Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Wayang sebagai Simbol Kekinian

Abdillah M marzuqi
21/1/2018 05:01
Wayang sebagai Simbol Kekinian
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

PETRUK berbusana lebih kekinian. Ia nampak memakai celana jins model sekarang dengan paduan ikat pinggang besar. Bajunya sengaja dibiarkan terbuka pada bagian bawah. Tidak ada kancing mengatup yang membuat baju menutup pusar. Ia bergaya layaknya preman dengan kapak kecil terselip dipinggang.

Kepalanya menyunggi sebuah mahkota layaknya raja. Ia berdiri dengan kaki setengah terbuka. Jemari tangannya menunjuk. Sementara itu, tangan yang lain diposisikan dekat dengan kapak. Posisi macam itu seperti ingin menunjukkan kuasa. Busana dan sikap Petruk itu menggali kembali ingatan tentang lakon Petruk Jadi Ratu. Sebuah lakon yang bercerita tentang seorang yang tidak mampu memimpin, tetapi memaksakan diri untuk bisa menjadi pemimpin. Jadilah sebuah kondisi yang kacau-balau.

Cerita Petruk Jadi Ratu memang lebih akrab di dunia seni pertunjuk­an. Namun memang itulah yang hendak disampaikan Widodo Basuki. Lukisannya berjudul Petruk Jaman Now (2017) terbingkai dalam kanvas berukuran 100cm x 100cm. Menariknya, latar dalam lukisan itu berupa garis bidang selebar kuas yang disusun dengan pola anyam. Garis bidang itu saling berdamping­an, tumpang-tindih, saling bersilang, kadang pula beriringan. Warna yang tenang menjadikan latar itu menjadi tidak mencolok. Latar tidak meleburkan ataupun menenggelamkan jejak rupa wayang. Justru latar menjadi penegas dari figur utama.

“Saya bisa menjadikan wayang sebagai simbol kekinian juga. Petruk Jadi Ratu itu dikaitkan dengan hal yang sekarang pilihan-pilihan yang tidak tepat ketika Pilkada,” terang Widodo.

Warna-warna yang cerah dan terang tidak hanya didapati dalam karya Widodo Basuki. Terdapat delapan pelukis lain yang juga menunjukkan pola yang sama. Mereka ialah Makhfoed, Setyoko, M Fauzi, Amdo Brada, Beni Dewo, Buggy Budijanto, Yunus Jubair, dan Sad Indah Ambarwati. Sembilan pelukis itu berunjuk karya dalam tajuk Semanggi Suroboyo di Balai Budaya Jakarta pada 13-21 Januari 2018.

Eksplorasi warna

Menurut Djuli Djatiprambudi, generasi pelukis di Surabaya sebelumnya banyak memberikan tanda ungkapan personal yang kuat dalam konteks seni rupa modern. Selain itu, penggunaan warna terang juga menjadi kekhasan yang tidak bisa dikesampingkan. Mereka mengolah warna sebagai unsur pokok dalam lukisan. Hal itu menunjukkan ada kecenderungan kuat untuk eksplorasi warna-warna primer dan sekunder. Eksplorasi itu tidak memerlukan pengolahan lebih jauh untuk menghadirkan warna-warna tersier yang cenderung tampak kusam, keabu-abuan, ataupun kecokelat-cokelatan.

Semua unsur-unsur warna dalam lukisan sembilan pelukis itu hadir dengan karakter warna yang khas. Warna yang diungkap cenderung bernuansa terang, kuat, dan apa adanya. Jarang ditemui warna yang cenderung gelap, misteri, dan reflektif.

“Saya merasa sembilan pelukis yang karya-karyanya saat ini kita lihat, ada semacam kesamaan, bahwa karya mereka terkandung karakter visual yang telah menjadi kekhasan bahasa visual pelukis Surabaya pada umumnya, khususnya penggunaan warna-warna terang seperti warna merah, kuning, hijau, dan biru, yang hadir saling berdampingan, tumpang-tindih, saling bersilang, dan akhirnya membangun sebuah unikum komposisi,” terang Djuli ­Djatiprambudi dalam pengantarnya.

Karya Makhfoed yang telah dikenal luas memiliki gaya tersendiri. Selain eksplorasi warnanya cenderung eksplosif, karyanya menyajikan bentuk-bentuk unik dan tak biasa. Bentuk itu bersusun menjadi sebuah narasi simbolik kisah perjalanan hidupnya. Letupan-letupan imajinasinya terasa lancar, mengalir, dan menerbitkan kesan kuat adanya misteri. Misalnya dalam karya Perjalanan 661 (2017).

Lain halnya dengan lukisan ­Setyoko yang berjudul Dinamika Alam 3 (2017). Ekplorasi yang kuat dengan warna-warna terang dan ditunjang dengan kekuatan garis tebal dan tipis. Itu mengesankan jejak emosi dan imajinasi yang tak tertahan. Kekuatan eksplorasi garis dan warna yang selama ini menjadi kekuatan lukisan Setyoko akhirnya meninggalkan kekuatan idiomatik visual khas Setyoko. Warna-warna yang hadir semata-mata sebagai warna. Tidak berelasi dengan narasi simbolis yang rumit dan misteri.

Jejak garis dan warna yang cenderung eksplosif juga terlihat dalam lukisan Amdo Brada yang berjudul Konser (2017). Lukisan Amdo sejak awal cenderung kuat dalam ekplorasi garis yang spontan-ekspresif, tetapi garis-garis itu terarah untuk menciptakan tata rupa yang bernada kedekoratifan. Ia berekspresi secara spontan. Sekalipun ekspresinya terasa liar, tetapi tetap terkontrol. Eksplorasi garis, warna, dan tekstur diarahkan ke capaian artistik yang beraura kedekoratifan.

Lukisan karya Buggy menggambarkan puluhan kupu kupu terbang bebas mengarungi alam yang luas, bebas, dan tak bertepi. Seperti dalam karya berjudul Ekspresi Kupu (2017) dan Kebersamaan (2017). Baginya kupu-kupu ialah inspirasi. Keindahan warna-warni sayap ialah masukan untuk eksplorasi komposisi warna yang bisa dipadukan dengan obyek apa pun. Buggy berangkat dari filosofi tentang terbang bersama kupu-kupu. Itu seperti kehidupan manusia yang saling berhubungan. Kodrat hidup manusia yang beragam, yang selalu mencari, berinteraksi, berbagi, dan bertransformasi.

Selain itu, masih ada Beni Dewo dengan kekuatan warna dan garis yang liris, terinci, dan cenderung impresif. Kekuatan jejak warna juga terlihat pada lukisan Yunus Jubair. Ia adalah anak kandung Amang Rahman, pelukis Surabaya yang terkenal dengan ungkapan simbolis yang surealistik sekaligus sufistik. Sad Indah Ambarwati yang cukup cakap dalam olah warna dan bidang.

Lukisan Fauzi mengesankan ­adanya eksplorasi bentuk yang beragam. Bentuk dihadirkan dengan olah warna yang juga ­menyenggol tema-tema sosial yang tengah mengemuka kuat, semacam korupsi dan keserakahan manusia. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya