Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
TERKAIT tulisan Dewan Redaksi Media Group, Bapak Suryopratomo soal kiprah Hutchison di Media Indonesia yang berjudul ABS pada halaman 12 edisi 4 November 2016, Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) perlu menyampaikan beberapa klarifikasi:
1. Hutchison Ports milik taipan Hong Kong, Li Ka Shing mengoperasikan pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, JICT.
Kontraknya selama 20 tahun (1999-2019), namun diperpanjang 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
Dari investigasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelindo II dan Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menemukan perpanjangan kontrak JICT (2015-2039) kepada Hutchison tanpa izin konsesi pemerintah.
Selain itu, merugikan negara sedikitnya Rp4,08 triliun.
Hutchison juga ditunjuk langsung tanpa tender yang memadai.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyidik kasus tersebut.
Menjadi pertanyaan kenapa Bapak tidak menulis manifestasi bisnis Hutchison yang menurut BPK melanggar aturan di Indonesia?
Lagipula pelanggaran hukum Hutchison dalam kasus JICT, merupakan ancaman serius terhadap reputasi global grup bisnis Li Ka Shing.
2. JICT sudah dikelola anak bangsa sejak 1978.
Saat itu bernama Unit Terminal Petikemas (UTPK).
Ketika Hutchison datang pada 1999, sebanyak 99% putra-putri bangsa tetap mengoperasikan JICT.
Dalam perjanjian 1999, tercantum 'saham merah putih' untuk semangat nasionalisasi saat berakhir kontrak 2019.
Seharusnya alih pengetahuan dan teknologi sudah selesai.
Indonesia bisa berdaulat atas pintu gerbang perekonomian nasional pada 2019.
Pemerintah pun dapat memberikan Hutchison kesempatan menggarap pelabuhan lain yang belum maju.
Menurut Bapak, Hutchison berjasa dalam memberikan remunerasi terbaik dan melatih karyawan.
Namun, gaji terendah pegawai JICT bukanlah Rp36 juta seperti Bapak tulis, melainkan Rp7,9 juta.
Remunerasi ini telah menghitung kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja.
Sampai saat ini, produktivitas JICT yang terbaik di Indonesia.
Jika dibandingkan, Pelindo II jauh lebih banyak mengirimkan pegawai untuk belajar ke luar negeri.
Anggaran training JICT juga hanya terserap kurang dari 20% dalam 3 tahun terakhir.
Bahkan, biaya 'technical know how' yang dipungut Hutchison bernilai triliunan rupiah.
Namun, realisasi 'know-how' tidak pernah jelas seperti apa.
Biaya ini sangat besar ketimbang biaya training setiap pekerja US$1.000 per tahun.
Para pekerja yang dikirim ke luar negeri, kebanyakan untuk memperbaiki produktivitas pelabuhan Hutchison.
Contoh di Oman dan Tanzania. Bahkan, pelabuhan Felixtowe, Inggris, belajar sistem petikemas yang dioperasikan langsung oleh putra-putri bangsa.
Jadi kemampuan anak bangsa sangat diakui oleh Hutchison.
3. Ini bukan soal penafsiran sempit nasionalisme dan sentimen berlebihan antiasing.
Tapi, dari fakta objektif kasus JICT, penting bagi pemerintah mengambil sikap tegas.
Pemerintah layak menjadikan kasus JICT sebagai preseden penegakan hukum di Indonesia.
Investor akan senang jika ada kejelasan aturan main.
Ini justru yang harus digelorakan kepada Presiden.
Terima kasih atas tanggapan dan klarifikasinya (Redaksi).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved