Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mengontrol Dua Sayap Kehidupan

Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, ­Jakarta
19/5/2018 07:46
Mengontrol Dua Sayap Kehidupan
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar(MI/Rommy Pujianto)

DALAM kosmologi Islam dikenal ada dua sayap kehidupan yang menerbangkan seseorang menuju Tuhan, yaitu sayap sabar dan sayap syukur. Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan seperti musibah, penyakit kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup. Jika sabar menjalani cobaan itu, dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan.

Sayap kedua ialah syukur. Sayap syukur terbentuk dari kemampuan sese­orang untuk secara telaten mensyukuri berbagai karunia dan nikmat Tuhan, seperti seseorang mendapatkan rezeki melimpah, jabatan penting, dan kesehatan prima.

Sayap sabar dan sayap syukur sama-sama bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan, tetapi umumnya hentakan sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar seolah memiliki energi skstra yang bisa melejitkan seseorang. Energi ekstra itu tidak lain ialah rasa butuh amat sangat terhadap Tuhan (raja’), penyerahan diri total kepada Tuhan (tawakal), dan olah batin amat dalam (mujahadah). Ketiganya biasanya sulit terwujud dalam diri yang berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang merasa butuh terhadap Tuhan sementara semua kebutuhan hidup serbaberkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sementara ia terperangkap dalam popularitas. Bagaimana mungkin melakukan olah batin sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin khusyuk ibadah sementara perutnya kekenyangan.

Orang yang hidup selalu berkecukupan dan enjoy dengan kehidupan seperti itu ialah sah-sah saja. Akan tetapi, jika ia lupa bahwa kehidupan ini sementara lantas lalai mempersiapkan bekal kehidupan akhirat, pertanda hidup itu tidak berkah baginya. Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam kebahagiaan semu, selalu dibayangi oleh suasana batin yang hambar, kering, membosankan. Kiat mengatasi suasana batin yang berada dalam kondisi normal ialah memperkuat semangat raja’ dan mujahadah  di dalam diri.

Raja’ ialah rasa optimisme dan kebesaran jiwa seseorang di dalam menempuh perjalanan hidupnya karena yakin Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih (al-Rahman) lagi Penyayang (al-Rahim) ketimbang Tuhan Mahakeras (al-Syadid) lagi Pendendam (al-Muntaqim). Ia yakin Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk (al-Hadi) ketimbang Tuhan Maha Menyesatkan (al-Mudhil). Mujahadah ialah semangat orang untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan intensitas kontemplasi dan melakukan berbagai amalan suci lainnya. Bulan Ramadan ialah bulan yang paling indah dan tepat untuk melakukan dua sikap ini. Orang yang meragukan diri, pesimistis, dan cemas (khauf) di dalam bulan Ramadan seolah menuduh Tuhan tidak Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pencinta, dan Maha Pengampun.

Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan halwat atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Gua Hira ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping istrinya Khadijah yang kaya, bangsawan, dan serbaberkecukupan. Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari gua yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan kediaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana ‘uzlah (pemisahan diri) sementara dari suasana hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Bisa saja dengan melakukan iktikaf di salah satu masjid, apalagi di dalam bulan suci Ramadan. Di dalam masjid kita berniat untuk beriktikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Alquran lebih banyak, salat, tafakkur, dan berzikir. Niatkan bahwa masjid ini adalah Gua Hira atau Gua Kahfi, yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Khidhir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.

Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sulit mendaki (taraqqi) ke langit. Sebagai contoh, orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk dalam salatnya, bukan hanya karena banyaknya godaan dunia yang ada dalam pikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger, semacam roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit. Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan. Seperti orang yang merasakan kesulitan yang sesegera mungkin harus mengeluarkan diri dari kesulitan itu. Itulah sebabnya Rasulullah pernah mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang yang teraniaya (madhlum) karena doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan. Mari kita jadikan bulan Ramadan sebagai roket pendorong menuju orbit langit kemuliaan.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya