Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Bendera One Piece dan Potret Suram Penegakan Hukum di Indonesia

Yose Hendra
08/8/2025 10:43
Bendera One Piece dan Potret Suram Penegakan Hukum di Indonesia
Pengibaran bendera anime One Piece di beberapa daerah.(MI/Akhmad Safuan)

MENJELANG peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Indonesia, dosen Komunikasi Politik dan Kajian Media Budaya FISIP Universitas Andalas, Muhammad Thaufan Arifuddin, menyoroti tajam problematika penegakan hukum di Indonesia yang dinilainya masih dikuasai oleh elite oligarki pewaris Orde Baru.

Dalam refleksinya, Thaufan menilai bahwa maraknya fenomena bendera bajak laut (jolly roger) ala One Piece yang kerap dibawa dalam aksi-aksi demonstrasi adalah simbol perlawanan generasi muda terhadap ketidakadilan hukum di Indonesia.

“Bendera One Piece adalah sindiran Gen Z dan Alpha terhadap penegakan hukum di Indonesia yang kian akrobatik, tidak peka pada rasa keadilan rakyat kecil, dan kerap menjadi alat pamor elite politik. Ini simbol civil disobedience yang kreatif di era digital,” ujar Thaufan saat diwawancarai, Kamis (7/8).

Thaufan menegaskan bahwa literasi hukum di Indonesia masih sangat lemah di tingkat publik. Diskursus hukum kerap dibatasi hanya di ruang-ruang elit akademisi hukum, pengacara, dan aparat penegak hukum, tanpa dikaitkan dengan kepentingan rakyat banyak.

“Narasi hukum di Indonesia masih eksklusif, tidak dekat dengan rakyat. Hukum seolah berdiri di menara gading, terpisah dari realitas sosial dan politik. Ini warisan kolonialisme yang belum selesai,” tegasnya.

Ia menyayangkan bagaimana hukum di Indonesia lebih sering dipraktikkan sebagai rule by the law, yakni hukum yang tunduk pada kepentingan individu atau pesanan rezim elite penguasa, bukan the rule of law yang semestinya menjamin keadilan bagi semua.

“Apa yang kita saksikan selama dua dekade terakhir adalah hukum yang fleksibel sesuai pesanan. Dari pembajakan aturan di Mahkamah Konstitusi, hingga berlarut-larutnya kasus hukum yang penuh intervensi politik, semuanya memperlihatkan wajah suram penegakan hukum kita,” ujar Thaufan.

Dalam pengamatannya, Thaufan juga membandingkan kultur penegakan hukum di Indonesia dengan pengalamannya selama sembilan tahun tinggal di Jepang. Ia menyebut di Jepang, hukum benar-benar hidup dalam keseharian masyarakat, mulai dari persoalan kecil seperti menjaga kebersihan hingga melindungi privasi individu.

“Di Jepang, hukum adalah panglima dan bintang di langit yang memberi arah. Tidak ada kompromi dengan kepentingan elite. Hukum menegakkan keadilan secara konsisten dan humanis. Inilah yang masih jauh dari realitas di Indonesia,” ucapnya.

Thaufan menilai ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia adalah bom waktu yang memicu berbagai bentuk perlawanan, termasuk melalui media sosial dan budaya pop.

“One Piece, Luffy, dan kawan-kawan menjadi simbol bagi generasi muda untuk membela mereka yang tertindas di tengah ketimpangan sosial yang masih menganga di Indonesia. Ini kritik diam-diam yang keras terhadap elite politik yang mempermainkan hukum demi kepentingannya sendiri.” kata Thaufan.

Lebih lanjut, Thaufan menyebut upaya memperbaiki penegakan hukum di Indonesia bukan tugas individu atau kelompok politik tertentu, tetapi harus menjadi gerakan kolektif yang dilandasi akal sehat.

“Perubahan itu masih jauh, tetapi tidak mustahil. Hukum harus dikembalikan ke pangkuan rakyat, bukan menjadi alat dagang kekuasaan. Mari kita rayakan kemerdekaan ini dengan kesadaran kritis, bukan euforia kosong. Hasta La Victoria Siempre,” pungkas Thaufan. (YH/E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya