Headline

Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.

Kesetaraan Gender dalam Politik Indonesia Jalan di Tempat

M Ilham Ramadhan Avisena
24/8/2025 17:00
Kesetaraan Gender dalam Politik Indonesia Jalan di Tempat
Politikus Partai NasDem Eva Kusuma Sundari(Dok.MI)

Kesetaraan gender di politik Indonesia disebut masih jalan di tempat. Komitmen konstitusi soal kuota perempuan belum dijalankan dengan konsisten, terutama setelah aturan afirmasi di parlemen sempat dihapuskan.

Anggota DPR periode 2004-2019 Eva Kusuma Sundari menuturkan, rezim kuota yang berlaku hanya berhenti pada tahap pencalonan. Padahal, konsistensi perlu dijalankan hingga ke alat kelengkapan dewan (AKD) agar agenda pengarusutamaan gender dapat benar-benar berjalan.

Eva mengingatkan bahwa pada 2008 sebenarnya pernah ada afirmasi kuota di MD3 ketika Ida Fauziah menjabat ketua. Namun, aturan itu dihapuskan pada 2014. "Jadi kita itu pernah punya afirmasi yang konsisten. Jadi ada di MD 3 tapi kemudian dihilangkan," ujarnya dalam diskusi media bertajuk Afirmasi & Meritokrasi: Menjamin Keterwakilan Perempuan Parlemen di Pimpinan dan Keanggotaan AKD secara daring, hari ini. 

Ia menilai partai politik justru menjadi pintu awal praktik diskriminasi terhadap perempuan. Kultur patriarkal yang mengakar di partai kemudian terbawa ke DPR sehingga peluang perempuan duduk di posisi strategis makin terbatas.

Dampaknya, kata Eva, terasa nyata dalam pembahasan kebijakan. Menurutnya, isu perempuan sering tersisih karena kepemimpinan didominasi laki-laki. Ia mencontohkan pembahasan RUU PPRT yang tertunda hingga 20 tahun dan RUU TPKS yang butuh 13 tahun untuk disahkan.

Eva menekankan, perjuangan kesetaraan tidak boleh berhenti pada akses pencalonan, melainkan juga kontrol di tingkat kepemimpinan. "Karena menjadi pemimpin itu menentukan agenda, menentukan politik pembahasannya. Kemudian menentukan juga isu-isu apa yang mau diprioritaskan untuk dibahas," tuturnya.

Selain itu, ia menilai pendidikan politik bagi perempuan yang sudah terpilih juga penting. Mereka harus memahami cara mendorong isu gender dalam legislasi maupun anggaran, tidak hanya terbatas pada komisi yang identik dengan isu tradisional, tetapi juga di bidang strategis. 

Eva juga menyinggung alasan meritokrasi yang kerap dijadikan tameng untuk melemahkan afirmasi. Padahal, konstitusi sudah jelas mengatur dukungan pada kesetaraan. "Jadi (alasan) meritokrasi yang maunya menetralkan afirmasi itu harus disingkirkan," ujarnya.

Lebih jauh, ia mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk  mengembalikan norma afirmasi ke dalam MD3. Menurut Eva, hal itu akan memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus akuntabilitas politik dengan memastikan inklusi perempuan tidak hanya sebatas retorika, melainkan hadir dalam praktik sehari-hari parlemen. (Mir/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya