Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
CERITA beberapa orang tunanetra memperdebatkan seekor gajah menarik disimak.
Di antara mereka ada yang membayangkan gajah itu seperti tembok karena ia meraba perutnya.
Ada yang membayangkan seperti tiang karena meraba kakinya.
Yang lain membayangkan seperti tombak karena meraba belalainya.
Betapa serunya mereka memperdebatkan hewan yang sama, yaitu gajah.
Dalam kasus lain, sekelompok mahasiswa diminta meneliti dan mengobservasi sebuah bangunan megah dan indah.
Ada yang tertarik memperhatikan karpet, ada yang mengagumi mimbar, ada yang terpesona terhadap mihrab, lainnya fokus kepada arsitektur menara, dan yang lainnya memperhatikan penempatan dan keindahan toilet.
Mereka saling mengunggulkan observasi masing-masing.
Bahkan di antaranya mempertentangkan antara toilet sebagai tempat najis dan mihrab sebagai tempat suci.
Perdebatan terhenti ketika dosen pembimbingnya menyela untuk tidak saling berdebat karena yang diperdebatkan hanya satu objek, yaitu masjid.
Masjid tidak sempurna tanpa mihrab dan toilet meskipun keduanya berbeda fungsi.
Para tunanetra itu baru sadar kalau yang tampil bagaikan tembok, tiang, tombak ialah tetap sang gajah.
Para mahasiswa juga pada akhirnya sadar yang tampil sebagai karpet, mimbar, mihrab, dan menara, tidak lain ialah masjid.
Tidak perlu lagi dipertentangkan banyaknya corak dan ragam budaya Nusantara karena semuanya itu hanya satu, yaitu corak Indonesia.
Tidak perlu berdebat tentang matahari dan bumi, bulan, mars, saturnus, dan lainnya karena semuanya itu sang Galaksi Bimasakti (Milkyway).
Pada akhirnya tidak perlu heran kalau heterogenitas alam semesta ini tidak lain sesungguhnya alamat atau tanda Sang Dia Yang Mahasatu (Wahidiyyah) dan Sang Maha Esa (Ahadiyyah).
Bagi manusia bumi (al-insan al-ardhy) masih berkutat untuk memikirkan secara mikro wujud keberadaan yang ada di sekitarnya, sedangkan manusia langit (al-isan al-samawy) sudah sampai kepada ma'rifah bahwa yang tampil dalam berbagai bentuk dalam alam raya ini ternyata tidak lain ialah manifestasi (tajalli) Sang Mahasatu dan Sang Maha Esa.
Ciri-ciri manusia bumi ialah mereka yang terperangah pada pluralitas alam semesta.
Mereka sibuk mengidentifikasi dan mendefinisikan pluralitas alam semesta.
Mereka masih banyak tersedot energinya untuk melakukan penyesuaian diri dengan pluralitas dan corak kehidupan yang ada di sekitarnya.
Oleh karena identitas dari berbagai entitas begitu banyak rupa dan coraknya, mereka sibuk mencari di mana posisi terbaik untuk menjalani kehidupan ini.
Mereka yang dihadapkan berbagai pilihan yang sulit.
Mereka sering dibingungkan oleh berbagai nilai yang berhadap-hadapan satu sama lain.
Mereka sering kecewa ketika salah pilih dan pilihannya berujung kekecewaan.
Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dalam waktu bersamaan sehingga mereka seperti tidak pernah merasakan ketenangan hidup.
Sebaliknya, manusia langit sudah melewati fase kehidupan ramai dan pluralisme itu.
Ia sudah mampu menyaksikan bahwa yang banyak ini manifestasi Yang Mahatunggal.
Manusia langit tidak tersedot energinya untuk mempertentangkan satu fenomena dengan fenomena lain karena keseluruhan wujud adalah Sang Dia.
Alquran: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui". (QS Al-Baqarah/2:115).
Ini pula arti Allah SWT sebagai Tuhan Maha Meliputi (al-Muhith).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved