ISLAM dulu sempat menjadi agama mayoritas di Serbia selama 500 tahun lamanya di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Jejak-jejak keislaman itu pun masih bisa dijumpai.
Pada Ramadan tahun ini, negara yang secara geografis berada di Benua Eropa bagian tenggara (Balkan) itu bertepatan dengan musim semi yang bersahabat, cukup adem dengan angin sepoi-sepoi sehingga puasa pun tak terasa lapar.
Di sini, waktu berpuasa dimulai pukul 04.39 hingga 19.05 malam. Namun, tantangan berpuasa di Serbia ialah waktu berbuka dan imsakiah yang berubah-ubah, tidak relatif tetap seperti di Indonesia sehingga penting sekali untuk memantau jadwal puasa setiap hari.
Beruntungnya, pada Ramadan kali ini saya dan ratusan muslim lainnya di Serbia berpuasa hanya 2 jam lebih lama jika dibandingkan dengan di Indonesia. Lalu, kalau tahun lalu, saya berpuasa bersamaan dengan waktu kuliah, tahun ini rasanya lebih lenggang mengingat saya sudah menyusun tugas akhir untuk menyongsong kelulusan.
Bicara tentang tradisi Ramadan, tak lengkap rasanya jika tidak menyinggung tentang hidangan berbuka (iftar). Selama puasa, rezeki yang datang begitu melimpah.
Saya dan teman sekamar yang juga seorang muslim tak perlu repot memasak menu sahur dan berbuka. Kami terbiasa mengantre hidangan berbuka bersama para pelajar muslim lainnya di asrama.
Kurang lebih 30 menit menjelang berbuka, selalu datang dua orang dari Masjid Bajrakli yang merupakan masjid utama di Beograd. Mereka mengantarkan kotak makanan kepada puluhan muslim yang ada di asrama.
Adapun hidangan berbuka puasa biasanya berisikan makanan khas Serbia, seperti pljeskavica (burger Serbia), cevapi (daging cincang), dan pada akhir pekan biasanya kami disuguhi menu makan ayam goreng dari KFC (Kentucky Fried Chicken).
Di Serbia, tak perlu khawatir sebab KFC telah memiliki sertifikat halal. Meski harus diakui makanan ala Serbia kurang kaya akan rempah-rempah, orang Serbia sendiri umumnya tidak lumrah dengan makanan yang pedas.
Beruntungnya, soal makanan di negeri orang, saya dikaruniai kemudahan dalam beradaptasi menikmati setiap makanan halal yang disajikan. Setelah menyantap hidangan berbuka dan melaksanakan salat Magrib di asrama, saya kemudian mengajak teman sekamar untuk menunaikan salat Tarawih di Masjid Bajrakli.
Dari asrama ke masjid cukup jauh dengan waktu tempuh 20 menit menggunakan bus dan 12 menit berjalan kaki. Lumayan jauh, tapi semoga setiap langkah ini bernilai ibadah.
Di samping menjalani kewajiban sebagai pelajar, puasa bagi saya bukanlah halangan untuk bekerja keras mencari rezeki yang halal. Sambil ngabuburit, saya biasanya mengisi waktu dengan berbelanja untuk kebutuhan bisnis ekspor untuk menambah uang jajan, menulis artikel, mengisi acara, hingga menjadi jurnalis di salah satu stasiun televisi nasional di Indonesia.
Ke semua itu saya lakukan dengan riang gembira untuk menggapai rida-Nya dengan memaksimalkan ibadah pada bulan suci Ramadan ini.