Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
SEUSAI salat Asar, suara beduk bertalu-talu terdengar dari Langgar Agung, Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat. Suaranya dimulai dari rendah, sedang, hingga kemudian terdengar nada yang lebih tinggi. Sultan Sepuh PRA Arief Natadining-rat memukul langsung beduk ber-usia ratusan tahun yang diberi nama sang Magiri itu. “Pemukulan beduk sebagai tanda berakhirnya bulan Syakban dan akan dimulainya bulan Ramadan,” kata Arief di Cirebon, Rabu (16/5).
Selanjutnya pada malam harinya akan dilakukan salat Tarawih berjemaah selama 30 hari penuh di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan. Tradisi pemukulan beduk dinamakan dlugdag. Tradisi dlugdag, lanjut Arief, sudah berusia ratusan tahun. Pemukulan beduk itu pun, menurut Arief, sudah ada sebelum adanya Islam di Tanah Air. Wali Songo memakai tradisi pemukulan beduk sebagai penanda. Penanda waktu salat, salat Idul Fitri, Idul Adha, termasuk penanda telah memasuki bulan suci Ramadan.
“Dulu kan peralatan komunikasi tidak secanggih seperti sekarang ini,” ungkap Arief. Selain di Keraton Kasepuhan tradisi menyambut Ramadan juga dilakukan di Keraton Kanoman, Cirebon, yakni tradisi munggahan. “Munggah itu artinya naik,” ungkap juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi.
Tradisi munggahan dimulai seusai pelaksanaan salat Isya, dipimpin Sultan Kanoman Sultan Raja Emirudin. Pengajian dan tawasul digelar di Bangsal Jinem Keraton Kanoman. Seusai pembacaan ayat suci Alquran dan tawasul untuk arwah leluhur raja-raja dan sultan Kesultanan Kanoman keturunan Sunan Gunung Jati, sang patih Pangeran Raja Mohammad Qodiran memberikan sambutan. Sang patih mengajak masyarakat Kota Cirebon untuk menyambut Ramadan dengan penuh sukacita.
Tinggalkan tradisi
Ada juga kisah menarik mengenai tradisi mandi di Ranah Minang. Mandi dengan ramuan limau dan bunga-bungaan di Ranah Minang disebut dengan balimau. Balimau secara prinsip dinilai sebagai proses menyucikan diri kembali seiring masuknya bulan puasa. Namun, kecenderungan balimau banyak dilakukan dengan salah kaprah. Kebanyakan kalangan remaja setiap akan memasuki Ramadan memaknai balimau dengan mandi di sungai, danau, ataupun pantai dan bercampur antara lelaki dan perempuan.
Hal yang terjadi, dikatakan Ketua Majelis Ulama (MUI) Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) Asli Saad, banyak yang keliru dalam mengartikan makna balimau karena bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa menimbulkan dosa. “Saya minta balimau hendaknya mulai ditinggalkan,” imbau Asli, Rabu (16/5).
Menurutnya, balimau di masa kini bertentangan dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Dilanjutkannya, mandi bersama di sungai, danau, atau pantai dengan bercampur antara laki-laki dan perempuan bukan suami-istri merupakan perbuatan dosa dan sangat bertentangan dengan budaya dan ajaran agama.
Sebaliknya, bila tradisi balimau itu dilaksaakan sesuai dengan adat dan agama Islam sebagaimana filosofi yang dimiliki masyarakat Minangkabau ABS-SBK, upaya untuk mencapai kesucian sebagai mana diharapkan akan tercapai.
Sekretaris Daerah Pessel, Erizon, ketika dihubungi menyebutkan bahwa tradisi balimau yang menyimpang sebagaimana dilakukan sebagian besar masyarakat terutama bagi kalangan remaja itu hanyalah budaya ikut-ikutan yang tidak jelas maksud dan tujuannya. (YH/H-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved