Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
PENGAMAT terorisme Al Chaidar menilai pelarangan penyebaran paham radikal di dunia kampus pasti akan mengganggu kebebasan berekspresi para mahasiswa. Meski demikian, tindakan itu tetap harus dilaksanakan untuk meredam tumbuh kembang paham radikal.
“Mau tidak mau harus dilakukan pemerintah. Kenapa? Karena paham keagamaan dan paham lainnya juga memang pengaruhnya paling cepat ialah ke dunia kampus,” ujarnya ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin.
Sebagai contoh, lanjut Al Chaidar, Islamic State (IS) beberapa waktu lalu pernah menggelar sebuah acara di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta. Bahkan, ada indikasi IS juga menggelar kegiatan serial di beberapa kampus lain di Tanah Air.
“Mereka membuka rekrutmen terbuka. Ya, gerakan keagamaan Islam memang memanfaatkan kampus sebagai tempat untuk menyebarkan paham mereka, apalagi kalau untuk masalah terorisme, radikalisme,” paparnya
Meski begitu, upaya BNPT dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) jangan membatasi mahasiswa yang sekadar meneliti arti radikalisme dan pola penyebaran paham tersebut. Pemerintah boleh melakukan pembatasan jika ternyata ada pemaksaan, seperti deklarasi wilayah kampus untuk aliran tertentu, atau indikasi menguasai musala dan masjid hanya untuk kelompok mereka.
Sasaran sosialisasi di dunia kampus, sambung Al Chaidar, wajib dilakukan secara serentak dan menyeluruh. Selain itu, penting pula dibuat regulasi khusus terkait dengan rencana sosialiasi dari kementerian terkait.
“Dalam pengertian bahwa pemerintah harus menjamin nilai-nilai demokrasi yang tidak ada saling memaksa, tindakan intoleran, dan indiskriminasi yang cenderung ekslusif. Intinya harus ada aturan yang kuat,” terang dia.
Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah bidang sosiolog agama Bambang Pranowo mengatakan salah satu cara menangkal radikalisme yang mulai masif ialah menumbuhkan kembali rasa cinta Tanah Air dan kebangsaan di kalangan pelajar. Itu diperoleh dengan mengimplementasikan bela negara ke dalam kurikulum beriringan dengan wawasan kebangsaan yang sudah ada.
Menurut Bambang, kurikulum perlu lebih diarahkan pada pendidikan karakter yang memuat nilai-nilai torelansi dan nasionalisme. Di sini membutuhkan kerja sama antara pengajar bela negara, guru/dosen agama, dan kewarganegaraan.
Selain pengajar, imbuh Bambang, organisasi internal dapat berperan dalam pendidikan bela negara, misalnya dalam bentuk kegiatan mahasiswa. “Ekstrakurikuler bisa kegiatan sejenis ke perbatasan dan daerah terpencil bersama prajurit yang bertugas di sana. Itu akan menanamkan rasa cinta Tanah Air.”
Terkait dengan deradikalisme yang selama ini diasumsikan hanya difokuskan pada narapidana tindak pidana terorisme dan radikalisme, Bambang berpendapat sebenarnya program kontraradikalisme sudah mulai menyentuh para pelajar.
“Saya ikut terlibat kegiatan itu. Untuk siswa SMA se-Jakarta, pesertanya seribu orang kurang lebih, melibatkan banyak kalangan. Bentuknya dialog, disampaikan oleh pakar yang menjelaskan ajaran Islam sesungguhnya seperti apa lalu ada mantan teroris. Kegiatan-kegiatan seperti itu bagus,” terang Bambang.
Hanya saja, tambahnya, program tersebut belum masif dilakukan. “Mungkin karena keterbatasan anggaran. Diharapkan, bisa ada kerja sama antara kementerian dan lembaga terkait,” tutupnya. (Gol/Ind/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved