Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
MELAMPAUI fotografi, begitu tajuk pameran yang dihelat dalam pameran. Kata melampaui mungkin bagi sebagian anggapan bisa menjadi sebuah kebermaknaan atau bisa jadi menunjuk pada keterlalutinggian.
Itu tidak jadi soal. Memang pameran ini bukan dalam rangka memperdalam konsep ataupun narasi dari setiap karya yang ditampilkan. Sebaliknya, kebermaknaan itu dikesampingkan terlebih dahulu. Mari fokus pada detail artistik dan detail visual dari setiap frame yang dipamerkan.
Seni fotografi adalah seni melukis menggunakan cahaya. Suherry Arno juga mengakui itu. Namun, baginya, melukis cahaya tidak hanya berhenti pada kamera. Ia melanjutkan proses itu sampai menjadi rupa yang berwujud nyata. Segala proses yang dilakukannya membuat hasil yang menawan. Itulah yang dipamerkan dalam pameran seni fotografi Melampaui Fotografi di Galeri Nasional Indonesia pada 24 Oktober-5 November 2017. Helatan itu menampilkan karya tunggal fotografer Suherry Arno yang dikuratori Jim Supangkat dan Arbain Rambey.
Jim Supangkat mengawali kuratorial dengan penjelasan tentang fotografi. Dalam pengertian paling umum, fotografi adalah merekam realitas. Sejarah panjang fotografi di dunia jurnalistik membuat gambaran pada foto diyakini masyarakat sebagai substitusi realitas. Dalam istilah populer disebut no picture sama dengan hoaks.
Sejarah panjang itulah yang membuat gambaran realitas pada foto berbeda dengan gambaran realitas pada karya seni rupa.
Menurut kurator Jim Supangat, persoalan karya-karya foto Suherry Arno justru tidak sepenuhnya realitas. Ia merekam realitas bukan untuk melaporkan atau mempersoalkan realitas. Karena itu, tidak ada upaya padanya untuk meyakinkan masyarakat bahwa realitas yang tampil pada foto-fotonya adalah substitusi realitas. “Gambaran pada foto-fotonya malah bisa didekatkan dengan gambaran realitas pada karya-karya seni rupa—lukisan dan gambar—karena Suherry Arno, seperti pelukis, cenderung mengolah aspek rupa pada foto-foto yang dibuatnya.”
Dalam pameran ini tampak kecenderungan Suherry Arno untuk mengolah efek tekstur. Ia mampu memperhitungkan efek kontras, mengaburkan efek ruang, menata efek grain dengan komputer, mengubah efek skala, dan efek persepektif. Ia juga mengolah efek warna putih yang bisa membuat gambaran air sungai menampilkan efek kabut.
Karya berjudul Benteng I (2013), Benteng II (2013), dan Benteng III (2013), misalnya, alih-alih menampilkan gambaran bagian dalam sebuah benteng tua. Suherry Arno malah menampilkan gambaran yang membangkitkan kesan reruntuhan benteng tua.
Gambaran itu juga mengesankan lorong pada sebuah gua batu alami yang tampil layaknya kondisi alam yang mengalami proses pelapukan. Kesan itu muncul dari lapisan tekstur susunan bata mengeropos, efek grain meliputi seluruh foto, serta tumbuhan dan akar pohon yang merambat di tembok benteng. Pengolahan fotografis membuat lapisan-lapisan tekstur ini sama kuat—bersama-sama menyerang penglihatan.
Seni fotografi ala Suherry Arno juga mempertegas beda antara foto ala fotografer dan foto ka-mera telepon seluler yang canggih dan mampu menghasilkan foto-foto bagus.
Cetak analog
Hingga saat ini, belum ada yang menggantikan proses cetak analog. Bahkan cetak digital pun tidak. Digital bermain pada peletakan tinta diatas kertas. Sedangkan proses manual masih mengandalkan proses yang kimia terbakar dan membekas dalam gambar.
Suherry memiliki beberapa alat cetak foto analog. Bahkan ada yang hanya satu-satunya di Indonesia karena ukuran, harga, dan kecanggihannya. Beberapa alat cetak dalam ukuran lebih kecil juga terpasang di studio Suherry yang merupakan pengusaha bahan makanan.
Menurut Arbain Rambey, sistem analog mampu menghasilkan nuansa cetak yang rasanya sampai kapan pun tidak bisa disaingi cetak digital dalam proses cetak. Selain cetak digital cuma memakai tinta yang selalu pudar kala terkena sinar UV berkepanjangan, cetak digital tak bisa memberi penampilan kontras semewah hasil terbakarnya aneka senyawa perak pada kertas foto konvensional.
“Pameran foto ini sungguh sebuah pameran seni fotografi tertinggi yang pernah dibuat di Indonesia dengan cetakan-cetakan analog yang rumit, langka, dan tentu saja sangat mahal,” tegas Arbain.
Lalu mengapa Suherry Arno menggelar pameran tunggal dengan perlengkapan dan persiapan yang matang. “Saya ingin mencoba meng influence fotografer untuk memvisualisakan apa yang ada dalam kamera menjadi nyata,” terang Suherry Arno. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved