Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
JIKA diurut daftar panjang pelaku teroris di berbagai negara, sering kali kita menyaksikan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Tidak sedikit di antara para pelaku teroris itu melibatkan anggota keluarga terdekat. Kita tentu masih ingat pelaku pengeboman gereja di Jawa Timur dilakukan satu anggota keluarga yang terdiri atsa ayah, ibu, dan anak-anaknya. Kita juga masih mengingat peristiwa berdarah yang menewaskan 12 orang di kantor Charlie Hebdo, sebuah majalah yang berkali-kali memuat karikatur sindiran kepada Nabi Muhammad SAW dan tokoh pemimpin muslim. Pelakunya, kakak beradik Said Kouachi, 34, dan Cherif, 32, ditengarai anggota kelmpok radikal di Prancis.
Keesokan harinya disusul penembakan di selatan Kota Paris yang menewaskan seorang polisi. Kejadian yang memprihatinkan ini betul-betul mengusik rasa kemanusiaan kita. Lebih memprihatinkan lagi karena penyerangan itu dilakukan atas nama jihad. Jika sebuah tindakan dilakukan atas nama jihad, biasanya tidak ada penyesalan, bahkan mungkin yang ada adalah sebuah kepuasan karena telah melakukan 'tugas agama'. Risiko apa pun yang akan diterima di dunia ini tidak akan membuatnya menyesal karena perbuatan itu dianggap perbuatan suci atau jihad.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan jihad? Bagaimana pengertian dan perspektif jihad di dalam Alquran? Apakah sama pengertian jihad yang berkembang di dalam kitab-kitab fikih kontemporer yang disusun ketika dunia Islam satu per satu jatuh di dalam cengkeraman kolonialisme Barat, yang kemudian pengertian itu banyak diakomodasi kelompok-kelompok radikal? Lebih khusus lagi apakah makna jihad identik dengan terorisme sebagaimana dikonotasikan oleh media-media Barat?
Sebuah buku advance berjudul Jihad, The Trail of Political Islam yang ditulis oleh Gilles Kepel, profesor di Institute for Political Sciences di Paris dan Direktur pada The CNRS di Paris, menguraikan makna dan sejarah jihad dalam Islam setebal 463 halaman. Ia menjelaskan panjang lebar tentang makna jihad, tetapi lebih banyak merujuk pada karya-karya Sayid Quthb dan Abul A'la al-Maududy, dua tokoh yang berperan ganda dalam sejarah dunia Islam kontemporer. Di samping sebagai sosok ilmuwan, mereka juga sebagai pejuang karena hidup di dalam perjuangan fisik membela negerinya dari caplokan penjajah Barat.
Tentu saja pengertian jihad yang dimuat di dalam buku-bukunya ada keterlibatan subjektif-emosional penulisnya. Tidak mengherankan kalau ada ulama yang mengomentari Tafsir Fi Dhilal al-Qur'an karya Sayid Quthb lebih merupakan pengalaman pribadi penulisnya yang terlibat secara fisik di dalam menghadapi penjajah Barat. Makna jihad yang dirumuskan dalam kurun waktu itu masih dihubungkan dengan konsep kenegaraan klasik; Dar al-Harb, Dar al-Shulh, dan Dar al-Silm.
Buku-buku penting yang terbit di Barat dalam dua dekade terakhir umumnya memaknai jihad sebagai perjuangan fisik melawan kelompok nonmuslim atau kelompok yang dianggap memusuhi atau menghambat terbentuknya penerapan konsep the whole Islamic concept in the muslim society yang biasa diistilahkan di dalam Fikih Siyasah dengan Dar al-Salam. Kelompok radikal muslim biasanya memaknai jihad dengan makna seperti itu sehingga perbedaan kata al-jihad dan al-qital menjadi kabur. Padahal di dalam Alquran sangat jelas perbedaan di antara kedua konsep tersebut (akan diuraikan dalam artikel mendatang).
Berbeda dengan kelompok moderat yang mengartikan jihad sebagai sebuah kata generik yang memiliki berbagai makna spesifik, kelompok ini lebih cenderung memaknai jihad sebagai gerakan kemanusiaan. Mereka memaknai jihad sebagai usaha untuk menghidupkan orang, bukannya untuk mematikan orang. Pengertian jihad ini sebetulnya lebih sejalan dengan semangat makna jihad di dalam Alquran dan hadis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved