Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Geld ist nicht Alles

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
29/8/2020 05:13
Geld ist nicht Alles
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(SENO)

PEPATAH Jerman mengatakan bahwa uang bukanlah segalanya. Itulah yang ditunjukkan Bayern Muenchen dalam membangun tim untuk menjadi yang terbaik di Jerman dan juga di Eropa.

Dalam periode tujuh tahun, dua kali Bayern mencetak treble dengan menjadi juara Bundesliga, juara Piala DFB Jerman, dan terakhir merebut trofi Liga Champions. Mereka mempertunjukkan bahwa untuk meraih kejayaan yang paling penting ialah perjuangan. Vivere militare est, hidup adalah perjuangan. Kemauan yang kuat untuk berjuang akan menjadi kunci dari keberhasilan.

Para pemain Bayern bukanlah bintang-bintang yang dikumpulkan dengan bayaran selangit. Total 23 pemain yang masuk dalam tim dikontrak dengan nilai 330 juta poundsterling atau sekitar Rp5,6 triliun.

Bayaran mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan uang yang harus dikeluarkan pemimpin Qatar Sheik Tamim bin Hamad Al
Tsani sebagai pemilik Paris Saint Germain. Pemilik dari Qatar Sports Invesments itu harus mengeluarkan 331 juta pound sterling hanya untuk mendatangkan dua bintang PSG, Neymar Jr dan Kylian Mbappe. Bayangkan, bayaran dua pemain PSG cukup untuk membangun satu Bayern Muenchen.

Kalau Neymar menangis setelah ditekuk Bayern 0-1 di final Liga Champions Senin dini hari lalu merupakan sesuatu yang wajar. Bayaran yang mahal dan gaji 600 ribu pound sterling per minggu bukan jaminan untuk membuat ia bisa mempersembahkan gelar kepada PSG.

Kepahitan makin bertambah karena kegagalan itu membuat Neymar dan juga kapten kesebelasan, Thiago Silva, gagal pula untuk membalaskan kekalahan Brasil di semifi nal Piala Dunia 2014 dari Jerman. Lagi-lagi Manuel Neuer, Jerome Boateng, dan Thomas Mueller memaksa dua bintang Brasil itu menelan pil pahit.

Dewi fortuna

Bersama Mbappe dan Angel Di Maria, Neymar memang sudah berupaya untuk bisa mempersembahkan piala yang belum pernah diraih PSG. Persis seperti yang dilakukan Olympique Lyonnaise di semifi nal, mereka mencoba menggebrak pertahanan Die Roten di awal pertandingan.

Namun seperti juga Lyon, dewi fortuna tidak berpihak kepada PSG. Tiga kali setidaknya Mbappe mendapat peluang emas dan bahkan tinggal berhadapan langsung dengan Neuer, tetapi dua kali masih bisa diblok kaki kiper Bayern itu dan sekali ditahan kaki bek kanan Joshua Kimmich.

Di Maria juga sekali mendapat peluang emas lolos dari penjagaan center back David Alaba. Namun, dalam posisi begitu bebas di mulut gawang, tendangan penyerang asal Argentina itu masih melambung di atas mistar.

Neymar yang diharapkan men- jadi penyelamat, juga gagal untuk bisa menaklukkan Neuer. Dalam sekuens yang hitungannya detik, dua tendang an bintang asal Brasil itu secara spektakuler masih bisa diblok kiper Bayern yang benar-benar menjadi pahlawan.

Setelah itu anak-anak asuhan Thomas Tuchel tidak lagi mendapatkan kesempatan emas. Permainan sepenuhnya dikendalikan Thiago
Alcantara dan kawan-kawan. Praktis 65% permainan malam itu dipegang Bayern Muenchen dan PSG terpaksa ikut permainan lawan.

Meski tercatat sebagai pemain termahal di dunia, Neymar kalah kelas jika dibandingkan dengan seniornya, Ronaldo. Gaya permainan Ronaldo lebih indah dan lebih macho. Ia tidak cengeng seperti Neymar yang terlalu banyak drama ketimbang unjuk kehebatan di lapangan hijau.

Sebagai pemain bintang, Ronaldo jauh lebih banyak menghadapi intimidasi dari para pemain lawan. Ia pernah harus istirahat panjang karena cedera lutut parah yang dialami nya. Namun, Ronaldo selalu bisa keluar dari tekanan dan bahkan cepat bangkit ketika dijatuhkan lawan.

Julukan the Phenomenon pantas diberikan kepada Ronaldo karena ia mampu mempersembahkan gelar terbaik kepada tim. Dua kali Ronaldo ikut membawa Brasil memenangi Piala Dunia 1994 dan 2002, gelar yang belum pernah bisa dipersembahkan Neymar
kepada tim ‘Samba’.

Pelajaran berharga dari Ronaldo itulah yang harus Neymar petik apabila benar-benar ingin menjadi bintang dunia. Jangan hanya puas menjadi pemain yang dibayar mahal. Ukuran keberhasilan seorang pemain sepak bola bukanlah dilihat dari berapa banyak uang yang ia kumpulkan. Yang akan abadi diingat pecinta sepak bola berapa banyak gelar yang ia mampu persembahkan.

Pepatah Latin mengajarkan, pecunia, si uti scis, ancilla est; si nescis, domina. Kalau engkau tahu cara menggunakannya, uang akan menjadi budakmu. Sebaliknya bila engkau tidak tahu cara menggunakannya, uang akan menjadi tuanmu.

Kingsley Coman

Kesalahan dari Emir Qatar, Sheik Tamim bin Hamad Al Tsani ialah menjadikan uang sebagai ukuran kesuksesan. Akibatnya ia tidak melihat potensi yang ada pada pemain mudanya, Kingsley Coman. Pemain muda berbakat Prancis itu memilih pindah ketika Sheik Tamim masuk ke PSG. Coman segera hijrah ke Juventus dan kemudian berlabuh di Die Bayern.

Pada pertandingan final, pelatih Bayern Muenchen Dieter-Hans Flick melihat Coman sebagai faktor yang akan bisa membuyarkan ambisi PSG. Perlakuan PSG kepada Coman akan menjadi pendorong bagi pemain berusia 24 tahun itu untuk bermain habis-habisan, sekaligus menyampaikan pesan kepada Sheik Tamim bahwa ia salah dalam menilai dirinya.

Faktor psikologis itu terbukti menjadi faktor penentu. Coman bukan hanya apik untuk mengisi posisi yang sebelumnya ditempati pemain asal Kroasia, Ivan Perisic, melainkan juga menjadi kunci kemenangan dengan gol tunggal yang ia persembahkan di menit ke-58.

Gol Coman yang dicetak Senin dini hari itu memang sangat indah. Dimulai dari set-piece yang dilakukan Thiago, Thomas Mueller, dan Kimmich di sektor pertahanan kiri PSG, Kimmich kemudian memberikan umpan lambung ke tiang jauh. Umpan yang begitu terukur persis jatuh di depan kepala Coman, yang langsung menyundul ke sudut kiri jauh gawang Keylor Navas dan mustahil untuk bisa dihentikan kiper PSG asal Kosta Rika itu.

Dengan berbekal prestasi sempurna dengan tidak kehilangan poin di Liga Champions musim ini, Bayern Muenchen kini mengincar untuk mengulangi prestasi yang pernah diukir di era Franz Beckenbauer di awal 1970-an. Bayern Muenchen menjadi raja sepak bola Eropa dengan mencetak hattrick, tiga kali berturut-turut merebut Piala Champions.

Mimpi itu memang terdengar ambisius di tengah persaingan sepak bola Eropa yang begitu ketat. Namun, dengan materi pemain muda yang dimiliki, bukan mustahil Hansi-Flick bisa kembali menuliskan tinta emasnya.

Era Bayern Muenchen bisa panjang karena banyak pemain muda di tim Hansi-Flick sekarang ini. Ada bek kiri Alphonso Davies yang masih berusia 19 tahun, ada Kimmich yang masih berusia 25 tahun dan calon kuat menjadi kapten kesebelasan menggantikan Neuer yang sudah berusia 34 tahun.

Di barisan depan selain Coman, Bayern Muenchen mempunyai Serge Gnabry yang usianya masih 25 tahun. Di musim depan daya gempur Bayern akan semakin bertambah dengan masuknya Leroy Sane yang pulang kampung setelah bermain di Manchester City.

Kepergian Thiago Alcantara yang mungkin akan bergabung ke Liverpool tidak akan mengurangi kekuatan Bayern Muenchen di lapangan tengah. Ada dua pemain asal Prancis yang mulai bersinar, yaitu Michael Cuisance, 21, dan Corentin Tolisso, 26.

Belum lagi pemain muda yang dipinjamkan ke SV Hamburg, Adrian Fein yang ditarik pulang. Musim kompetisi baru yang mulai bergulir kembali pada 21 September akan menjadi pembuktian apakah kegemilangan Bayern Muenchen bisa berlanjut atau tidak.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya