Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BERAGAMNYA tradisi keislaman di Indonesia saat Ramadan seharusnya dimaknai sebagai bentuk kesetaraan dan keragaman. Prof Abdul Syakur Yasin atau yang kerap disapa Buya Syakur menyampaikan bulan Ramadan menjadi momentum untuk menuju tahapan umat muslim yang mengedepankan kesetaraan dan keragaman.
Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, aliran-aliran yang ada di Islam sangat beragam, mulai ahlusunnah wal jamaah hingga sunni. Belum lagi tradisi keislaman saat Ramadan juga sangat beragam di setiap daerah. Ada yang melakukan Nyadran, Dugderan, Padusan, dan Munggahan.
“Menurut saya, Allah itu sangat bijaksana karena membuat agama Islam ini diberikan peluang untuk menjadi komunitas yang plural, majemuk. Kalau majemuk, itu kan enak. Terkadang kita saja yang tidak paham, inginnya sama. Kalau ada orang yang berbeda disalahkan, dipaksakan dan harus ikut dengan kita. Tahlilan dibilang bidah, marhabanan syirik, ziarah kubur musyrik,” kata Buya Syakur dikutip dari Kajian Ramadan Kitab Roaitullah.
Buya Syakur mengingatkan betapa nikmatnya pluralitas yang telah ada saat ini. Dia berpesan agar umat muslim tidak lagi melihat perbedaan itu sebagai musibah. “Semestinya kita bisa merawat pluralitas itu supaya menjadi bangsa yang hebat,” imbuh dia.
Pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Cadangpinggan Indramayu itu juga menyampaikan pendapat yang menarik soal toleransi. Menurut dia, gaungan untuk mengajak toleransi tidaklah permanen jika yang ingin dirawat ialah pluralitas. Buya Syakur lebih menekankan pada pemahaman soal kesetaraan dan inklusivitas.
Masyarakat yang plural itu selalu didengungkan toleransi. Artinya, kelompok mayoritas supaya memberikan perlindungannya kepada minoritas dan segala macam. "Saya tidak tertarik dengan isu toleransi karena itu hanya menyembunyikan kebencian. Sifatnya sementara. Nanti di penghujungnya, toleransi itu kelompok minoritas merasa berutang budi kepada mayoritas karena diberikan keleluasaan toleran. Itu tidak abadi. Ketika tatanan berubah, gejolaknya muncul lagi,” jelas Buya.
Jadi yang lebih permanen, menurut Buya Syakur, bukanlah toleransi, melainkan kesetaraan. Pemahaman bahwa semua warga negara punya kesetaraan dalam hak dan kewajiban.
Eksklusif
Buya juga menyinggung bahwa sejak awal, abad pertama dalam peradaban Islam, sesungguhnya umat Islam sendiri telah memiliki kecenderungan eksklusif. Buya memberikan contoh, seperti tafsir Al-Qur’an yang disuguhkan dalam kitab At-Thabari.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Anbiya ayat 107 disebutkan ‘Tidaklah kami mengutusmu, melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam’.
Buya menjelaskan At-Thabari menafsirkan yang mendapatkan ‘rahmat’ itu hanyalah umat muslim. “Itu saja sudah eksklusif. Sementara itu, yang lain, yang bukan muslim mendapat apa?” ucap Buya.
Cendekiawan muslim itu ingin masyarakat, terutama umat Islam, memahami ada perbedaan antara orang yang beragama Islam dan orang yang beriman agar tidak merasa eksklusif. Al-Qur’an, kata Buya Syakur, tidak pernah menyanjung orang yang beragama Islam, tetapi orang yang beriman.
BULAN suci Ramadan harus disambut dengan sukacita dan rasa syukur yang besar
BULAN Ramadan merupakan bulan yang berbeda dengan bulan-bulan yang lainnya.
TERDAPAT dua pengetahuan yang sering dikonsumsi, yakni pengetahuan olahan batin yang disebut dengan kearifan dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar kemudian disebut dengan ilmu.
UMAT muslim tentu tidak ingin kegiatan yang dilakukan sehari-hari justru membatalkan atau menggugurkan ibadah puasa Ramadan.
TOLERANSI ialah nilai kemanusiaan dan semua orang membutuhkannya. Toleransi dibutuhkan karena setiap orang memiliki perbedaan-perbedaan.
DALAM kehidupan, kita sering kali melakukan kesalahan dan dosa, tapi Allah SWT memberikan satu kesempatan untuk senantiasa bertobat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved