Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
PERTUNJUKAN malam itu seolah lain dari biasanya. Bukan tampil dalam bentuk baku selayaknya teater dengan narasi yang komplit, pentas itu justru menghadirkan potongan-potongan adegan. Pemain pria masuk panggung dengan sebuah boneka yang digendong di punggung. Ia bersenyawa dengan boneka itu. Menari dan terus menari. Seolah boneka itu ialah rekan penari yang punya jiwa. Boneka itu mampu berubah menjadi sosok hidup.
Itulah adegan pembuka dari pentas Teater Stasiun berjudul Memori Disorder pada 27-28 Januari 2018 di Gedung Kesenian Jakarta.
Judul itu mengisahkan tiga orang tua yang mengalami peristiwa traumatik pada saat masa muda. Ketiganya bersahabat dan memiliki masa lalu berbeda. Ketiganya juga ingin menyelesaikan persoalannya pada masa tuanya. Teater Stasiun kali ini mencoba mensinergikan antara tubuh aktor, tubuh boneka dan topeng sebagai salah satu penyimpan memori. Mereka berkolaborasi mengungkap memori-memori tersembunyi.
Awalnya, sutradara Edian Munaedi mendapati sosok pada 2015. Ketika istri tercintanya meninggal, ia sangat terpukul. Meski begitu, beliau masih mampu menyembunyikan goncangan batinnya. Hari ketujuh selepas wafatnya istri tercinta, lelaki mantan tentara yang pernah bertugas di Timor Timur dalam Operasi Seroja itu mulai mengalami perubahan perilaku. Beliau menjadi sering ketakutan, terutama menjelang malam hingga pagi hari. Ia merasa sangat cemas dan sering diikuti bayang-bayang. Bahkan menurutnya, sering juga bayang-bayang itu disertai dengan suara-suara yang tidak jelas.
Peristiwa yang dialami orang yang terdekat itu menarik keingintahuan untuk mempelajari kenapa bisa sampai terjadi seperti itu. Gejala-gejala itulah yang lalu ditelusuri melalui ragam referensi.
Meski demikian, sutradara pentas Edian Munaedi menyatakan pertunjukan ini tidak membicarakan Timor Timur. Peristiwa operasi militer di Timor Timur hanya menjadi bagian dari sejarah kelam kerabat dekatnya yang justru tidak terlalu memusingkan perkara Timor Timur.
“Saya tidak menulis ini dalam konteks sejarah beliau, tapi saya memasukkan banyak. Saya titipkan ada ini, ada ini. Karena tokohnya cuma tiga, disorder kan banyak banget. Jadi saya masukkan,” terang Edian.
Operasi militer memang menjadi bagian dari latar hidup tokoh Bram, tapi itu hanya bagian dari karakter tokoh Bram. Selain itu, terdapat tokoh bernama Bardi yang sering mendapat perlakuan tidak adil semasa kanak-kanak. Ini pun tentang Merry, perempuan yang hancur masa depannya ketika ia diperkosa Bram lalu hamil. Kenangan masa lalu mereka seperti bayang-bayang yang selalu muncul bila terkena cahaya.
Laki-laki kesepian
Bram adalah laki-laki tua yang kesepian yang hanya ditemani pembantunya Bardi dan boneka mendiang istrinya. Bram memperlakukan boneka itu layaknya manusia. ia berbincang, menari, seakan hidupnya normal.
Bardi pun harus mengikuti permainan Bram hingga akhirnya Bardi menikmati kegilaan itu. Kehadiran teman masa remajanya, Merry justru malah membongkar memori kelamnya. Merry hadir ketika Bram ingin membongkar kesalahan masa lalunya meski keangkuhannya coba menahan.
Teater Stasiun bekerja hampir 1 tahun untuk mewujudkan pertunjukan itu. Pertunjukan itu juga menggunakan media penopang untuk mewujudkan panggung yang artistik seperti arsip video, musik digital, dan video mapping. Akhirnya dari kisah itulah lalu dijahit menjadi satu narasi yang utuh. Narasi itu juga ditambah dengan beberapa referensi dari perilaku disorder yang lain.
“Pada akhirnya menjadi fiksi tapi saya mengambil dari realitas,” jelas Edian.
Eksplorasi gerak juga menjadi perhatian utama dalam lakon itu. Ketika dua pemeran berjibaku dengan gerak estetis. Ada pesan yang disimbolkan dalam gerak. “Jadi mengekspresikannya. Yang satu bertahan untuk sudahlah enggak usah. Yang satu harus memaksa,” terang Edian.
Terdapat beberapa komposisi koreografi gerak yang dimainkan aktor pemeran Merry dan Bardi. Gerak di antara kata-kata yang diucapkan oleh sang aktor dan gerak tanpa teks maupun kata. Dasar-dasar koreografi tersebut diambil dari seni beladiri seperti karate, dan gerak badan Bangau Putih. Jadilah gerak itu menjadi satu kesatuan yang indah. Meski terlihat kasar, itu terasa indah.
“Kasar tapi indah,” tegasnya.
Edian mengaku bagian yang paling berat dalam produksi pementasan itu ialah menghidupkan karakter boneka. Sebab bagaimanapun, boneka tidak hanya menjadi pelengkap artistik panggung. Justru boneka itu harus mampu menjembatani sosok istri. “Menghidupkan topeng paling susah. Menghidupkan tokoh puteri boneka dimana dia menjadi istri bukan menjadi boneka. Boneka yang menjadi isteri,” tegasnya.
Djakarta Teater Platform (DTP) adalah Program Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta yang terdiri dari Afrizal Malna, Adinda Luthvianti, Budi Sobar, dan Rita Matumona. Kali ini untuk keempat kalinya kembali diselenggarakan pada awal 2018.
Program itu sudah bergulir sejak 2017 dengan menampilkan 3 teater, yaitu Teater Payung Hitam, Teater Poros, dan Bandar Teater Jakarta. Masih dengan gagasan yang sama, program ini mencoba menjawab kebutuhan adanya platform untuk teater mendapatkan putaran balik antara gagasan, produk-produk intelektual masa kini, respons publik maupun pasar sebagai basis penciptaan, dan didistribusi kembali ke dalam putaran balik ini.
Sementara itu, Teater Stasiun berdiri sejak 1993 atas prakarsa para aktivis Karang Taruna Kelurahan Angke. Nama stasiun diambil karena kedekatan tempat tinggal anggotanya dari Stasiun Angke, Jakarta Barat. Selain pernah menjadi juara umum pada Festival Teater Karang Taruna se-Jakarta Barat pada 1993, Teater Stasiun pada 11 April 1996 juga dinobatkan sebagai grup senior karena sudah berhasil selama tiga (3) kali berturut-turut sejak 1994, 1995, dan 1996 menjadi pemenang pada Festival Teater Jakarta tingkat DKI Jakarta.
Djakarta Teater Platform diharapkan dapat menjadi sebuah laboratorium bersama sekaligus menjadi ruang belajar untuk bagaimana teater dipertaruhkan dalam medan politik budaya di sekitarnya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved