Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
PEREMPUAN ini ialah pegiat teater tulen. Ia malang melintang di dunia teater sejak masih sangat muda. Memang, semula ia mengenal dunia kesenian lewat seni tari. Dengan menari, dia sempat berkeliling dunia, kemudian mangkal di New York, AS, selama hampir dua tahun, 1975-1976. Namun, ternyata teater menjadi pilihan jiwanya.
Ratna Riantiarno, nama itu pastilah sangat akrab dengan pencinta teater Indonesia. Pertama kali, Ratna memainkan naskah drama di Teater Kecil dalam lakon Kapai-Kapai, 1970. Sejak itu, kecintaannya terhadap dunia teater semakin menjadi-jadi. Ia tidak hanya mencatatkan diri sebagai manager seni pertunjukan tetaer yang andal. Lebih dari itu, ia adalah sosok di balik nama teater besar yang bisa bertahan dengan penjualan tiket. Sangat jarang kelompok teater mampu berlaku seperti itu. Tidak salah memang jika Federasi Teater Indonesia (FTI) menganugrahi penghargaan sebagai Ikon Teater 2017.
Ada banyak yang bisa digali dari sosok perempuan pejuang teater itu. Pelajaran tentang bagaimana hidup di dalam teater sekaligus menghidupi teater. Dalam Teater Koma, dia manajer grup sekaligus ibu yang penuh perhatian kepada para anggota paguyuban.
Siapa sangka, Ratna juga pernah bekerja sebagai asisten kehumasan sebuah majalah. Ia juga tercatat sebagai direktris perusahaan PR.
Ratna tidak mau disebut sebagai produser Teater Koma, meski dia yang berada di balik sukses pertunjukan.
Sebagai produser Teater Koma, apa rahasia sukses Ibu dalam setiap produksi pementasan?
Enggak produser lah. Soalnya kalau produser itu, Teater Koma itu tidak PT (perseroan terbatas), tidak yayasan, tapi sebuah paguyuban. Jadi komunitas. Kami menerima pemain, itu tidak ada kontrak. Tidak ada hitam di atas putih. Jadi mereka tahu, dari awal saya dan Nano Riantiarno (suami Ratna) selama 40 tahun bergelut di dunia teater, jangan menganggap bahwa teater bisa dibuat untuk mencari uang. Jad, Teater Koma itu gak akan mungkin. Iktikad kita waktu bikin kelompok pada saat itu karena maestro-maestro teater lagi bikin film layar lebar. Lalu, agak sepi dunia pertunjukan. Kita juga tahu, berangkatnya itu from nothing.
Nah, makanya saya tidak mau kata produser. Karena produser harus kontrak pemain, sedangkan teman-teman Teater Koma juga tahu keterbatasan saya punya uang. Jadi honor itu belakangan. Saya kan jual tiket untuk menutupi biaya produksi, sekalian makan. Dulu, ketika kita sudah kehabisan, jadi kita patungan. Kita sekarang nabung, paling tidak, untuk kas kalau mau produksi.
Lalu bagaimana Ibu memimpin produksi sebuah pertunjukan sehingga sukses, bahkan Ibu dikenal sebagai manager seni pertunjukan hebat?
Kita kan diundang menjadi dosen tamu di mana-mana, diundang workshop, jadi pembicara karena pengalaman autodidak. Saya kan cuma lulusan SMA, sekolah sekretaris setahun lalu bekerja.
Nah, kesenian ini saya masukin saya tidak sekolah manajemen kesenian, tetapi berdasarkan pengalaman. Saya lihat kelompok yang lain. Saya lihat teori mulu yang tidak bisa jalan kalau diterapkan di Indonesia.
Apa rahasia pertunjukan Tetaer Koma selalu sukses? Tiket hampir selalu terjual habis, apakah model promosi yang digunakan?
Kalau dibilang saya promosinya hebat. Sebetulnya saya tidak punya uang. Pasang iklan di koran apalagi. Tidak mungkin lah itu. Namun adalah dengan benar-benar door to door, dari pintu ke pintu. Saya suruh semuanya bekerja bagaimana caranya menjual lima tiket saja satu orang. Namun, kalau bisa diluar kalangan kesenian. Biar mereka punya apresiasi karena kan memang masyarakat kita tidak punya budaya menonton. Jadi memang kita harus jualannya itu ke kantor-kantor.
Mereka saya minta beli tiket 50, tapi mereka yang nonton cuma 20 orang. Saya minta mereka bersedia mengembalikan 30 tiket. Saya akan memberikan kepada mahasaiswa-mahasiswa yang kepingin nonton tapi tidak punya duit. Jadi subsidi silang.
Saya masuk ke kantor-kantor karena harga tiket kita tidak ada artinya bagi orang kantoran. Saya pikir kalau dia pulang kantor, pulang, minum kopi, makan dikit terus nonton kami yang jam 8 malam (20.00 WIB) gitu. Kelar-kelar jam 10-11 (22.00 WIB-23.00 WIB). Tidak apa-apa juga. Refreshing sekali-kali.
Mengapa Ibu melakukan subsidi silang untuk penonton? Apakah tidak rugi? Adakah pertimbangan lain?
Jadi saya selalu mencari uangnya itu pertama kali bukan kepentingan untuk honor atau segala macam, tapi untuk menambah penonton karena tiket itu saya kasihkan orang. Supaya pengembangan penonton itu ada. Karena saya menonton pertunjukan ini, pertunjukan itu, yang nonton dia-dia saja (orangnya tetap). Saya mengalami itu waktu muda. Saya menari, saya main teater, yang nonton itu itu saja. Ketemunya dia lagi, dia lagi. Pokoknya 60% dia-dia lagi, wajah baru cuma 20%, 30%.
Dari mana asal strategi promosi dan penjulan tiket seperti itu? Ibu pelajari dari mana?
Di mana saya belajarnya? Hanya karena saya pernah bekerja di kantor dan memang teman-teman saya di kantor enggak mengenal apa itu teater.
Saya tahu di kantoran itu ada orang-orang berpendidikan yang kemungkinan kepingin menonton teater. Namun, kan kalau saya door to door kan belum tentu diizinin. Jadi saya taruh aja di mobil-mobil. Saya taruh saja flyer di wiper-nya mereka. Itu saya lakukan. Jadi kalau cerita bagaimana marketing yang punya duit tapi bagaimana semua orang tahu adalah seperti itu. Bagimana cara mendapat audiensi yang baru itu ialah dengan cara itu.
Jadi Pimpinan produksi Teater Koma, bagaimana Ibu melihat dukungan dari pihak lain seperti pemerintah dan swasta untuk perkembangan teater di Indonesia?
Memang karena awalnya kita mandiri lalu ada subsidi dewan itu kan kecil sekali. Dulu TIM (Taman Ismail Marzuki) yang lama kan 300 kursi. Kita kalau main 3 hari, 70-80% terjual. Itu sudah bagus. Terus kita main menjadi lima hari, menjadi 7 hari.
Kita memang beruntung lahir ketika Rendra tidak aktif. Teguh Karya masuk film, Arifin C Noer masuk film. Jadi pengemar teater melihat ini adalah kelompok yang cukup menjanjikan.
Susah juga ya (dukungan swasta dan pemerintah). Kita kan sebetulnya kelompok yang di Jakarta, kan ada Dinas Kebudayaan DKI, kita bicara provinsi, Jakarta. Nah, kelihatannya kan kelompok tari, kelompok tradisi juga banyak dan susah banget hidupnya. mereka itu mendaftar, mendapat jatah yang diatur oleh DKI. Namun, aku tanya subsidinya juga enggak banyak-banyak juga. Mereka dibantu disediakan tempat. Sebenarnya yang penting ini mereka punya tempat pertunjukan dan penonton. Kadang saya lihat cuma 20 orang. Jadi tidak membantu manajemennya, produksinya. Itu yang sebetulnya seniman tidak paham. Lalu audience development.
Kesulitan yang paling terasa selama perjalanan Teater Koma?
Sebetulnya pada zaman Pak Harto kan ada pelarangan-pelarangan. Saat itu, kita sudah siap tampil, sudah di-link sama semua orang, tiket sudah laku. Tahu-tahu enggak boleh. Itu terjadi di Medan. Sudah sampai di Medan, lima puluh orang (untuk pentas) Sampek Engtay (1989). Sori hari, tiket sudah sold out. Sebetulnya yang rugi bukan hanya kita, ada orang yang datang dari agak jauh luar kota, ada yang dari Lhokseumawe, Aceh. Namun, untungnya ada produser yang mengundang kami. Dia bilang kami pasti balik ke Jakarta. Namun, kalau yang di Jakarta yang Opera Kecoa, kita diundang ke Jepang. Sebulan sebelum berangkat ke Jepang, kami pentas di Gedung Kesenian Jakarta. Maksudnya sekalian persiapan semuanya. Tahu-tahu dilarang. Jadinya sudah rugi tapi ternyata saya merasa betapa setianya penonton Teater Koma. Makanya kita juga setia.
Itu tiket sudah terjual habis, yang mengambil uang tiketnya kembali hanya 40%, yang 60% menyumbang buat Koma. Makanya yang aku bilang, mereka cukup setia, cukup loyal, dan cukup mengerti. Tinggal main kok gak jadi main.
Apa manfaat berteater bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Manfaat teater bagi pendidikan karakter?
Gimana ya ngomongnya. Teater tidak masuk kurikulum mana-mana. Ekstrakulikuler saja sekolah-sekolah banyak yang tidak menyetujui. Saya tidak bisa mengatakan kepentingan bangsa segala macam karena diapresiasi juga belum. Kalau mau jujur.
Sebetulnya saya ingin semua orang menggalami kerja di teater. Tidak usah harus jadi aktor, tapi kerja membuat sebuah pertunjukan. Menjadi kru atau menjadi bagian apapun dari sebuah pertunjukan. Itu akan terasa bahwa di situ ada kerja gotong-royong. Yang sudah sangat sulit kita peroleh saat ini karena semua sudah main pegang ini (ponsel) sudah dapat semua.
Bagaimana seharusnya teater di Indonesia?
Saya berfikir teater harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jadi konsentrasi saya adalah kenapa kita harus bangga bermain diluar negeri? Kenapa gak bangga bermain di dalam negeri?
Orang menonton, membayar. Jadi ingin melihat kita. Jadi menjadi tuan di rumah sendiri, dalam hal ini Indonesia. Enggak harus bangga main di luar negeri, di Festival Eropa. Main di mana-mana juga gak ada kenal di Indonesia. Kita sudah pergelaran festival di mana-mana, belum tentu disambut-sambut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved