Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

TPPU Didominasi Hasil Korupsi

Nuriman Jayabuana
24/3/2017 08:24
TPPU Didominasi Hasil Korupsi
(MI)

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyatakan begitu banyak bentuk kejahatan yang berisiko disertai pencucian uang di Indonesia. Probabilitas pidana asal tindakpidana pencucian uang (TPPU) masih didominasi korupsi.

“Risiko pencucian uang paling besar di Indonesia itu masih kejahatan korupsi. Lalu yang kedua kejahatan perdagangan narkoba, dan ketiga kejahatan penggelapan perpajakan,” ujar Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di Bogor, Jawa Barat, kemarin.

Ia mengungkapkan hasil pemeriksaan dan analisis PPATK mengidentifikasi sebanyak dua puluh enam bentuk pidana asal pencucian uang. Berbagai bentuk kejahatan lain yang merupakan sumber dana money laundering itu seperti perdagangan manusia, kejahatan lingkungan hidup, illegal ­fishing, dan illegal mining. ”­Pidana pidana yang hukumannya di atas empat tahun, ada 26. Itu yang terkait dengan money laundering.”

Satu kecenderungan penyamaran sumber uang pada kasus korupsi ialah dengan setor tunai ke sektor keuangan yang terpola. Hanya, pola dan nilai setor transfer tunai itu tidak berkesesuaian dengan profil pemilik uang. “Pola transaksi berulang dan mencurigakan.”

Ia mengumpamakan bila profil seorang pejabat tercatat telah melakukan penukaran mata uang asing di luar negeri pada periode tertentu. Setelah itu, koruptor menyetorkan uang dalam nominal yang tak sesuai dengan latar belakang sumber penghasilannya.

“Pelaku korupsi itu kebanyakan transaksi tunai, terus menerus transaksi setor tunai. Banyak sekali transaksi setoran, misalnya, setelah dia menukarkan dolar Singapura.”

Untuk itulah, lanjutnya, pemerintah bakal membatasi jumlah pembayaran tunai dalam bertransaksi. Aturan itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Penyalahgunaan Fintech
Kiagus juga memaparkan pemanfaatan financial techno­logy untuk kejahatan pencucian uang sebab masih banyak celah regulasi pada sistem layanan berbasis informasi dan teknologi itu.

“Seiring kemajuan teknologi, justru pencucian uang semakin nyaman membonceng tekno­logi. Fintech tidak saja digunakan untuk mengoperasikan sistem keuangan, tetapi belakangan dimanfaatkan untuk money laundering,” ujarnya.

Ia menyatakan masih banyak kekosongan aturan fintech pada pengawas sektor keuangan, yaitu BI dan Otoritas Jasa Keuangan. Regulasi yang masih nihil terutama standardisasi sistem transaksi pembayaran. Di samping itu, belum ada kewajiban bagi industri intech sebagai penyedia jasa keuangan untuk melaporkan temuan transaksi mencurigakan. “Misalkan­ transaksi dilakukan melalui Paypal dan BitCoin.”

Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan pencucian dengan fintech bisa dibilang­ merupakan pola pencucian uang yang nonkonvensional, sebab pada praktiknya pola penyamaran atau layering sumber dana cenderung tak melibatkan banyak keterlibatan orang dan institusi.

“Fintech bukan saja sistemnya yang cepat bertransformasi, tetapi juga kejadian kejadian fraud-nya semakin canggih.”

Ia mengungkapkan pada dasarnya pencucian uang melibatkan banyak pihak dengan pola di transaksi luar kebiasaan.

“Prinsipnya, kalau transaksi lebih banyak dilakukan sendiri dan tak melibatkan banyak orang, biasanya uang itu legal. Sebaliknya, kalau banyak keterlibatan pihak ketiga di dalam transaksi, besar kemungkinan dana itu illegal.” (P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya