Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
ENAM perempuan menari, bergerak dalam kegelapan. Mereka mengelilingi sebuah makam di hutan. Berkelebat bayangan mereka diterpa lampu yang ditata agak temaram. Cukup lama mereka menari, sampai mereka pun masing-masing mengakrabi lantai panggung sampai sedekat mungkin. Mereka terkapar.
Mulanya, adegan awal memang tidak serta merta menghadirkan visualisasi cerita dalam bentuk yang utuh. Sengaja ditampakkan per bagian. Bagian menari langsung disambung dengan adegan dalam ruang. Ranjang disudut panggung berdiri diatas beberapa level peninggi. Cukuplah untuk menonjolkan segala peristiwa yang ada sisi itu.
Dari situlah cerita bermula ketika beberapa pemain membuka dialog. Itu adalah pertunjukan Teater Pandora yang berjudul Jelaga di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 25-26 Januari 2018. Pertunjukan itu adalah adaptasi dari karya penulis Amerika, Arthur Miller yang berjudul The Crucible. Karya itu ditulis sebagai alegori untuk komite investigasi Amerika terhadap penangkapan seniman-seniman yang dituding subversif, komunis dan sebagainya.
The Crucible ditulis pada 1953. Karya itu merupakan alegori dari peristiwa Salem Witch Hunt yang pernah terjadi di Salem, Massachusetts, koloni Amerika pada 1692-1693. Naskah itu mengangkat kisah penghakiman perempuan-perempuan yang dituding witch oleh gereja dalam masa kepemimpinan kaum puritan di Salem.
Teater Pandora lalu mengadaptasi naskah itu menjadi judul Jelaga. Latar peristiwa panggung diubah menjadi kebudayaan Nusantara. Tepatnya di tanah Minahasa, Sulawesi Utara pada abad ke-18.
Pada saat itu, konflik yang sudah lama dirasakan kaum petani yang diusir dari tanah mereka oleh para tuan tanah. Selain itu, muncul ketidakpercayaan warga desa dengan pendeta gereja yang serakah dan korup ketimbang menyelamatkan umat-umatnya dari api neraka. Kebencian semakin menyeruak dari kebijakan-kebijakan para petinggi desa yang sewenang-wenang.
Sebuah desa di Manado digegerkan oleh kejadian-kejadian aneh. Tujuh bayi Nyonya Felix meninggal seketika setelah dilahirkan. Beberapa gadis yang tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab dan tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Kesurupan merebak dimana-mana. Ditambah lagi kepala pendeta Tuan Paris memergoki keponakan, pembantu, dan anaknya sedang melakukan tari-tarian mengelilingi sebuah makam di hutan. Desas-desus berkembang. Mereka diduga tengah melakukan pemujaan terhadap iblis. Kabar tentang hal gaib menyebar dan seolah-olah menjadi sumber dari segala masalah yang muncul di desa.
Keadaan menjadi kacau. Para gadis yang kesurupan, dipimpin oleh Abigail, mulai meneriakkan nama-nama yang dituduh telah bersekutu dengan iblis. Gereja percaya. Setiap nama yang mereka sebutkan, telah pasti dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman seketika.
Dalam kekacauan ini, munculah John Proktor, seorang pemimpin para petani. Istri John Proktor bernama Eli diseret pengadilan karena tuduhan menyantet Abigail menggunakan sebuah boneka. John tidak terima istrinya ditangkap. Ia berang dan melawan. Namun dalam pengadilan, justru terungkap fakta-fakta yang memberatkan. John ternyata pernah punya hubungan gelap dengan Abigail. Hubungan dingin John dengan Eli. John jarang sekali pergi ke kebaktian.
John semakin terpojok ketika Maria, berkata bahwa John telah memaksanya untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya menentang pengadilan. Maria menuduh John memiliki kekuatan gaib. John dianggap sebagai pembangkang gereja.
Selang beberapa bulan setelah hukuman mati dijatuhkan kepada John, santer terdengar tentang isu pemberontakan para petani di seluruh negeri. Sebagai usaha untuk meredam gejolak ini. Asisten Residen mengutus pendeta Peter untuk berbicara kepada John supaya ia mau mengaku bersekutu dengan iblis. Jika John mengaku, maka hukuman mati terhadapnya akan dibatalkan dan pemberontakan bisa diredam.
Tapi John telah memilih jalan hidupnya. John lebih baik mati daripada harus menyerah kepada peradilan korup yang dilandasi oleh balas dendam pribadi dan dibalut dengan kedok agama.
Proses adaptasi
Pemilihan naskah The crucible dan proses adaptasi telah dilakukan Teater Pandora sejak Juli 2017. Pertimbangan dipilihnya kebudayaan Manado sebagai latar peristiwa dilandari pertimbangan sejarah dan kecocokan budaya antara latar sejarah The Crucible dan Kebudayaan Manado yang secara umum dipengaruhi agaman Kristen.
Keputusan untuk mengadaptasi naskah tersebut menjadi pementasan berjudul Jelaga yang berlatar budaya Nusantara bukan tanpa sebab. Teater Pandora ingin menyuarakan karya indonesia, karya dunia. Penerapan budaya yang tidak sekedar dipandang benda, melainkan pola keseharian, komunikasi dan aturan-aturan yang menjadi ciri khas kebu-dayaan Nusantara.
“Teater Pandora selalu percaya karya Indonesia, karya dunia. Kita selalu adaptasi naskah luar beberapa kali. Yang sekarang, Arthur Miller ini kan naskah dari Amerika kita pakai budaya Minahasa. Bahwa karya Indonesia pun memiliki relevansi dengan karya-karya populer nusantara yang bisa kita angkat kebudayaan Indonesia-nya,” tegas Yoga.
Melalui pentas itu, Jelaga menceritakan bagaimana situasi besar yang terjadi dalam kehidupan manusia. Namun situasi tersebut justru dimulai dari permasalahan kecil yang abai untuk diperbaiki. Semuanya menjadi serba kadung.
“Yang paling penting ini kan tentang situasi yang kadung terjadi, tiba-tiba terjadi dan jadi besar. Masalah kecil jadi masalah besar. Dan tuhan itu diseret-seret,” terang sutradara Yoga Mohamad.
Teater Pandora ingin memberikan cerminan dari sebuah kondisi carut-marut. “Belakangan ini orang-orang selalu melakukan apa segala macam itu mengatasnamakan tuhan. Bukannya kita ingin mengkritik atau apa. Tapi sejatinya kita kembali sadar lagi bahwa Ya sudah. Tuhan itu ada posisinya di atas. Manusia itu harus berhubungan dengan manusia,” tegas Yoga.
Yoga juga mengungkapkan bahwa agar tidak menjadi seperti dalam panggung, manusia harus bersikap seimbang antara hubungan dengan tuhan dan dengan sesama manusia.
“Kondisi ideal agar tuhan tidak diseret-seret, ada yang seimbang. Ada pembedaan privat hubungan antara yang diatas sama hubungan kita sesama manusia. Itu yang kadang kita luput. Konflik itu terjadi karena kita tidak sadar bahwa kita saudara,” pungkas Yoga. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved