, tak perlu membayar sisanya” Si pedagang bicara lagi, namun sayang, lelaki itu bergegas pergi. Hanya nampak punggungnya saja. (***)
Majidi, 2018
Rifat Khan ialah cerpenis asal NTB. Beberapa karyanya telah diterbitkan di sejumlah media massa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved